Kembalinya
Korps Pamong Praja
Hanif
Nurcholis ; Dosen Pascasarjana
Universitas Terbuka;
Sekjen Asosiasi
Ilmuwan Administrasi Negara
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
Politik
pemerintahan daerah di negara kita selalu berbolak- balik arah, dari
desentralistik ke sentralistik dan sebaliknya (Bhenyamin Hoessein, 1993).
Pada
awal kemerdekaan, negara kita menganut model desentralistik (UU No 1/1945, UU
No 22/1948, UU No 1/1957). Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, model desentralistik diganti dengan model
sentralistik (Penpres 6/1959, UU No 18/1965, dan UU No 5/1974). Pasca
kejatuhan rezim Orde Baru, politik pemerintahan daerah kembali ke
desentralistik (UU No 22/1999 dan UU No 32/2004). Naga-naganya, pemerintahan
SBY pada akhir periodenya melalui RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang
diajukan ke DPR hendak mengembalikan pemerintahan daerah ke model
sentralistik.
Upaya
pembalikan model itu tak terlepas dari kegundahan pemerintah atas kinerja
pemerintahan daerah yang tidak efektif dan efisien di alam reformasi ini.
Pemerintahan daerah diwarnai lebih dari 60 persen kepala daerah tersangkut
tindak korupsi, kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, dan bupati/wali kota
tidak patuh kepada gubernur.
Menteri
Dalam Negeri, Dirjen Otda, dan Juru Bicara Kemendagri terus-menerus menuduh
model desentralistik-demokratislah penyebabnya. Karena itu, model tersebut
perlu dikoreksi agar pemda dapat memberikan pelayanan prima kepada publik.
Sentralisasi jadi pilihan karena model ini mampu menciptakan stabilitas,
efisiensi, dan efektivitas pemerintahan sehingga pelayanan publik dan program
pembangunan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Model
sentralistik yang dianut RUU Pemda ini ditandai empat indikator. Pertama,
dibentuk korps pamong praja (aparatur Kemendagri) sebagai penyelenggara
urusan pemerintahan umum di semua tingkatan pemerintahan administratif.
Kedua,
dibentuk instansi vertikal dari kementerian-kementerian sektoral di daerah
otonom sebagaimana zaman Orde Baru.
Ketiga,
daerah otonom berimpit dengan wilayah administrasi (local state government)
sebagaimana zaman Belanda dan Orde Baru, yaitu pemerintah daerah provinsi
sekaligus sebagai pemerintah wilayah administrasi provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota sekaligus sebagai pemerintah wilayah administrasi
kabupaten/kota.
Keempat,
disusun pemerintahan hierarkis berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah
pusat-pemerintah wilayah administrasi provinsi-kabupaten/kota-
kecamatan-kelurahan/desa.
Empat
ciri tersebut adalah indikator pemerintahan sentralistik berdasarkan asas
dekonsentrasi, bukan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dipaksakan
Merujuk
pada Humes IV (1991), RUU Pemda menganut model dual supervision seperti
dianut Perancis dan rezim Orde Baru. Dalam model ini pengawasan pada daerah
otonom dilakukan oleh wakil pemerintah pusat dan instansi vertikal milik
kementerian yang beroperasi di wilayah-wilayah negara.
Berbeda
dengan UU No 32/2004 yang menganut model areal subsidiarization, sebagaimana
dianut Jerman. Dalam model ini, pengawasan terhadap daerah otonom dilakukan
oleh wakil pemerintah sepanjang menyangkut kebijakan pusat dan oleh dewan
daerah untuk urusan rumah tangga daerah otonom. Oleh karena itu, desain dan
struktur dalamnya tidak memerlukan korps pamong praja pada wilayah-wilayah
administrasi.
Dilihat
dari UUD 1945, RUU Pemda bertentangan dengan Pasal 18 karena lebih
mengutamakan asas dekonsentrasi ketimbang asas otonomi dan tugas pembantuan.
Padahal, UUD 1945 tidak mengenal asas dekonsentrasi. Pasal 18 menegaskan,
pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi
mengacu ke asas desentralisasi, sedangkan asas tugas pembantuan merupakan
pelengkap asas desentralisasi. Dengan demikian, asas dekonsentrasi yang
digunakan dalam RUU ini sangat dipaksakan.
Di
samping itu, RUU ini akan mengulang model hubungan pusat-daerah sebagaimana
zaman Belanda dan Orde Baru, di mana pemerintah pusat sangat kuat yang
berdampak terhadap lemahnya daerah otonom. Hal ini terjadi karena dua hal.
Pertama, bentuk negara kesatuan sendiri sudah meniscayakan kuatnya pemerintah
pusat karena dalam negara kesatuan pemerintah daerah dibentuk oleh pemerintah
pusat. Kedua, ketika negara kesatuan menggunakan asas dekonsentrasi dengan
sendirinya pemerintah daerah lemah sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru.
Hal ini
terjadi karena Kemendagri dan kementerian sektoral mempunyai anggaran, SDM,
dan sarana-prasarana yang lebih besar daripada pemerintah daerah.
Pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan SDM-nya pun lebih baik daripada SDM
daerah otonom. Dengan demikian, lembaga korps pamong praja milik Kemendagri
dan instansi vertikal milik kementerian sektoral lebih perkasa daripada
dinas, kantor, dan badan daerah.
Sebaiknya
RUU ini dikonstruksi lagi karena kalau dipaksakan akan kandas di Mahkamah
Konstitusi. Pembuat UU lebih baik menyempurnakan model desentralistik yang
dianut UU No 32/2004, mengingat UU ini mempunyai lima kelemahan pokok yang
perlu diperbaiki.
Pertama,
UU ini tak mengatur adanya wakil pemerintah pusat di bawah Mendagri dan di
atas gubernur yang mengawasi daerah dengan kewenangan tutelle yang jelas.
Kedua, UU ini tidak mengatur sanksi kepada daerah yang tidak dan/atau menunda
melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan. Ketiga, UU ini tak mengatur
pengambilalihan pengurusan bila daerah tidak mampu mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan yang diserahkan. Keempat, UU ini—bersama UU No
33/2004—tak mampu memaksa pemerintah mengalokasikan APBN dengan model
kerucut: daerah lebih besar daripada pusat. Kelima, UU ini mengacaukan konsep
tugas pembantuan dan dekonsentrasi yang berimplikasi pada skema anggaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar