Pesan
Pengawasan untuk Capres
Adnan
Pandu Praja ; Unsur Pimpinan KPK
|
KOMPAS,
24 Juni 2014
SUDAH ratusan koruptor kakap terjaring KPK
bersama instansi lain kendati sudah banyak lembaga pengawas eksternal
independen. Juga ada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi. Bahkan,
tiap tahun presiden mengeluarkan instruksi percepatan pemberantasan korupsi,
tetapi korupsi tetap saja marak. Karena itu, diperlukan terobosan jitu oleh
presiden baru mendatang.
Pada era
1970-an, korupsi di Amerika Serikat sama maraknya dengan korupsi di
Indonesia. Dengan uang 500 dollar AS dapat memengaruhi putusan pengadilan.
Klimaksnya ketika terjadi skandal Watergate oleh tim sukses Presiden Nixon
dalam pemilihan presiden tahun 1972. Dalam perkembangannya, jaksa agung
setengah hati menuntut Presiden Nixon. Akibatnya kepercayaan publik terhadap
Pemerintah AS merosot drastis.
Skandal
Watergate jadi tonggak sejarah reformasi di AS dengan dibentuknya Public
Integrity Section, sebuah lembaga anti korupsi yang juga menangani kejahatan
pemilu, dan diperkuatnya peranan inspektorat jenderal di bawah koordinasi The
Council of Inspectors General on Integrity and Efficiency yang fungsinya
mirip Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Indonesia.
Akar masalah: integritas
Menyadari
telah gagal memberantas korupsi dengan sistem yang ada, saat ini pemerintah sedang
menyusun RUU Sistem Pengawasan Internal Pemerintah yang akan memperkuat
peranan inspektorat jenderal melalui pemberdayaan Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP). Kegagalan APIP selama ini sesungguhnya pada kesalahan
memahami akar masalah birokrasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah
akibat buruknya integritas para abdi negara. Dengan demikian, akar masalah
KKN adalah integritas.
Integritas
adalah kesesuaian antara apa yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan
dilaksanakan. Rekam jejak jadi alat ukur paling dominan. Tak jarang kita
dibuat kaget dengan sejumlah tersangka KPK yang selama ini dikenal baik.
Integritas seseorang tersembunyi jauh di lubuk sanubari seseorang. Persoalan
integritas para abdi negara akan mudah dideteksi oleh rekan sejawat, yaitu
APIP.
Ada
beberapa syarat agar penguatan APIP efektif. Pertama independensi. APIP
diangkat, diberhentikan, dibiayai, dan bertanggung jawab secara transparan
kepada presiden di bawah koordinasi BPKP sebagai koordinator pengawasan
lintas sektoral. APIP bukan bagian dari kementerian sehingga tidak tunduk
kepada perintah menteri. Karena itu pula, ia tidak tunduk pada kepentingan
partai yang mengusung menterinya.
APIP
yang independen diharapkan dapat menangkal ekses negatif koalisi gemuk maupun
koalisi kurus pada pemilu presiden kali ini, yang dikesankan akan
membagi-bagi kue nasional dengan cara menempatkan wakil partai koalisi
sebagai menteri pada kabinet koalisi mendatang. Padahal, hasil korupsi oleh
oknum menteri, berdasarkan kasus yang ditangani KPK selama ini, cenderung
memperkaya dirinya sendiri ketimbang memperbesar pundi-pundi partainya.
Faktor
transparansi pertanggungjawaban inspektorat jenderal kepada presiden sangat
mendasar dan penting untuk mencegah kolusi dalam koalisi antara presiden dan
para menterinya. Juga agar masyarakat dan DPR dapat mengawal independensi
APIP.
Kedua,
melakukan audit keuangan dan mengeluarkan opini atas hasil audit. Selama ini
APIP sudah memiliki mandat untuk melakukan audit keuangan. Tinggal menambah kewenangan
membuat opini atas hasil audit. BPKP memiliki kompetensi yang memadai untuk
membantu APIP dalam melakukan audit keuangan. Pemberdayaan APIP untuk
melakukan audit keuangan akan meringankan beban Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dari persoalan mikro yang selama ini menyandera BPK. Dengan begitu, BPK
dapat fokus mengurus persoalan makro yang bersifat lintas sektoral dalam
rangka mendorong DPR agar melahirkan output yang lebih berkualitas untuk
dapat menjawab kelemahan birokrasi di eksekutif.
Ketiga,
kewenangan investigasi. Temuan fraud,
kecurangan tata kelola anggaran harus disidik sampai tuntas untuk diserahkan
kepada jaksa penuntut umum. Tidak boleh dihentikan dengan cara membayar ganti
rugi. Kewenangan penyelidikan khusus yang sudah dimiliki APIP tinggal
ditambah kewenangan upaya paksa. Jadi, nantinya APIP terdiri atas auditor dan
investigator. Suatu model kolaborasi yang selama ini menjadi kunci sukses KPK
yang tidak dimiliki aparat penegak hukum lain.
Dalam
konteks otonomi daerah, ekses yang jadi keprihatinan publik adalah maraknya
korupsi di daerah. Otonomi dimaknai sebagai peluang desentralisasi korupsi di
lingkungan pemerintahan daerah. Pemilihan langsung telah mengubah tafsir
kepala daerah jadi penguasa daerah. Akibatnya tumbuh subur keluarga penguasa
yang duduk di dewan dan pemerintah daerah. Apalagi tidak ada KPK daerah.
Karena itu, perlu terobosan pengawasan dengan memperkuat inspektorat daerah
dengan tiga hal independensi, audit keuangan, dan investigasi. Inspektorat
daerah di provinsi maupun kabupaten kota juga berada di bawah koordinasi BPKP
provinsi.
Peranan
BPKP sangat penting dalam memberdayakan inspektorat di pusat maupun di
daerah. Keberhasilan KPK selama ini karena dukungan BPKP. Sepertiga kekuatan
penindakan adalah auditor BPKP. Begitu pula bidang pencegahan KPK, auditor
BPKP punya andil dalam menelaah proses bisnis yang berpotensi korupsi di
berbagai instansi.
Pengawas eksternal
Ekses
reformasi yang juga jadi keluhan publik adalah maraknya lembaga pengawasan
eksternal yang sampai saat ini sudah mencapai lebih dari 50 lembaga. Yang
terakhir ditetapkan dengan Peraturan Presiden No 50/2014 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia. Lembaga ini ditetapkan segera
setelah Suryadharma Ali dijadikan sebagai tersangka oleh KPK.
Bentuk
reaksi cepat yang belum tentu menyelesaikan masalah. Sudah saatnya dievaluasi
keberadaan berbagai lembaga pengawas eksternal itu dalam rangka penghematan
dan menghindari tumpang tindih. Di dalam hubungan ini yang utama adalah bagaimana
agar peranan lembaga pengawas internal lebih efektif.
Koalisi
gemuk ataupun koalisi kurus dikhawatirkan akan menyandera pemerintahan yang
bersih sesuai bunyi kampanye para capres dan cawapres. Diperlukan political will yang realistis agar
janji kampanye bukan jargon hampa belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar