Pengelolaan
Dana Haji
Sulastomo
; Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia
1990-2000
|
KOMPAS,
25 Juni 2014
KETIKA
melantik pengurus Ikatan Persaudaraan Haji
Indonesia Pekanbaru, Riau, awal 1990-an, Gubernur Riau berbisik, ”Apakah dana haji Indonesia tidak dapat
dikelola seperti dana haji Malaysia?” Mengapa? Kebun kelapa sawit yang
ada di Riau ternyata merupakan investasi dana haji Malaysia. Tentu tidak
banyak yang mengetahui karena investasi itu melalui lembaga investasi yang
kredibel.
Pada
1993, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) mengirimkan sekitar 30
pengurus IPHI dari sejumlah daerah dan pusat untuk meninjau Lembaga Tabung
Haji Malaysia di Kuala Lumpur. Ternyata benar, Lembaga Tabung Haji Malaysia
telah berperan besar dalam perekonomian negara jiran itu.
Gedung
Lembaga Tabung Haji itu 38 lantai meski tidak semuanya mereka gunakan.
Sisanya disewakan. Dana haji yang belum dimanfaatkan diinvestasikan dalam
berbagai bentuk, mulai dari kebun kelapa sawit di Indonesia, hotel,
transportasi sampai perminyakan. Untuk
apa? Meningkatkan pelayanan dan
meringankan beban calon jemaah haji.
Lembaga
Tabung Haji Malaysia berdiri sejak 1959.
Setiap calon jemaah haji Malaysia wajib membuat perencanaan kapan
hendak melaksanakan ibadah haji. Selama tenggang waktu pendaftaran sampai
saat melaksanakan ibadah haji, calon jemaah haji diwajibkan menabung yang
besarannya bergantung pada tenggang waktu menunggu. Selain itu, disesuaikan
juga dengan kemampuan ekonomi calon jemaah haji. Dengan demikian, tak
memberatkan calon jemaah haji. Selain menabung, setiap calon jemaah haji juga
dapat menarik manfaat nilai tambah hasil investasi dana Lembaga Tabung Haji
sehingga biaya menunaikan ibadah haji relatif lebih murah.
Dengan
kemampuan dana seperti itu, Lembaga Tabung Haji Malaysia memperoleh peluang
meningkatkan pelayanan haji. Sewa pemondokan bisa lebih awal sehingga
memperoleh pemondokan yang lebih dekat. Bahkan, mereka mampu membeli pondokan
sendiri. Padahal, harga tanah di Mekkah termasuk yang termahal di dunia.
Konon, salah satu hotel bintang lima di dekat Masjidil Haram adalah hotel
Malaysia. Siapa tahu, hotel itu juga merupakan bentuk investasi dana haji
Malaysia.
Bagaimana di Indonesia?
Tertarik
dengan pengalaman Malaysia, IPHI menggagas kemungkinan semacam Lembaga Tabung
Haji di Malaysia diterapkan di Indonesia. Dengan jumlah calon jemaah haji
sepuluh kali lipat, Indonesia punya potensi jauh lebih besar.
Jika
konsep tabung haji diterapkan, alangkah besar peran ekonomi dana haji. Selain
itu, juga akan meringankan calon jemaah haji. Mereka tak perlu menjual tanah
atau harta kekayaan lain sebagaimana banyak disindir orang. Suatu hal yang
sebenarnya tak sesuai dengan rukun haji mengingat rukun Islam yang kelima itu
hanya diwajibkan bagi Muslim yang mampu, termasuk mampu dari segi materi.
Apabila
konsep tabung haji diselenggarakan, perencanaan untuk menunaikan ibadah haji
juga akan lebih sempurna. Dalam tenggang waktu menunggu, seorang calon jemaah
haji dapat mempersiapkan diri, baik yang terkait ibadah haji maupun yang
lain, misalnya kesehatan dan kemampuan dana. Penyelenggaraan haji juga akan
lebih baik sehingga tak terkesan merepotkan.
Penyelenggaraan
haji niscaya akan memperoleh peluang diselenggarakan secara lebih
profesional. Daftar calon jemaah haji pada tahun tertentu sudah dapat
dipastikan jauh hari sebelumnya sehingga sulit disisipi calon jemaah haji
lain yang belum terdaftar, termasuk para pejabat negara. Pertanggungjawaban
keuangan haji juga akan lebih transparan sehingga terjadinya tindak korupsi
dapat dicegah. Hal ini dimungkinkan karena akan ada pemisahan antara
regulator, pengawasan, dan penyelenggara ibadah haji. Konflik kepentingan pun
dapat dihindari.
Meski
demikian, kecenderungan penyelenggaraan haji secara menabung sulit dihindari.
Sekarang waktu tunggu untuk menunaikan ibadah haji juga sudah memerlukan
beberapa tahun. Dananya hanya disimpan dalam bentuk giro, deposito, dan
belakangan dalam bentuk sukuk. Hal itu dapat dipahami karena jumlah dananya belum cukup besar
untuk diinvestasikan dalam bentuk investasi jangka panjang agar likuiditasnya tidak terganggu. Nilai
tambahnya tentu terbatas.
Dengan
kewenangan penyelenggaraan haji dalam satu lembaga, yaitu Kementerian Agama,
berbagai kelemahan juga terbuka lebar. Momentum penyelenggaraan haji secara
profesional tertutup. Hal ini, antara lain, terungkap dari peristiwa
terbukanya dugaan kasus korupsi di Kementerian Agama akhir-akhir ini. Selain
itu, juga menghambat peningkatan pelayanan jemaah haji di Tanah Suci,
misalnya kondisi pemondokan yang sering dikeluhkan. Peluang untuk memperoleh
pemondokan yang dekat dengan Masjidil Haram juga terhambat oleh persaingan
dengan negara lain. Apalagi dengan Malaysia, sebagaimana digambarkan di atas.
UU Haji
Tentu
saja semua itu harus ditempuh berdasarkan peraturan atau UU yang berlaku. Di
DPR, konon sudah mulai ada pembicaraan untuk mengubah UU tentang Penyelenggaraan
Haji.
Namun,
berita itu timbul-tenggelam. Terjadinya pro dan kontra perubahan
penyelenggaraan haji sempat muncul. Hal ini tidak terlepas dari adanya
kepentingan berbagai pihak mengingat dalam penyelenggaraan haji berputar uang
miliaran rupiah yang rawan dikorupsi.
Apalagi
banyak di antara para calon jemaah yang tidak peduli dengan kualitas
pelayanan yang diperolehnya. Semakin banyak mengeluh, kita diyakinkan sebagai
kurangnya memperoleh haji mabrur. Kita harus tetap sabar dengan pelayanan
yang buruk sekalipun hanya agar memperoleh haji mabrur. Meski Presiden
Soeharto menyetujui usul IPHI tentang penyelenggaraan haji sesuai konsep
tabung haji, wujud tabung haji Indonesia belum juga terwujud.
Suryadharma
Ali mungkin akan terbebas dari tuduhan korupsi jika saja lembaga tabung haji
di Indonesia telah terwujud. Sebab, dalam konsep lembaga tabung haji, secara
institusional lembaga ini di bawah presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar