Selasa, 24 Juni 2014

Kembalinya Korps Pamong Praja

Kembalinya Korps Pamong Praja

Hanif Nurcholis  ;   Dosen Pascasarjana Universitas Terbuka;
Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
KOMPAS, 23 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
Politik pemerintahan daerah di negara kita selalu berbolak- balik arah, dari desentralistik ke sentralistik dan sebaliknya (Bhenyamin Hoessein, 1993).
Pada awal kemerdekaan, negara kita menganut model desentralistik (UU No 1/1945, UU No 22/1948, UU No 1/1957). Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959,  model desentralistik diganti dengan model sentralistik (Penpres 6/1959, UU No 18/1965, dan UU No 5/1974). Pasca kejatuhan rezim Orde Baru, politik pemerintahan daerah kembali ke desentralistik (UU No 22/1999 dan UU No 32/2004). Naga-naganya, pemerintahan SBY pada akhir periodenya melalui RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang diajukan ke DPR hendak mengembalikan pemerintahan daerah ke model sentralistik.

Upaya pembalikan model itu tak terlepas dari kegundahan pemerintah atas kinerja pemerintahan daerah yang tidak efektif dan efisien di alam reformasi ini. Pemerintahan daerah diwarnai lebih dari 60 persen kepala daerah tersangkut tindak korupsi, kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, dan bupati/wali kota tidak patuh kepada gubernur.

Menteri Dalam Negeri, Dirjen Otda, dan Juru Bicara Kemendagri terus-menerus menuduh model desentralistik-demokratislah penyebabnya. Karena itu, model tersebut perlu dikoreksi agar pemda dapat memberikan pelayanan prima kepada publik. Sentralisasi jadi pilihan karena model ini mampu menciptakan stabilitas, efisiensi, dan efektivitas pemerintahan sehingga pelayanan publik dan program pembangunan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. 

Model sentralistik yang dianut RUU Pemda ini ditandai empat indikator. Pertama, dibentuk korps pamong praja (aparatur Kemendagri) sebagai penyelenggara urusan pemerintahan umum di semua tingkatan pemerintahan administratif.

Kedua, dibentuk instansi vertikal dari kementerian-kementerian sektoral di daerah otonom sebagaimana zaman Orde Baru.

Ketiga, daerah otonom berimpit dengan wilayah administrasi (local state government) sebagaimana zaman Belanda dan Orde Baru, yaitu pemerintah daerah provinsi sekaligus sebagai pemerintah wilayah administrasi provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sekaligus sebagai pemerintah wilayah administrasi kabupaten/kota.

Keempat, disusun pemerintahan hierarkis berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah pusat-pemerintah wilayah administrasi provinsi-kabupaten/kota- kecamatan-kelurahan/desa.

Empat ciri tersebut adalah indikator pemerintahan sentralistik berdasarkan asas dekonsentrasi, bukan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dipaksakan

Merujuk pada Humes IV (1991), RUU Pemda menganut model dual supervision seperti dianut Perancis dan rezim Orde Baru. Dalam model ini pengawasan pada daerah otonom dilakukan oleh wakil pemerintah pusat dan instansi vertikal milik kementerian yang beroperasi di wilayah-wilayah negara.

Berbeda dengan UU No 32/2004 yang menganut model areal subsidiarization, sebagaimana dianut Jerman. Dalam model ini, pengawasan terhadap daerah otonom dilakukan oleh wakil pemerintah sepanjang menyangkut kebijakan pusat dan oleh dewan daerah untuk urusan rumah tangga daerah otonom. Oleh karena itu, desain dan struktur dalamnya tidak memerlukan korps pamong praja pada wilayah-wilayah administrasi. 

Dilihat dari UUD 1945, RUU Pemda bertentangan dengan Pasal 18 karena lebih mengutamakan asas dekonsentrasi ketimbang asas otonomi dan tugas pembantuan. Padahal, UUD 1945 tidak mengenal asas dekonsentrasi. Pasal 18 menegaskan, pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi mengacu ke asas desentralisasi, sedangkan asas tugas pembantuan merupakan pelengkap asas desentralisasi. Dengan demikian, asas dekonsentrasi yang digunakan dalam RUU ini sangat dipaksakan.

Di samping itu, RUU ini akan mengulang model hubungan pusat-daerah sebagaimana zaman Belanda dan Orde Baru, di mana pemerintah pusat sangat kuat yang berdampak terhadap lemahnya daerah otonom. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, bentuk negara kesatuan sendiri sudah meniscayakan kuatnya pemerintah pusat karena dalam negara kesatuan pemerintah daerah dibentuk oleh pemerintah pusat. Kedua, ketika negara kesatuan menggunakan asas dekonsentrasi dengan sendirinya pemerintah daerah lemah sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.

Hal ini terjadi karena Kemendagri dan kementerian sektoral mempunyai anggaran, SDM, dan sarana-prasarana yang lebih besar daripada pemerintah daerah. Pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan SDM-nya pun lebih baik daripada SDM daerah otonom. Dengan demikian, lembaga korps pamong praja milik Kemendagri dan instansi vertikal milik kementerian sektoral lebih perkasa daripada dinas, kantor, dan badan daerah.

Sebaiknya RUU ini dikonstruksi lagi karena kalau dipaksakan akan kandas di Mahkamah Konstitusi. Pembuat UU lebih baik menyempurnakan model desentralistik yang dianut UU No 32/2004, mengingat UU ini mempunyai lima kelemahan pokok yang perlu diperbaiki.

Pertama, UU ini tak mengatur adanya wakil pemerintah pusat di bawah Mendagri dan di atas gubernur yang mengawasi daerah dengan kewenangan tutelle yang jelas. Kedua, UU ini tidak mengatur sanksi kepada daerah yang tidak dan/atau menunda melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan. Ketiga, UU ini tak mengatur pengambilalihan pengurusan bila daerah tidak mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan. Keempat, UU ini—bersama UU No 33/2004—tak mampu memaksa pemerintah mengalokasikan APBN dengan model kerucut: daerah lebih besar daripada pusat. Kelima, UU ini mengacaukan konsep tugas pembantuan dan dekonsentrasi yang berimplikasi pada skema anggaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar