Masyarakat
Ekonomi ASEAN dan Pilpres
Tirta
N Mursitama ; Ketua Departemen Hubungan
Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Plt Ketua Asosiasi Ilmu
Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
|
KORAN
SINDO, 23 Juni 2014
Tiada
terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara
akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan
lagi, MEA akan efektif 1 Januari 2016. Namun hingga kini tidak terlihat jelas
bagaimana Indonesia secara khusus mempersiapkan diri.
Hal yang
terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis
menghadapinya demikian pula masyarakat. Geliat semangat menyongsong MEA
secara hakiki itu tidak hadir dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya
tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA 2015. Bila demikian, apakah menjadi
sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi negara di Asia Tenggara
dan negara lain di kawasan yang lain? Pertanyaan retoris itu semestinya tidak
membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna.
Sebagai
sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong
negara (state-led process) ini
sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya memenuhi kebutuhan
penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri sepertinya
sudah kewalahan. Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa,
langkah apa yang harus dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah
dikerjakan kepada seluruh pemangku kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa
yang harus dilakukan agar tidak sekadar sumpah serapah yang keluar dari para
pemangku kepentingan yang tiada guna.
Regionalisasi
Dalam
khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan
regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya
terletak pada siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi
tersebut. Regionalisme didorong negara (state-led
process), sedangkan regionalisasi didorong oleh aktor non-negara (nonstate-led process). Ketika negara
terlalu ”sibuk” dengan berbagai urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan
tidak terasa, inisiatif dari swasta (perusahaan), akademia, pers, lembaga
sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi penting.
Caranya
dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk
aktibitas, cakupan, dan kedalaman program yang bisa dilakukan. Aktivitas
mendasar yang bisa mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan
kepada khalayak di sekitar kita tentang hakikat MEA dan dampaknya. Institusi
resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat
dijadikan rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi
standar atau dasar tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif.
Namun kadang
bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan kurang
dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar, sedangkan
spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit
menyampaikan pesan secara tepat. Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara
komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai
latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini. Pertanyaan
lain, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan
Indonesia menghadapi MEA?
Pilpres
Saat ini
bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden
untuk masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama
sembilan negara ASEAN akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih
menjadi presiden akan menorehkan sejarah membawa Indonesia berkontribusi
bahkan siap memimpin ASEAN. Bila dipelajari dari visi misi dua capres, masih
terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi yang secara
spesifik membahas ASEAN. Dalam membedahnya dapat kita lihat dari dua hal.
Pertama , platform kebijakan luar negeri mereka. Pasangan Jokowi-JK
menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang
disegani. Adapun platform pasangan Prabowo-Hatta adalah fokus pada kebijakan
luar negeri bebas aktif.
Kedua ,
kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor idiosinkrasi
presiden. Faktor ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat
pada diri pribadi presiden. Contohnya karakter, cara berpikir, kebiasaan,
budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai yang diyakini serta sifat-sifat pribadi
lainnya sebagai manusia. Bila dibandingkan, kedua capres memiliki perbedaan
yang mendasar dilihat dari sisi yang diperlihatkan di depan publik dan sisi
yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha memunculkan citra sebagai macan Asia
yang tegas, asertif, disegani.
Ia
muncul sebagai antitesis atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih
tenang, kalem, hati-hati, cenderung tidak decisive
sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar belakang
militer. Adapun capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana,
dan berusaha menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat
yang sebenarnya di tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang
sempurna. Walau demikian, ia memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkret
dengan hasil yang jelas.
Dengan
faktor idiosinkrasi dari kedua capres, keduanya memiliki tantangan yang sama
untuk ”memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan
contoh-contoh kerja konkret di dalam negeri akan semakin disegani di luar
negeri. Bukan kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam
negara-negara lain di kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku ASEAN Way yang suka atau tidak masih
tetap berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar