Pilpres,
Piala Dunia, Puasa
Budiarto
Shambazy ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
28 Juni 2014
MAKIN
mendekati 9 Juli, makin terlihat kontras di antara kedua pasang calon presiden-calon
wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kekontrasan dua kubu wajar karena ini pertama kali pemilu presiden diikuti
dua pasang calon sejak tahun 2004.
Pilpres
macam ini ibarat pertandingan olahraga, yaitu dua tim langsung berhadapan di
final. Terlebih lagi, Pilpres 2014 tak diikuti presiden petahana sehingga
menambah sengit kompetisi.
Kita
sudah mengikuti narasi Pilpres 2014 dan relatif mengenal kedua
capres-cawapres. Kita sudah mempelajari visi dan misi mereka serta mengikuti
debat-debat mereka.
Hampir
tiap hari kita dibombardir informasi atau sepak terjang kedua
capres-cawapres. Kita membacanya dari media massa arus utama, media sosial,
menyaksikannya di televisi, mendengarkan opini dari orang-orang lain, bahkan
melihat langsung kampanye mereka.
Apa
kesan yang paling menonjol dari pengamatan sepanjang kampanye yang
berlangsung sekitar satu bulan itu? Tentu saja kita punya pandangan
masing-masing.
Namun,
jika dibandingkan dengan kampanye Pilpres 2004 dan 2009, sebuah kesan kuat
yang didapat adalah betapa negatifnya suasana kampanye kali ini. Penyebabnya
adalah fitnah (kampanye hitam) dan kampanye negatif.
Di
negara-negara Barat, kampanye hitam/negatif telah lama ditinggalkan karena
lebih sering terbukti menjadi senjata makan tuan. Apalagi jika kampanye
hitam/negatif itu dipandang membahayakan eksistensi bangsa dan negara.
Ambil
contoh ketika seorang ibu bertanya kepada capres Partai Republik, John
McCain, yang sedang pidato kampanye pemilu presiden di Amerika Serikat tahun
2008. ”Saya tak percaya Obama, dia orang Arab,” kata sang ibu. McCain
menyergah, ”Tidak, Bu. Ia warga terhormat, kebetulan berbeda pandangan dengan
saya. Dia bukan (orang Arab),” tegas McCain.
Kita
tidak berharap kualitas demokrasi kita sudah sehebat di AS. Namun, kita
berharap aparat penyelenggara pilpres/pemerintah bersikap tegas menjatuhkan
sanksi terhadap pelaku fitnah.
Itu yang
belum dilakukan, sementara fitnah telanjur menjalar liar. Terakhir, Joko
Widodo, yang sebelumnya difitnah sudah wafat, orang Tiongkok, dan bukan
Muslim, ketiban pulung lagi difitnah keturunan komunis.
Mungkin
sebagian dari kita menganggap masalah pelik ini usai dengan sendirinya
setelah 9 Juli. Namun, jika terjadi sikap pembiaran oleh pemerintah, fitnah
bakal dijadikan senjata pamungkas pada pemilu-pilpres mendatang.
Betapapun,
kubu yang merasa kalah populer cenderung akan melakukan segala cara untuk
menjatuhkan lawan. Ini berlaku secara universal, yang di AS disebut dengan A
Hail Mary Pass, yakni upaya menciptakan gol untuk menyamakan kedudukan, atau
bahkan memenangi pertandingan, dalam detik-detik terakhir.
Terlepas
dari itu, sebuah prinsip memilih capres yang wajib kita pahami adalah mereka
bukan malaikat. Seperti kita, tiap capres memiliki kelebihan sekaligus juga
kekurangan.
Prinsip
ini perlu diingatkan lagi karena memilih presiden bukan memilih ”ratu adil”
atau a knight with shining armour.
Kita butuh pemimpin yang mampu mengelola pemerintahan, bukan manusia setengah
dewa atau tukang sulap.
Lagi
pula kita hidup di abad ke-21 yang penuh tantangan ”glokal” (global dan
lokal), yang cuma bisa diselesaikan yang rasional. Sudah ketinggalan zaman
mengandalkan presiden yang cuma mengandalkan pencitraan semata-mata.
Dalam
tiap pilpres, sebagian dari kita ingin memutus rantai dengan masa lalu (breaking with the past). Namun,
sebagian lagi masih terpukau pada kehebatan masa lalu (blast from the past).
Sekali
lagi, itu selera Anda masing-masing. Oleh karena itu, cermatilah kebiasaan
capres yang mengaku agen ”perubahan”. Ini cuma gertak sambal sekaligus
mengecap lawannya sebagai simbol status
quo (kemapanan).
Sebab,
pada akhirnya, sekali lagi, masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara
ini belum tentu dapat diselesaikan secepatnya. Bahwa kedua capres kita di
sana-sini menjanjikan ”perbaikan” terhadap kondisi saat kini, itu benar.
Rasanya
kita cukup dipuaskan janji-janji perbaikan itu yang berupaya ditampilkan
kedua capres dan cawapres saat tiga kali debat. Capres dan cawapres mana yang
berniat memperbaiki nasib kita, silakan Anda nilai.
Ada
perumpamaan yang mengatakan, ”Memiliki ambisi boleh asal jangan ambisius”.
Apakah pasangan nomor 1 dan 2 berambisi atau ambisius, sekali lagi silakan
Anda nilai sendiri.
Kalaupun
ada yang ambisius, ia dikontrol oleh orang-orang di sekitarnya, DPR, media
massa, aktivis, dan tentu rakyat awam. Pemilu 2014 telah membuktikan kontrol
tersebut makin kuat dan tak terhindarkan lagi.
Efektivitas
kontrol dari berbagai penjuru dan kalangan itu hanya bisa dijalankan apabila
hasil pilpres ini kredibel. Dan, kredibilitas terbaik akan dicapai jika
pilpres diselenggarakan tanpa mobilisasi, intimidasi, serta manipulasi.
Kita amat
khawatir terhadap ketiga jenis kecurangan itu karena berpotensi menimbulkan
konflik fisik yang bisa saja berskala tinggi. Padahal, sejarah pemilu-pilpres
kita gemilang karena tak pernah rusuh.
Kita
bersyukur pada hari-hari ini menjalani sekaligus tiga perjalanan hidup yang
amat berharga. Pertama, makin jeli dan pandai memaknai pilpres; kedua,
belajar sportif dari Piala Dunia untuk mengakui kekalahan capres pilihan; dan
ketiga, menjalani ibadah puasa sembari tak henti berdoa agar presiden
terpilih kita amanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar