Purnawirawan
TNI Tak Kompak Lagi
Amzulian
Rifai ; Dekan Fakultas Hukum,
Universitas Sriwijaya (Unsri)
|
KORAN
SINDO, 25 Juni 2014
Selama
ini banyak yang mengagumi spirit korps anggota TNI baik yang purnawirawan,
apalagi yang masih aktif. Soliditas sesama anggota TNI dinilai kukuh, tidak
runtuh oleh kondisi apa pun. Namun sepanjang tahapan Pilpres 2014 ini, publik
dikejutkan dengan manuver para purnawirawan TNI yang sangat luar biasa dan
sulit untuk tidak ditafsirkan penuh nuansa politik.
Adalah
anggota tim kampanye Prabowo Subianto, Mayjen (purn) Kivlan Zen yang
mengingatkan para purnawirawan lainnya untuk berhenti menyudutkan Prabowo Subianto.
Ungkapan-ungkapan para jenderal purnawirawan yang ada di kubu Joko Widodo
(Jokowi) yang menghujat Prabowo dan dilawan oleh purnawirawan kubu Prabowo
jelas mengagetkan banyak orang. Salah satu alasannya karena selama ini TNI
dikenal memiliki doktrin, jiwa kesetiakawanan, serta kekompakan di atas
rata-rata profesi lain.
Penyebab Terbelah
Publik
meyakini bahwa ketidakkompakan para tentara ini hanya terjadi di kalangan
purnawirawan jenderal saja, tidak terjadi terhadap anggota TNI aktif.
Diyakini bahwa para anggota TNI aktif tidak terlalu berpengaruh akibat ”perseteruan” antar para purnawirawan
ini. Pernyataan-pernyataan para perwira tinggi TNI aktif secara tegas atau
mengisyaratkan tidak terpengaruh sama sekali akibat perseteruan para
seniornya itu. Namun demikian, sebagian publik tidak juga dengan mudah
memastikan faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya ketidakkompakan di
kalangan purnawirawan TNI ini. Tapi berbekal berbagai berita dan cerita dapat
dikira-kira faktor penyebabnya.
Diyakini
bahwa penyebab utama ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI ini, jika
bukan satu-satunya, disebabkan majunya Prabowo Subianto sebagai calon
presiden 2014, sementara tidak semua jenderal purnawirawan mendukung Prabowo
dengan berbagai alasannya. Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan,
misalnya, ”pagi-pagi” sudah merapat
ke kubu Jokowi. Padahal, beliau tergolong sebagai salah seorang petinggi
Partai Golkar yang resmi memberikan dukungan kepada Prabowo. Beliau tidak
sungkan diberhentikan dari jabatannya di partai asalkan tidak mendukung
Prabowo.
Luhut
memiliki cukup banyak pengikut di kalangan purnawirawan. Apalagi, Luhut
merupakan salah seorang pengusaha yang cukup sukses dan melibatkan pula
beberapa jenderal dalam kegiatan bisnisnya. Kondisi ini jelas melahirkan
kepercayaan diri dan independensi tinggi. Kemungkinan lain, ketidakkompakan
para jenderal purnawirawan ini sebagai kelanjutan dari ”peperangan” yang tidak selesai ketika mereka masih aktif dahulu.
Prabowo adalah anak seorang begawan ekonomi Indonesia Prof Soemitro
Djojohadikusumo dan menantu Presiden Suharto yang memerintah di zaman Orde
Baru.
Dapat
kita bayangkan betapa kedudukan seorang Prabowo di masa itu. Beliau bukan
hanya sosok yang brilian, melainkan juga ditunjang dengan status sosial yang
luar biasa. Sangat mungkin sepak terjangnya pada waktu itu mengganggu
eksistensi para seniornya. Apalagi, ada tulisan yang menyebutkan di antara
para mantan jenderal itu adalah anak emas Jenderal Benny Moerdani yang dulu
tergeser dengan menarik-narik adanya peran Prabowo.
Diungkapkan
dalam salah satu tulisan bahwa di antara para jenderal itu adalah anak emas
kubu Benny Moerdani yang berhasil dibersihkan kubu Prabowo yang berhasil
menarik Faisal Tandjung, sosok yang sudah lama diasingkan Benny Moerdani ke
Seskoad, menjadi panglima ABRI. Setelah disingkirkan, mereka yang
anti-Prabowo tersebut tidak akan begitu saja berhenti untuk membalas kapan
pun ada kesempatan, termasuk selama masa Pilpres 2014 ini.
Segelintir Purnawirawan
Tontonan
ketidakkompakan para purnawirawan jenderal TNI secara sangat keras akibat
Pilpres 2014 ini tentu memunculkan pertanyaan. Pertanyaan pertama, apakah
ketidakkompakan yang keras semacam ini selalu terjadi pada setiap pilpres?
Sudah dapat dipastikan bahwa para jenderal purnawirawan berada pada kubu
berbeda pada setiap pilpres. Suatu hal yang lumrah. Para purnawirawan tentu
memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya. Bahkan tidak
heran, apabila para jenderal purnawirawan ini menjadi rebutan banyak pasangan
calon karena berbagai kelebihan yang dimiliki.
Para
purnawirawan jenderal ini adalah orang-orang sangat luar biasa yang mampu
berkontribusi secara signifikan dalam berbagai aktivitas kenegaraan, termasuk
dalam pilpres. Purnawirawan yang memiliki pengalaman panjang di bidang
intelijen, misalnya, pastilah strategis menghadapi berbagai serangan yang
mungkin terjadi. Pilpres di era modern melibatkan perang opini luar biasa
hingga masyarakat bawah. Jenderal yang berpengalaman bidang intelijen memiliki
strategi jitu guna menangkal soal-soal semacam ini. Selain itu, ”banyak
sekali” jenderal purnawirawan berpengalaman dalam bidang teritorial.
Sosok
semacam ini memiliki kemampuan merangkul yang luar biasa. Dapat dibayangkan
dengan segudang pengalaman mereka sejak menjadi komandan koramil hingga
jabatan-jabatan teritorial lebih tinggi lainnya secara berjenjang. Namun
demikian, jika diamati secara mendalam, ketidakkompakan purnawirawan TNI yang
sangat keras sekaligus ”memalukan” mungkin baru terjadi pada Pilpres 2014
ini. Bagaimana tidak memalukan apabila para mantan perwira tinggi yang patut
diteladani mengeluarkan pernyataan yang menjatuhkan koleganya sendiri,
merupakan sikap yang tabu dan di luar nalar banyak orang.
Padahal,
beberapa kali pilpres pasca-Reformasi 1998, dapat dipastikan tidak ada
kesamaan aliran politik para purnawirawan. Namun, semuanya tetap tampil
sebagai purnawirawan terhormat yang tidak menjatuhkan saudaranya sendiri
sesama warga TNI. Jika kita perhatikan ”amarah para purnawirawan” hanya
diungkapkan oleh segelintir jenderal saja, bukan mayoritas dari mereka.
Apalagi jika ada benarnya dugaan keributan sekarang ini sebagai kelanjutan
dari ”perang masa lalu” yang belum
usai. Jika tidak, tentu perbedaan kubu dukungan ini tidak harus ditunjukkan
dengan saling menghujat secara terbuka.
Seorang
purnawirawan adalah warga negara sipil biasa yang sudah terlepas dari
berbagai atribut istimewa yang pernah dimilikinya. Semestinya yang abadi pada
mereka adalah nilai-nilai keteladanan, kearifan, kesetiakawanan yang sudah
berakar. TNI sarat dengan nilai-nilai kesatria. Itu sebabnya kita akan
berkerut kening tanda ketidakpahaman jika purnawirawan jenderal saling
menghujat, saling membuka aib yang ditafsirkan karena kepentingan politik.
Jangan salahkan publik jika mereka meyakini ”purnawirawan TNI tak kompak lagi.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar