Risiko
Reputasi di Balik Rp 7.200 Triliun
A
Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi
dan Kebijakan Publik
(PSEKP) UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2014
KETIKA Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Abraham Samad pertama kali mengeluarkan pernyataan (7 September
2013), bahwa potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang setiap
tahun karena penyelewengan atas pajak dan royalti yang dibayarkan dari sektor
migas dan tambang, topik ini sempat menjadi diskusi menarik dalam grup
Blackberry Messenger dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Saya sebenarnya
sempat ingin menulis artikel di media. Sayang, belum sempat menuliskannya,
topik ini keburu tenggelam oleh topik-topik yang lain.
Di luar dugaan, pernyataan itu
kemudian dikutip calon presiden Prabowo Subianto dalam debat capres pekan
lalu (15/6), dengan istilah `telah
terjadi kebocoran anggaran Rp 7.200 triliun setiap tahun'.
Beberapa wartawan pun malam itu
minta komentar saya. Saya pun saat itu merespons cepat melalui pesan pendek, “Saya menyayangkan Prabowo yang memercayai
Abraham Samad bahwa ada kebocoran Rp 7.200 triliun dalam perekonomian kita.
Angka ini menggelikan karena besarannya (magnitude) terlalu besar. Produk
domestik bruto kita setahun Rp 9.400 triliun, sedangkan APBN kita tahun ini
Rp1.840 triliun. Bagaimana mungkin kebocoran hingga Rp 7.200 triliun?“
Jika menggunakan data 2013, angkanya lebih kecil lagi. Data PDB Indonesia di
bawah Rp9.000 triliun, sedangkan APBN 2013 sekitar Rp1.680 triliun.
Kesalahan terbesar Prabowo dan
Abraham Samad, menurut saya, ialah keduanya tidak memiliki sense yang cukup
baik mengenai data perekonomian Indonesia. Data ekonomi saya ibaratkan
seperti hasil tes laboratorium seorang pasien. Jika ada pasien datang ke
dokter dan menyatakan bahwa tekanan darahnya mencapai 1.000, dokter tersebut
akan merespons, “Itu tidak mungkin, tidak
masuk akal. Jika benar tekanan darah Anda 1.000, anda seharusnya tidak di
sini, melainkan di permakaman sana.“ Normalnya, tekanan darah seseorang
adalah 80 (diastolik/ bawah) dan 120 (sistolik/atas). Seseorang tidak mungkin
bertahan hidup dengan hipertensi hingga 1.000 mmHg. Pasti sudah mati!
Pemahaman data yang buruk juga
pernah terjadi pada saat Presiden Soeharto lengser ada 21 Mei 1998. Di tengah
hiruk pikuk orang menghujat Soeharto, tiba-tiba kita dikejutkan oleh gosip
bahwa Soeharto memiliki harta (total
assets) mencapai US$100 miliar. Hebatnya lagi, hal itu bahkan sampai
dijadikan cover story majalah Time segala.
Banyak anggota masyarakat yang
memercayainya. Begitu pula sebagian pengamat ekonomi seperti memberi dukungan
terhadap angka yang fantastis tersebut.
Saya termasuk satu dari sedikit
pengamat ekonomi yang tidak percaya. Mengapa? Simpel saja. Orang terkaya di
dunia saat itu adalah Bill Gates Jr, pemilik Microsoft, dengan kekayaan total
sekitar US$40 miliar.
Bagi saya tidak masuk akal bahwa
kekayaan Soeharto bisa 2,5 kali lipat kekayaan Bill Gates. Jika data tersebut
benar, mestinya Soeharto menjadi orang terkaya di dunia, melampaui Bill
Gates, Ratu Elizabeth, dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah.
Faktanya, nama Soeharto tidak
pernah disebut majalah Forbes, yang biasanya setiap tahun rajin merilis data
orang terkaya di dunia. Data terakhir, kekayaan Bill Gates saat ini sekitar
US$77 miliar.
Bayangkan, sekarang pun kekayaan
Gates tidak sampai US$100 miliar, seperti dituduhkan Time untuk Soeharto pada
1998! Betapa buruknya akurasi Time saat itu!
Lalu, bagaimana mungkin Time bisa salah dan memercayai begitu
saja bahwa Soeharto memiliki US$100 miliar? Tidak jelas. Yang jelas, ini juga
kasus yang menggelikan. Time tidak
sepantasnya melakukan blunder yang memalukan tersebut.
Belakangan ternyata memang tidak
ada bukti bahwa Soeharto memiliki kekayaan sebanyak itu. Bahwa Soeharto kaya,
memang benar.
Namun, magnitude kekayaannya tidaklah sebesar itu. Kekayaan Soeharto saya
prediksikan `hanya' di bawah US$10 miliar.
Sesudah 1998, bisnis anak-anak
Soeharto pun kocar-kacir sehingga Bambang Trihatmodjo sampai kehilangan
Bimantara, dan Tutut kehilangan TPI. Time telah gagal mempertahankan
reputasinya. Terjadi reputational risk dalam kasus ini.
Membangun asumsi
Belakangan muncul argumentasi
bahwa kekayaan Soeharto disusun berdasarkan asumsi bahwa dia mengorupsi US$1
setiap barel produksi minyak sejak 1970-an. Ini juga menggelikan karena harga
minyak dunia 1970 ialah US$1 per barrel, lalu naik menjadi US$3 (1973), US%9
(1978), US$32 (1981), jatuh menjadi US$9 karena terjadi kelebihan suplai
(1986), naik menjadi US$40 karena Perang Teluk (1991), dan seterusnya.
Bangunan asumsi ini pun bagi saya tetap tidak logis.
Orang terkaya di dunia saat ini
bergantian ditempati Bill Gates karena menjual produk Microsoft yang
konsumennya seluruh dunia. Adapun nomor dua ialah Carlos Sim, konglomerat
telekomunikasi dari Meksiko.
Tidak ada ceritanya orang
terkaya di dunia diduduki seorang kepala negara sekalipun dia ahli waris
kekayaan besar seperti Kerajaan Inggris, Arab Saudi, atau Brunei. Orang terkaya
tetap saja seorang wiraswasta (entreprenuer)
dengan produk global.
Kalau bicara soal kebocoran,
sebenarnya data dan magnitude yang masuk akal dan masih relevan justru
proyeksi yang dibuat Sumitro Djojohadikusumo, ekonom besar yang menjadi
arsitek utama perekonomian Indonesia era Soeharto.
Pada paruh kedua dasawarsa
1980-an, Pak Cum (panggilan akrab Prof Sumitro) mengatakan, “Perekonomian Indonesia kalah efisien 30%
jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, terutama Malaysia, Thailand,
dan Filipina.“ Dasarnya, incremental
capital output ratio (ICOR) Indonesia adalah 5, sedangkan negara-negara
tetangga 3,5.
Kalah efisien
Variabel ICOR menunjukkan
seberapa besar investasi (atau tambahan kapital) yang diperlukan untuk
menciptakan output sebesar 1 dalam setiap tahun.
Dengan kata lain, di Indonesia
diperlukan investasi sebesar 5 untuk menghasilkan output sebesar 1. Jadi,
jika kita investasi 5 unit, investasi tersebut baru akan balik modal (impas)
selama 5 tahun.
Adapun di Malaysia-Thailand-Filipina,
balik modalnya sesudah 3,5 tahun. Berarti Indonesia kalah efisien sekitar
30%, yang dapat dihitung dari 1,5 unit dibagi 5 unit.
Pernyataan Pak Cum--ayahanda
Prabowo--kemudian diterjemah kan menjadi, “Terjadi kebocoran dana pembangunan
dalam anggaran Indonesia sebesar 30%.“ Maka, kemudian terjadilah polemik yang
seru mengenai isu ini. Menurut saya, interpretasi itu juga tidak salah.
Kenyataannya, dalam proyek-proyek
pembangunan yang dikeluarkan dalam APBN kita, sering muncul `item siluman'
yang bernama kick back. Kick back
adalah sejumlah dana yang kembali dari proyek yang digarap dengan dana APBN
untuk diberikan kepada kepala proyek dan para birokrat yang berada di
departemen (sekarang kementerian). Kebetulan, angka kick back itu jumlahnya juga sekitar 30% atau kurang.
Fenomena kick back hingga kini masih terjadi. Volume APBN 2014 ialah
sekitar Rp1.840 triliun, yang dibagi menjadi belanja pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan subsidi energi (BBM dan listrik) yang hampir Rp400
triliun.
Dari belanja tersebut ada item
yang tidak mungkin bocor, yakni gaji pegawai negeri, tentara, polisi, dan
seterusnya. Jadi jika akan terjadi kebocoran, taruhlah jumlahnya Rp1.000
triliun, dan jika kita memegang angka kebocoran berupa kick back 30% seperti dinyatakan Pak Cum, akan ketemu angka Rp300
triliun.
Besaran ini jauh lebih masuk
akal daripada angka-angka yang `seram' seperti Rp1.000 triliunRp7.200
triliun.
Jika yang dimaksud ialah `potensi penerimaan pajak sumber daya
alam'--sebagaimana dinyatakan Prabowo dan Samad-saya berpendapat bahwa
angka Rp7.200 triliun (Samad bahkan pernah menyebut angka Rp 21 ribu triliun)
juga masih terlalu besar. Saya yakin potensi tersebut memang besar, tapi
tidak sampai mendekati angka PDB.
Perlu pemahaman
Sensitivitas penguasaan data
ekonomi juga diperlukan bagi seorang presiden. Dulu, Presiden Soeharto pernah
mendemonstrasikannya ketika menjelaskan data harga bibit, kebutuhan pupuk,
pestisida, produktivitas petani, harga beras, dan lainlain, ketika beliau
blusukan ke desa-desa didampingi Menteri Penerangan Harmoko. Memori mengenai
hal ini masih terngiang di benak saya, karena acara itu diliput secara
langsung oleh TVRI, dan wajib ditonton karena tak ada alternatif stasiun
televisi lain pada waktu itu.
Pelajaran dari kasus ini ialah
kita memerlukan pemahaman yang baik mengenai perekonomian Indonesia.
Ibaratnya, hal ini seperti seorang dokter yang hapal di luar kepala mengenai
hasil laboratorium pasiennya seperti tekanan darah, kadar kolesterol,
hemoglobin, gula, trombosit, dan seterusnya.
Dalam perekonomian, sejumlah
indikator utama semacam itu, yang wajib diketahui ekonom di luar kepala,
seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, volume APBN, utang
pemerintah, utang swasta, tingkat pengangguran, dan angka kemiskinan.
Menyebutkan angka Rp 7.200
triliun secara tidak valid dan salah konteks telah menimbulkan reputational risk tertentu bagi
seorang calon presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar