Menggugat
Penghapusan Kolom Agama
Mirawati
Uniang ; Mahasiswa Universitas Eka Sakti
|
HALUAN,
24 Juni 2014
Wacana
penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) kembali menghangat.
Polemik dan argumentasi terus bergulir, baik di media massa maupun ranah maya. Jika sejumlah ormas dan
LSM menggalang dukungan dan pro penghapusan, sebaliknya PBNU justru berada di
pihak yang kontra.
Meski
baru sebatas wacana, namun isu tersebut cukup meresahkan. Banyak masyarakat
yang bertanya, apakah hal tersebut benar-benar akan terjadi atau hanya isu
belaka?
Sebelum
jauh mengkritisi, perlu digarisbawahi, Saya bukan tim sukses atau relawan dari pasangan capres nomor
urut satu atau dua. Juga tidak terafiliasi dengan lembaga riset
capres-cawapres manapun. Jadi, bukan hal yang penting untuk mengkaji,
capres-cawapres mana yang melempar wacana tersebut. Permasalahannya sekarang
adalah, wacana tersebut mengusik nurani dan rasa keberagamaan umat di negeri
ini.
Ide
penghapusan kolom agama merupakan ide konyol yang tidak berdasar sama sekali.
Bukankah sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? Secara
kasat mata maupun implisit, sila ini mencerminkan adanya keyakinan terhadap
Tuhan Pencipta alam semesta ini. Keyakinan yang kemudian diakomodir dalam
bentuk ajaran atau syariat agama.
Agama –
Islam, Kristen, Hindu dan Budha – yang diakui di republik ini, merupakan
identitas bagi setiap pemeluknya. Bukan sekedar simbol dan catatan hitam di
atas putih, tapi melekat erat dalam kehidupan sehari-hari. Agama bukan
sekedar relasi manusia dengan Tuhan, yang sifatnya pribadi dan harus
disembunyikan. Sebab hampir semua sendi kehidupan mulai dari kelahiran,
pernikahan hingga kematian, tidak terlepas dari prosesi ajaran agama.
Pihak
yang pro penghapusan sepertinya terlalu terburu-buru mengklaim agama sebagai
dalang atau biang yang menyulut terjadinya pertikaian, masalah sosial dan
konflik antar umat beragama selama ini. Padahal yang terjadi adalah oknum
yang berusaha menangguk di air keruh, menjadikan agama sebagai tameng untuk
melegalisasi perbuatan memperkaya diri dan kroninya.
Memang
harus kita akui, adanya orang-orang berpredikat shaleh yang kemudian melakukan
tindakan korupsi, prilaku asusila, menganulir kekerasan atas nama jihad dan
lain sebagainya. Tapi itu tidak bersumber dari agamanya. Namun lebih kepada
individu bersangkutan yang tersesat dalam menjalankan ajaran agama. Tragedi
gereja Yasmine di Bogor beberapa tahun lalu, juga menjadi contoh adanya
pihak-pihak yang ingin memecah belah kerukunan umat beragama, menciptakan
konflik sosial yang seolah-oleh bersumber dari masalah agama.
Keberadaan
Masjid Istiqlal yang persis di samping Gereja Katedral, merupakan cerminan
toleransi dan kerukunan antar umat beragama di negeri ini. Sejatinya, ajaran
agama yang bersumber dari kasih sayang – rahmatan
lil’alamiin – menjadi buhul yang menyatukan antar umat di muka bumi ini.
Kekhawatiran munculnya gerakan atau gelombang perlawanan yang mengancam
stabilitas negara dan kelompok tertentu, hanya kabar pertakut belaka.
Dalih
“menyelamatkan” kaum minoritas dari tindakan diskriminasi pun, terasa
dibuat-buat dan naïf. Jika kita bicara tentang diskriminasi, sifatnya relatif
dan kondisional. Pemicu perlakuan diskriminatif tidak selalu didominasi oleh
masalah agama yang dianut seseorang. Jenis kelamin dan pekerjaan bahkan
tempat lahir yang mengidentifikasi asal seseorang (ketiganya juga tercantum
di KTP) juga bisa menjadi bumerang yang berujung pada perlakukan diskriminatif
baik secara individu, kelompok maupun kelembagaan.
Contohnya,
apakah orang yang di KTP-nya terdaftar sebagai buruh cuci atau nelayan akan
mendapatkan layanan publik yang sama dengan mereka yang ber-KTP PNS atau
Polri? Faktanya, orang-orang dari kasta rendah – termasuk dari sisi pekerjaan
– acap dipandang sebelah mata, ketika berurusan di instansi publik, tak
terkecuali di kelurahan dan pelayanan di rumah sakit (baca: juga puskesmas).
Daripada
harus dua kali kerja, makan biaya dan waktu, sebaiknya pihak pelempar wacana
juga berfikir untuk men-delete
ketiga kolom ini, yakni jenis kelamin, tempat lahir dan pekerjaan.
Dari
sisi efektifitas dan efisiensi, penghapusan kolom agama di KTP justru berpotensi
menimbulkan kerancuan (baca:kekacauan) dan biaya besar. Pasalnya, bukan hanya
di kartu bernama KTP saja, terdapat pencantuman kolom agama. Tapi hampir di
semua kartu yang merupakan identitas. Mulai dari kartu berobat, Kartu
Keluarga (KK) dan kartu-kartu lainnya. Sebagian kartu pelajar atau mahasiswa
juga mencantumkan kolom agama. Untuk kartu berobat misalnya, dari dua kartu
yang Saya miliki, keduanya mencantumkan dengan jelas agama si pasien.
Jika
penghapusan kolom agama di KTP benar-benar terjadi, ke depannya pemerintah akan
direpotkan dengan administrasi dan pencetakan kartu-kartu tanpa kolom agama
ini. Untuk proyek pengadaan kartu bernama e-KTP saja, pemerintah harus
menggelontorkan miliyaran rupiah dana APBN. Dan kini sedang dibidik KPK pula.
Celaka, kan?
Jadi,
dalam perspektif Saya, penghapusan kolom agama di KTP bukan hanya sekedar wacana ngawur dan naïf,
tapi juga kebijakan emosional yang terburu-buru sekaligus juga akan membebani
keuangan negara. Tak tertutup kemungkinan akan menjadi blunder bagi pihak tertentu.
Jika negara atau pemerintah bersungguh-sungguh ingin memberikan rasa aman dan
perlindungan bagi kaum minoritas, bisa dengan cara melakukan penguatan
perundang-undangan yang sudah ada. Tidak perlu melakukan perubahan secara
frontal dengan mengubah sesuatu yang sudah baik dan pada tempatnya. Apalagi
hanya sekedar latah mengikuti aturan dari negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar