Pasca-Deklarasi
Penutupan Dolly
Endang
Suryadinata ; Kerap Memandu Turis
Belanda Melihat Dolly
|
TEMPO,
23 Juni 2014
Dolly,
lokalisasi pekerja seks di Surabaya, ditutup lewat deklarasi di Islamic Center Surabaya pada 18 Juni 2014. Tapi keesokan hari, para pekerja seks
tetap buka, karena tak menerima deklarasi itu.
Kita
tidak tahu apa akhirnya Dolly benar-benar bisa ditutup seperti lokalisasi
Kramat Tunggak di Jakarta atau Saritem di Bandung. Sebab, sudah sering di
masa lalu ada wacana penutupan Dolly. Tapi Dolly tetap buka dan beroperasi
sebagaimana biasanya. Mungkin juga sudah karakter pekerja seks yang harus
selalu membuka tubuhnya. Yang terlalu adalah yang tetap datang kepada pekerja
seks, kendati sudah ada deklarasi penutupan.
Dolly
memang tak terpisahkan dari sejarah Surabaya. Sebagai fakta historis, Dolly
telah menjadi ikon bagi Surabaya. Tak mengherankan jika, menjelang ditutup,
sekitar tujuh media asing, termasuk dari Belanda, meliput suasana Dolly.
Ketika
Belanda masuk lewat Pantai Utara Jawa, sekitar awal abad ke-17 Masehi, muncul
aktivitas pelayanan seksual untuk serdadu, pedagang, dan utusan VOC di
sekitar pelabuhan. Menurut catatan sejarah Kota Surabaya, pada 1864, dari 18
rumah bordil, pelacurnya berjumlah 228 orang. Dan sejak saat itu, Dolly
menjadi ikon khas Surabaya. Menurut data terbaru per 12 Juni 2014, terdapat
1.444 pekerja seks di Dolly.
Memang,
selama kemiskinan masih merajalela, lokalisasi pekerja seks seperti Dolly
akan susah ditutup. Tepat seperti yang ditulis M.A. Muecke dalam esainya yang
terkenal, Mother Sold Food, Daughter
Sells Body; The Cultural Continuity of Prostitution (1992). Bahkan, di
kota-kota yang lokalisasinya sudah ditutup seperti Jakarta atau Bandung,
justru kian dipenuhi prostitusi terselubung. Pelacuran jalanan justru kian
menggila. Menurut Muecke, ketidakmampuan keluar dari belitan ekonomi
menyebabkan pelacuran sama sekali tidak bisa dipersepsi sebagai persoalan
moralitas. Dalam uraiannya yang satiris, Muecke malah menyebut prostitusi
merupakan pilihan rasional para pelakunya untuk melawan kemiskinan.
Memang
secara sosiologis, lokalisasi semacam Dolly merupakan lahan mencari makan,
bukan hanya bagi para pekerja seks dan pemilik wisma, tapi juga bagi para
penjual rokok, kopi, laundry, dan lain-lain. Simak saja militansi warga Dolly
yang tergabung dalam Front Pekerja
Lokalisasi dalam menolak rencana penutupan. Mereka memasang ratusan
spanduk di tiap gang. Bahkan mereka menyebut di spanduk bahwa penutupan Dolly
merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Juga ada spanduk berbunyi, "Adili pelanggaran HAM di lokalisasi
ini. KPK segera turun tangan atasi korupsi di jajaran Pemkot Surabaya".
Bahkan
nama Gus Dur pun disebut di salah satu spanduk. Mereka menyebut "Yes" pada GD, karena GD
membolehkan Dolly tutup hanya selama bulan Ramadan. Sedangkan kepada Gus Ipul
(Saefullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur), mereka menulis "No" karena Gus Ipul setuju
penutupan Dolly selamanya. Mereka juga menulis "Tolak Penutupan Dolly, Harga Mati".
Memang,
menutup Dolly bisa dilakukan. Tapi sejarah membuktikan, prostitusi tak bisa
diberantas. Bahkan, di negara-negara seperti Iran dan Arab Saudi, yang bercorak
teokratis, prostitusi juga tetap eksis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar