Politik
“Sowan” Kiai
Ahmad
Khotim Muzakka ; Mahasiswa Magister pada Center
for Religious and Cross-cultural Studies; Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
|
KOMPAS,
24 Juni 2014
PEREBUTAN RI-1 semakin menarik
ketika masing-masing kubu—baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo—berhasil
menarik gerbong yang memiliki hubungan dengan kiai dan pesantren. Tidak bisa
ditampik bahwa restu kiai memiliki nilai dan diduga kuat bisa menjadi penarik
massa pemilih.
Hadirnya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) di kubu Jokowi-Jusuf Kalla merepresentasikan perwakilan ”partai
kiai” karena secara historis dan ideologis partai ini lahir dari rahim
pemikiran para kiai.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
sang pendiri partai, merupakan contoh nyata bahwa partai ini memiliki
hubungan historis kental dengan dunia kiai meskipun, pada akhirnya, terjadi
pecah kongsi antara kubu Muhaimin Iskandar dan Gus Dur. Namun, aroma tersebut
masih melekat kuat.
Kubu Prabowo-Hatta Rajasa
didukung lebih banyak partai Islam. Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera merupakan lumbung yang signifikan
jika bisa digarap dengan lebih elegan. Di atas kertas, dukungan partai Islam
memang signifikan. Namun, waktu kampanye, debat calon presiden (capres), dan
berbagai faktor lainnya bisa berperan mengubah konstelasi suara.
”Sowan” kiai
Tidak mengherankan bila dalam
safari kampanye para kandidat selalu ada acara kunjungan ke kediaman
kiai-kiai. Sebelum Jokowi sowan
(berkunjung) ke rumah Kiai Maimun Zubair, Prabowo sudah lebih dulu ke sana.
Mereka juga segera bergantian mengunjungi kediaman KH Mustofa Bisri di
Rembang, Jawa Tengah.
Apa makna simbolik dari
kunjungan tersebut? Kita tahu bahwa kiai di dunia pesantren memiliki tempat
yang khusus. Kebijakannya sering diperhitungkan oleh santri-santri, baik yang
masih berstatus sebagai santri maupun alumni. Seorang santri yang sudah tidak
lagi tinggal di pesantren masih merasa memiliki hubungan spiritual dan kultural
dengan tradisi pesantren, termasuk di dalamnya segala pernik kebijakan yang
ditelurkan oleh sang kiai.
Mendekatkan diri dengan kiai
berarti secara tidak langsung sang capres sedang memberikan pesan kepada
calon para pemilih. Bahwa sang calon telah sowan kepada sang kiai. Dalam
tataran yang lebih ekstrem bisa memunculkan wacana ”capres” tertentu mendapat
restu dari kiai tersebut. Itulah kesan yang coba dibangun terhadap kesadaran
calon pemilih dari kalangan santri.
Bisakah logika tersebut
diterapkan di tengah dinamika politik dewasa ini? Dalam
bukunya,Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004), Dr Endang Turmudi
menegaskan bahwa meskipun posisi kiai masih diperhitungkan, peran kiai dalam
politik tidak begitu nyata.
Dalam artian, kecenderungan
seorang kiai dalam satu politik tertentu tidak lantas linear dengan keputusan
pemilih meskipun para pemilih tersebut menjadikan kiai yang bersangkutan
sebagai panutan dalam kehidupan keseharian.
Alkisah, sebagaimana dituturkan
Turmudi (2004: 246-258), pada Pemilu 1992 seorang responden tidak sepakat
dengan kecenderungan politik yang diambil oleh seorang kiai di Jombang.
Karena tidak puas dengan anjuran yang diberikan ”kiai lokal” tersebut, ia
lantas meminta petunjuk kepada kiai yang lebih senior. Maka, ia berkunjung ke
rumah sang kiai yang berdomisili di Magelang, Jawa Tengah.
Ternyata, ia
mendapat jawaban yang sesuai dengan pendapatnya di sana. Responden puas dan
sepakat dengan kiai tersebut. Alhasil, dia memutuskan pilihan berdasarkan
pilihan atas petuah yang didapatkan dari kiai di Magelang.
Pilihan pribadi
Artinya bahwa meski seseorang
menjadikan sosok kiai sebagai panutan terutama terkait doktrin keagamaan,
sejatinya dalam ranah yang lebih luas setiap orang bisa menentukan sikap
tentang pilihan politiknya. Apalagi pada zaman informasi ini pemilih tidak
berada dalam ruang kosong yang hampa.
Maka, kunjungan politik sejumlah
politikus ke rumah kiai-kiai sebenarnya lebih merupakan silaturahim politik.
Suatu hal yang juga dilakukan dengan mengunjungi sesama elite politikus lain.
Hanya saja, jika kunjungan yang
dilakukan sesama politikus memperlihatkan sejauh mana langkah-langkah politik
yang telah dilalui, kunjungan ke kiai memiliki pesan implisit dan lebih
bernuansa kultural. Yang pertama menjadikan instrumen politik yang bisa
dihitung secara matematis, baik perolehan dukungan dalam bentuk materiil,
moral, maupun sumber daya manusia. Yang kedua lebih menukik ke alam bawah
sadar kita tentang potensi suara yang mungkin diraup.
Politik restu kiai semakin seru
karena masing-masing kubu menampilkan ikon dari kalangan Nahdlatul Ulama. Ada
nama Khofifah Indar Parawansa dan Mahfudz MD. Politik restu kiai, saya kira
akan terus mengecambah seiring makin dekatnya saat pemilihan presiden. Kita
tinggal menunggu, kubu mana yang bisa memanfaatkan ”restu kiai” secara lebih maksimal dan proporsional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar