Aura
Demokrasi
Yasraf
Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan
Kebudayaan
|
KOMPAS,
27 Juni 2014
PEMILIHAN
Umum Presiden 9 Juli 2014 merupakan batu ujian terhadap demokrasi, sekaligus penentu
ke arah mana demokrasi akan dibawa di masa depan. ”Aura-aura demokrasi” sudah mulai dapat dibaca dari penampakan
luar, tuturan, serta gestur capres dan cawapres. Kemampuan mengelola ”gestur politik” jadi penentu dalam
kompetisi menuju kursi kepemimpinan tertinggi negara-bangsa.
Pilpres
kali ini meninggalkan enigma: sosok ideal pemimpin seperti apa yang pantas
memimpin bangsa? Dimensi-dimensi kesadaran dan ketaksadaran para capres dan
cawapres muncul ke permukaan dalam aneka wacana, debat, pidato, pernyataan,
wawancara, talk show, komunikasi, dan interaksi head to head di antara
mereka. Gestur-gestur ini menunjukkan karakter diri dan subyektivitas mereka
sebagai penanda ”gaya kepemimpinan” jika terpilih sebagai pemimpin bangsa.
Karena
dalam pilpres yang dipilih adalah individu, ”aura-aura individu” kini lebih
dominan ketimbang ideologi partai. Dimensi-dimensi fisik, penampilan luar,
pakaian, simbol, kemampuan komunikasi, gaya bahasa, logika berpikir, gestur,
bahasa tubuh, dan gaya hidup para calon pemimpin jadi faktor penentu penting
dalam kompetisi politik. Waktu yang relatif singkat menjadi tantangan besar
bagi para kontestan dalam memoles ”aura politik” sebagai modal penting
kontestasi politik.
Penampilan
diri para calon pemimpin di ranah publik tak ditentukan oleh diri itu sendiri
an sich, tetapi juga oleh kekuatan di luar diri yang secara tak sadar
membentuk diri. Di satu pihak, calon pemimpin membangun konsep ”diri” dengan
mengidentifikasi diri—misalnya melalui pencitraan— sesuai lukisan tentang
”ego ideal” atau ”pemimpin ideal” meski itu bukan lukisan diri sesungguhnya.
Di pihak
lain, calon pemimpin dituntut menempatkan diri sebagai ”diri sosial” yang
harus patuh terhadap dan menampilkan dirinya agar selaras dengan aneka norma,
aturan, kebiasaan, habit, adat, ajaran, habitus, dan keyakinan umum. Di sini,
ia harus membangun dirinya sebagai ”ideal ego”, diri yang diterima secara
sosial, karena dianggap memenuhi syarat dari apa yang diterima sebagai
”kebaikan umum” oleh masyarakat. Para calon pemimpin berada dalam kondisi
”tegangan” di antara dua kekuatan eksternal ini: antara membangun ego-ideal
dan ideal-ego.
Di satu
pihak, untuk membangun ego-ideal, calon pemimpin harus hidup dalam tataran
”imajiner”, tataran tempat ia membayangkan dan menampilkan diri sebagai diri
ideal menurut pandangannya. Melukiskan diri ”dekat dengan rakyat”,
”merakyat”, atau ”Macan Asia” adalah lukisan ideal tentang diri sebagai
pemimpin. Di pihak lain, ia harus pula membangun dirinya pada tataran
”simbolik”, tataran ketika ia harus menampilkan, mengucapkan, dan melakukan
apa pun sesuai apa yang diterima sebagai ideal oleh publik (Lacan, 1993). Apa
yang dianggap ideal seorang calon pemimpin boleh jadi beda dengan yang
dianggap ideal berdasarkan pandangan umum. Terbentuk jurang dalam antara
imajinasi dan kenyataan.
Di sini
ada dua tipe pemimpin. Pertama, pemimpin yang menempatkan diri pada ”tataran
simbolik”: aturan, norma, kebiasaan, pandangan umum, budaya publik, habitus,
dan common sense. Ia patuh pada ”penanda besar”, yaitu pada segala sesuatu
yang dianggap ”umum”, ”normal” atau ”universal”: prinsip dasar, prosedur,
norma, hierarki, protokol. Pemimpin macam ini berpeluang menjaga stabilitas,
tetapi dapat terjebak sifat prosedural, birokratis, linier, dan tak kreatif.
Kedua,
pemimpin yang menempatkan diri sebagai ”kontra-tataran simbolik” dengan
mengusung revolusi, pembongkaran, dan dekonstruksi terhadap sistem
pengetahuan umum dengan merayakan segala yang direpresi, ditekan,
dimarjinalkan, dipinggirkan, tak normal atau tak sesuai kebiasaan umum,
dengan menampilkan diri secara alamiah. Pemimpin macam ini membuka luas pintu
kreativitas dengan risiko dapat menciptakan instabilitas karena cenderung
asyik dengan diri sendiri.
Ruang antagonisme
Debat
dalam konteks pilpres adalah arena pertarungan gagasan di antara para
kontestan untuk menguji kemampuan mengomunikasikan gagasan, strategi, dan
langkah implementasinya. Karena itu, materi perdebatan semestinya
komprehensif agar dapat menggali totalitas kompetensi calon pemimpin. Amat
disayangkan, dalam seluruh tema perdebatan pilpres, tak ada tema kebudayaan,
padahal pemahaman serta penghayatan atas manusia dan kebudayaan adalah
kompetensi paling mendasar seorang pemimpin.
Tak
adanya tema manusia dan kebudayaan ini menyebabkan sulit menilai
dimensi-dimensi ”humanis” para kontestan, yaitu bagaimana mereka
memperlakukan sesama lawan politik sebagai ”manusia”. Marjinalisasi terhadap
dimensi manusia dan kebudayaan ini menjauhkan perdebatan dari esensi politik
itu sendiri, yaitu politik sebagai ”antagonisme”, saat relasi antara ”kita”
dan ”mereka” dalam pertarungan politik dibingkai melalui bingkai respek
terhadap sesama manusia. Antagonisme politik mensyaratkan, lawan politik
bukan ”musuh” yang harus dimusnahkan, melainkan ”adversari”, yaitu manusia
yang eksistensi mereka sah secara politik, yang gagasan politiknya kita
tentang, tetapi hak politik mereka untuk mempertahankan gagasan itu kita
hargai (Mouffe, 1993). Esensi debat
politik adalah manifestasi antagonisme antara capres dan cawapres, saat
pandangan dan gagasan politik lawan diserang, tetapi eksistensinya dihargai
sebagai manifestasi budaya luhur politik.
Absennya
dimensi manusia dan kebudayaan dalam arena pilpres kali ini kian diperparah
aneka ”kampanye virtual” di dalam media sosial yang kontra-antagonistik. Di
sana, lawan politik diperlakukan sebagai ”musuh” yang harus dihancurkan
dengan membunuh karakter mereka secara ekstrem dengan membuka segala
keburukan, aib, dan rahasia pribadi, dengan menyebar segala fitnah dan tuduhan
palsu, serta dengan mengumbar segala kebencian secara vulgar sehingga
sempurnalah arena pilpres yang tanpa nilai luhur budaya politik.
Di media
sosial, ”kekerasan simbol” tumbuh melampaui etika politik yang sehat yang
meruntuhkan kategori-kategori etika politik tentang apa yang dianggap
baik/buruk, benar/salah, pantas/tak pantas. ”Kebenaran politik” di media
sosial bergerak ke titik ekstrem, nyaris tak dapat lagi dibedakan antara yang
benar dan salah, asli dan palsu, atau alamiah dan rekayasa, ”Rezim kebenaran”
dikendalikan oleh kekuatan simulasi media sosial yang mengancam kebenaran
politik. Media sosial jadi ruang subur tumbuhnya ”kampanye hitam”, yaitu
bentuk-bentuk kampanye mengumbar sisi-sisi gelap dari lawan politik.
Sisi-sisi ini boleh jadi merupakan fakta, tetapi lebih sering merupakan
rekayasa verbal atau visual yang dikembangkan berupa ”imajinasi-imajinasi
gelap” tentang individu atau kelompok, sebagai cara membunuh karakter lawan
politik. Pembunuhan karakter macam ini menodai prinsip dasar politik sebagai
arena antagonisme.
Imajinasi politik
Pemilu
adalah momen krusial dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan.
Kesalahan kecil dalam memilih pemimpin hari ini akan berakibat fatal di masa
depan. Risiko fatalitas ini karena selalu saja ada jurang dalam antara
”horizon pengharapan” pada calon pemimpin yang diimajinasikan sebagai
pemimpin ideal di masa kini dan kenyataan di masa depan, seperti selalu
berulang di beberapa pemilu sebelumnya. Ada dua mekanisme psikis yang jadi
landasan dalam menentukan pilihan pemimpin. Pertama, ”imajinasi”, yaitu
bayangan, gambaran, lukisan, ilustrasi, atau potret ideal seorang pemimpin
dalam pikiran seseorang, yaitu seorang pemimpin sebagai ego-ideal. Kedua,
”pemahaman”, yaitu pengetahuan, data, informasi, fakta, dan realitas, sebagai
dimensi ”yang nyata” dari calon pemimpin. Pemimpin ideal adalah yang memiliki
kecocokan antara imajinasi dan pemahaman utuh kita tentang dia.
Pertentangan
muncul ketika ada kontradiksi antara imajinasi dan pemahaman utuh tentang
seorang calon pemimpin. Pemahaman yang memerlukan kecakapan nalar-rasional
untuk mendapatkan ”kebenaran” tentang seorang calon pemimpin—dengan menggali
data, informasi, dan fakta-fakta otentik tentangnya sehingga memperoleh
gambaran utuh-menyeluruh—digerogoti oleh kekuatan ”nir-nalar-irasional”, saat
orang dikendalikan gambaran sepotong-sepotong tentang seorang kontestan (Zizek, 2000).
Kondisi
asimetris antara imajinasi dan pemahaman menggiring beroperasinya ”mitos”
dalam politik, di mana ”imajinasi murni”—imajinasi tentang seorang calon
pemimpin yang tak didukung pemahaman utuh—diyakini sebagai kebenaran tentang
calon pemimpin tersebut. Media sosial adalah ladang subur tumbuhnya imajinasi
murni tanpa realitas ini, yang mengondisikan irasionalitas dan politik, yaitu
mitos-mitos politik tanpa nalar sehat. ”Irasionalitas politik” dalam konteks
pemilu adalah kondisi saat orang menentukan pilihan politiknya, tetapi tak
didukung pemahaman utuh tentang pilihannya. Imajinasinya tentang sosok
pemimpin sebagai ego-ideal—ia mengidentifikasikan diri dengannya, seakan-akan
ia adalah lukisan dirinya sendiri—telah mengaburkan mata rasionalnya tentang
pemahaman yang diperlukan tentang diri calon pemimpin itu. Ia dihipnotis oleh
”aura” sang tokoh.
Irasional
politik menempatkan figur idola sebagai yang ”mutlak” harus dimenangkan,
sementara lawan politik sebagai ”musuh” yang harus dihancurkan. Padahal,
keputusan ini dilandasi pengetahuan yang sama kaburnya tentang kawan dan
musuh. Lawan politik diperlakukan sebagai musuh di atas kondisi absennya
pengetahuan tentang mereka. Musuh ”adalah
seseorang yang cerita kehidupannya tak pernah Anda dengar” (Zizek, 2008). Apabila Anda berupaya
memahami ”sang musuh” dengan nalar rasional, boleh jadi ia sosok yang selama
ini Anda idealkan. Menyambut pesta demokrasi yang kian dekat, rakyat
diharapkan secara cerdas membaca ”aura sejati” para calon pemimpin masa depan
bangsa, bukan ”aura palsu” yang diumbar melalui kampanye hitam di aneka media
sosial dan media elektronik lainnya. ”Aura demokrasi” pada abad digital
hendaknya dapat dibaca secara rasional-kultural dan rakyat harus cerdas serta
peka dalam menangkap ”gestur politik” para calon pemimpin bangsa sehingga tak
terperosok ke lubang yang sama: memilih
pemimpin yang tak sesuai antara imajinasi dan realitasnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar