Yogyakarta
Bre
Redana ; Penulis Kolom
“Catatan Minggu” di Kompas
|
KOMPAS,
29 Juni 2014
Setiap
kali ke Yogya saya tidak akan melewatkan makan ayam goreng Mbah Cemplung dan
mangut lele Mbah Marto, keduanya di desa di Kabupaten Bantul. Yang istimewa
dari Yogya bagi saya adalah makanan rakyat dan semangat kerakyatannya.
Semangat kerakyatan: satu padu meniadakan perbedaan.
Benar,
apa sih yang tidak berhasil ditekuk oleh semangat kerakyatan Yogya? Heri
Pemad, CEO Heri Pemad Art Management
(HPAM) yang kini tengah menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer
bernama ArtJog di Taman Budaya
Yogyakarta, sempat mencemaskan ”sakralitas” seni di tengah hura-hura
pengunjung. Sudah dikenakan tiket masuk untuk membatasi pengunjung
(tahun-tahun sebelumnya gratis), setiap hari pameran tetap dijubeli
pengunjung. Mereka berfoto-foto di depan berbagai karya kontemporer, yang
bagi sebagian besar pengunjung barangkali dianggap benda-benda aneh.
”Sejumlah
seniman mempertanyakan apresiasi pengunjung. Apa ArtJog ini nanti tidak jadi tempat hura-hura belaka...,” ucap
Heri Pemad. ”Meskipun saya juga gembira, karena pemasukan tiket,” tambahnya
tertawa.
Tentu
saja, pertanyaan tadi tidak seberapa serius kalau dibanding, misalnya,
pertanyaan soal pemalsuan karya di dunia seni rupa. Apalagi dibanding
pertanyaan bagaimana nasib bangsa kalau jatuh di tangan salah satu calon
presiden nanti.
Dari
waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, sebenarnya di Yogya tidak pernah ada
dikotomi di antara berbagai gejala yang berlawanan. Entah itu seni murni atau
pop, serius atau main-main, modernitas atau tradisi, olo utowo becik kata orang Jawa, semua berjalan sebagaimana
adanya, seperti keberadaan siang-malam. Rasanya, tak pernah mendengar wacana
pertentangan pendapat, misalnya, turisme versus nilai-nilai lokal. Di
daerah-daerah lain, orang suka meramaikan omong kosong seperti itu. Untuk
Yogya, semua biasa-biasa saja.
Seusai
nongkrong di Sangkring Art Space
bersama kolektor dan kurator dari Jakarta dan Singapura, terus cari makan di
kampung. Semua senang. Teman cewek, manajer komunikasi merek terkenal dari
Jakarta, paling bahagia kalau makan gudeg pawon, di sebuah dapur di kampung
di Yogya.
Gejala
modernisme, atau yang mutakhir sekarang gejala kontemporer, tidak pernah
membuat Yogya gagap. Pulang dari New York di awal tahun 1970-an dulu,
dramawan Rendra mengusung dari Sophocles sampai Ionesco di panggung. Toh, itu
tak membuat Bengkel Teater dikenang sebagai kelompok teater Barat? Roh Rendra
dan Bengkel Teater adalah roh kaum urakan dari Parangtritis.
Begitu
pun pelukis Affandi yang menorehkan ekspresionisme Barat dan memiliki
mobil-mobil sport mewah di zamannya. Rasanya, tak ada yang menganggap Affandi
sebagai manusia kebarat-baratan dan hedonis. Dia dikenang sebagai sosok
sangat merakyat—beda dibanding kaum berpunya zaman ini yang mengaku dekat
dengan rakyat.
Itu
semua merupakan gejala khas Yogya. Hip hop dari New York, di Yogya
diterjemahkan menjadi Jogja Hip Hop
Foundation yang main di kampung-kampung, dengan lirik dan ucapan bahasa
Jawa. Lewat liriknya, mereka melontarkan kritik sosial yang sangat relevan
dengan lingkungannya. Sikap politis pendiri Jogja Hip Hop Foundation, Marzuki Kill the DJ, bisa kita lihat di
televisi saat ini dengan dukungannya kepada salah satu calon presiden.
Begitu
pun kafe-kafe, yang dianggap merupakan bagian gaya hidup urban. Rasanya tetap
berbeda nongkrong di Via Via Cafe
di Prawirotaman atau Epic Coffee di
Sleman, dibanding di kafe-kafe di Jakarta. Di Yogya, tetap terasa semangat
kerakyatan serta melebur atau kalisnya sesuatu yang baru, berbeda, the other, liyan. Yang kontemporer dan
tradisional, yang modis dan ndeso, yang serius dan plesetan, berkoeksistensi
damai. Jangan itu terusik oleh gerombolan yang mencoba menyeragamkan segala
hal.
Itu yang
membuat kami kangen Yogya. Bersama Guru Besar Persatuan Gerak Badan Bangau Putih Gunawan Rahardja, kami nanti
akan ramai-ramai ke Yogya. Makan di Mbah Cemplung, mengunjungi galeri
kontemporer, ke Mendut, Merapi, dan lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar