Sabtu, 28 Juni 2014

Melawan Syahwat Keduniawian

Melawan Syahwat Keduniawian

Azyumardi Azra  ;   Guru Besar Sejarah;
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; dan Penerima Fukuoka Prize 2014
KOMPAS, 28 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
IBADAH puasa Ramadhan merupakan kewajiban dan tradisi keagamaan yang berusia sangat panjang. Meski hanya Islam yang mewajibkan kepada para penganutnya untuk berpuasa sepanjang Ramadhan, ibadah puasa telah ada dan dilakukan umat-umat beriman yang ada sebelum datangnya Islam.
Dilaksanakan sebulan penuh, ibadah puasa dalam Islam diharapkan dapat membentuk mereka yang puasa (sha’imin dan sha’imat) menjadi orang-orang yang bertakwa, orang yang terpelihara pikiran dan perbuatannya dari hal-hal keji dan mungkar.

Berpuasa dengan demikian merupakan tradisi keagamaan dan spiritual yang panjang. Ibadah puasa Ramadhan dengan segala ibadah lain yang menyertainya merupakan salah satu ritual utama untuk meningkatkan kualitas jasmani dan lebih-lebih lagi rohani umat beriman. Jika ibadah puasa dilaksanakan sesuai keyakinan dan petunjuk agama, orang yang berpuasa dapat mencapai tingkat kerohanian (maqamat) lebih tinggi.

Mengingat pentingnya posisi ibadah puasa, mereka yang menjalankan kehidupan asketik—yang dalam tradisi Islam disebut sebagai kaum Sufi—menjadikan ibadah puasa, baik dalam bulan Ramadhan maupun puasa Senin-Kamis dan bahkan puasa ”Nabi Daud” (selang hari), sebagai bagian sangat penting dalam kehidupan mereka. Bagi kaum Sufi, berpuasa bukan hanya sebagai pemenuhan ketentuan hukum eksoterik (fiqh), melainkan juga sebagai bagian terdalam (inner atau batin atau esoteris) dari eksistensi sebagai mukmin dan Muslim.

Syahwat angkara murka

Ibadah puasa, baik yang wajib sepanjang Ramadhan maupun yang sunah, merupakan  latihan fisik dan mental untuk mengendalikan berbagai macam hawa nafsu atau syahwat keduniaan, baik kebendaan maupun kekuasaan, yang terdapat dalam diri manusia. Sedikitnya terdapat tiga macam hawa nafsu yang selalu bergejolak dalam diri manusia; hawa nafsu seksual, hawa nafsu  kebendaan, dan hawa nafsu kekuasaan.

Asketisme dalam Islam tidak berarti menafikan segala macam hawa nafsu tersebut karena ia dapat menjadi pendorong (driving force) untuk mencapai kehidupan lebih baik. Karena itu, yang diperlukan adalah pengendalian hawa nafsu. Sebab, jika hawa nafsu tidak terkendali, berbagai bentuknya menjadi angkara murka yang menjerumuskan manusia ke dalam eksistensi lebih rendah daripada hewan atau  seburuk-buruk kejadian (asflus-safilin).

Meski manusia juga dianugerahi Allah SWT dengan akal dan hati nurani (qalb) yang dapat membimbingnya pada kebenaran, dalam kenyataannya bukan tidak sering terlihat manusia secara pribadi atau kelompok lebih dikuasai hawa nafsu angkara murka. Mereka seolah tidak terkendali mengumbar hawa nafsu seksual, mengejar harta benda secara haram, misalnya melalui korupsi. Juga berusaha menggapai kekuasaan dengan cara apa saja: menghalalkan segala macam cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama, nilai moral dan etik, sekaligus bertentangan dengan ketentuan perundangan dan hukum negara.

Ulama besar Nusantara, Syaikh Nawawi al-Bantani, menyebut hawa nafsu yang paling perlu diwaspadai adalah al-nafs al-ammarah yang mencakup sikap rakus, hasad atau dengki, sombong, dan syahwat keduniaan—mabuk seks, gila harta benda dan kekuasaan. Manusia beriman perlu pula menjaga diri dari al-nafs al-lawwamah yang mencakup sikap seperti suka mencela, menipu, dusta, membanggakan diri sendiri, dan zalim.

Syahwat kekuasaan

Kedua bentuk hawa nafsu—ammarah dan lawwamah—dengan mudah dapat terlihat dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Dari hari ke hari orang mengikuti pemberitaan yang hampir tidak pernah putus mengenai perilaku seks menyimpang seperti pemerkosaan dan paedofilia.

Pada saat yang sama, kita juga dengan mudah dapat menyaksikan meningkatnya kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik. Di mana-mana kita bisa menyaksikan orang berlomba-lomba menampilkan gaya hidup konsumtif dan boros.

Tidak kurang mencoloknya adalah peningkatan gejolak syahwat kekuasaan di tengah meningkatnya persaingan menuju kursi kepresidenan yang akan diputuskan melalui pelaksanaan pemungutan suara pada 9 Juli 2014. Dalam kampanye untuk mendapatkan dukungan suara, al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah kelihatan begitu merajalela dalam berbagai bentuk kampanye hitam, yang umumnya berisi fitnah yang jauh dari kebenaran.

Menjelang pemungutan suara untuk pilpres kali ini, di tengah kekhusyukan kita menjalankan ibadah puasa, semestinya al-nafs al-ammarah dan al-nafs al-lawwamah semakin ditinggalkan. Jika tidak, ibadah puasa yang dikerjakan tidak bakal menghasilkan apa-apa kecuali sekadar lapar dan dahaga.

Sebaliknya, ibadah puasa seyogianya dapat menumbuhkan al-nafs al-muthma’innah, yakni hawa nafsu yang sudah tenang dan damai. Dengan al-nafs al-muthma’innah, orang tidak lagi dikuasai syahwat kebendaan dan kekuasaan yang menghalalkan cara-cara Machiavelian.

Sebaliknya, ia lebih banyak bersyukur dan merasa cukup dengan rezeki yang halal (qana’ah). Pada saat yang sama juga lebih bertawakal dalam semua ikhtiar yang dilakukan dan melaksanakan amal saleh—termasuk dalam kehidupan politik—secara ikhlas dengan hanya mengharap rida Allah semata.

Dengan begitu, ibadah puasa di bulan Ramadhan dapat bermakna sangat positif dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara-bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar