Membangun
Industri Sepak Bola
Harjoko
Sangganagara ; Dosen STIA Bagasasi Bandung
|
KORAN
JAKARTA, 23 Juni 2014
Piala
Dunia 2014 yang diselenggarakan di Brasil menghabiskan biaya sekitar 11
miliar dollar AS atau sekitar 130 triliun rupiah. Ini menjadi Piala Dunia
dengan biaya terbesar atau naik hampir tiga kali lipat dari Piala Dunia 2010
Afrika Selatan yang menelan dana 4 miliar dollar AS. Pesta yang pembukaannya
dihadiri 12 kepala negara, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon,
tersebut berlangsung empat pekan.
Sepak pola adalah sihir sosial yang
berdampak luar biasa. Bermula dari sang petualang globalisasi gelombang
pertama yakni Marco Polo pada 1254 mengambil secara diam-diam permainan sepak
bola dari daratan Asia, khususnya negeri Tiongkok, lalu dibawa ke daratan
Eropa. Sejak itu, sepak bola menjadi cermin sosial dan barometer tingkah laku
masyarakat. Sampai-sampai pemikir sosial, Antonio Gramsci, menyatakan bahwa sepak
bola merupakan model masyarakat yang sangat membutuhkan penegakan hukum fair
play dan sportivitas.
Piala Dunia 2014 juga menyajikan budaya
sportivitas dan kreativitas dari para suporter kesebelasan peserta. Berbagai
kreativitas suporter akan disuguhkan di dalam dan di luar stadion berupa
bermacam atribut hingga suguhan teater tak kalah sensasional dari
pertandingan itu sendiri. Para suporter juga menunjukkan daya kecerdasan agar
mampu menyedot atensi dan liputan media massa. Daya kreativitas suporter
sepak bola global mengeliminasi perilaku suporter yang destruktif dan
mentransformasikan menjadi hiburan kolosal atraktif, baik di dalam maupun di
luar stadion.
Transformasi bisa berlangsung secara baik
jika perkumpulan suporter mampu membuat tribun penonton tak ubahnya panggung
teater yang menyajikan paduan suara, koreografi hingga humor kolosal. Jangan
lupa, faktor humor atau komedi yang disisipkan dalam siklus pertandingan
sepak bola sangat ampuh meredam emosi sekaligus pembangkit sikap sportivitas.
Usaha
membangun budaya sportivitas suporter sepak bola yang bisa menangkal
kerusuhan sejalan dengan nilai-nilai seperti dipromosikan Komite Olimpiade
Internasional. Partisipasi suporter sehat tak kalah penting ketimbang sebuah
angka kemenangan hasil pertandingan.
Selain untuk membangun karakter bangsa, kini
olah raga, khususnya sepak bola, sudah menjadi entitas industri dengan nilai
tambah sangat signifikan. Itulah mengapa pengusaha nasional, Erick Thohir,
berani mengakuisisi 70 persen saham Inter Milan, klub papan atas Seri A
Italia. Kini, Erick telah memiliki mayoritas kepemilikan Nerazzurri setelah
menggelontorkan dana sekitar 5,2 triliun.
Betapa pentingnya mengembangkan industri
olah raga nasional. Tren global menunjukkan industri olah raga semakin berpotensi
menambah devisa negara. Sayang, pengembangan industri olah raga nasional
stagnan. Belum ada terobosan kebijakan dan inisiatif model bisnis luar biasa.
Sudah
ada landasan yuridis terkait dengan pengembangan industri olah raga seperti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Namun, UU tersebut kurang diimplementasikan secara baik dan masih miskin
inisiatif serta sepi inovasi. Meskipun akhir-akhir ini ada beberapa klub
sepak bola dunia tersohor datang ke Indonesia, hanya angin lalu dan kurang
berdampak signifikan bagi industri olah raga nasional.
Dalam UU
SKN, industri olah raga merupakan kegiatan bisnis dalam bentuk produk barang
dan jasa. Dia dapat berbentuk prasarana dan sarana yang diproduksi,
diperjualbelikan, dan atau disewakan. Bidang ini juga dapat berbentuk jasa
penjualan kegiatan cabang olah raga sebagai produk utama yang dikemas secara
profesional yang meliputi kejuaraan nasional dan internasional, pekan olah
raga daerah, promosi, ekshibisi, festival. Bisa juga keagenan, layanan
informasi, dan konsultasi.
Tak bisa
dimungkiri bahwa industri tersebut, selain bisa memberi nilai tambah juga
telah memperluas lapangan kerja dan menambah ragam profesi. Maka, portofolio
ketenagakerjaan di suatu negara spektrumnya semakin luas. Sebagai gambaran,
di Korea Selatan, profesi terkait sport
semakin menjanjikan. Bahkan, Institute
Sport Science Korea sangat serius dan fokus mengembangkan job description
terkait dengan sektor ini seperti event, equipment, record data based, dan
ticket manager. Ada juga sport law
expert, publisher, insurance expert, nutritions, researcher, sponsorship,
advertising expert, sport licensing expert, dan seterusnya.
Tiongkok
Tiongkok
juga merupakan negara yang sangat progresif dalam mengembang-kan bidang
tersebut secara sistemik sejak 1978 dan terus digenjot pasca menjadi tuan
rumah Olimpiade 2002. Tiongkok membaginya ke dalam dua sektor: sport service industry (layanan) dan sport good industry (peralatan). Sejak
2005 tiap tahun dihasilkan devisa rata-rata 30 miliar dollar. Bandingkan
dengan perputaran ekonomi dari sektor industri olah raga di Amerika Serikat
154 miliar dollar setiap tahun.
Keberhasilan
Tiongkok ekspor peralatan olah raga ke Amerika dan Eropa juga patut dicontoh.
Nilai ekspor tumbuh dua digit lima tahun terakhir. Industri peralatan mampu
mendiferensiasi untuk bersaing dengan industri yang sudah memiliki nama
besar. Jenis peralatan yang diekspor antara lain golf, raket, sepatu roda,
skateboard, bola, perlengkapan sport air, dan perahu karet.
Struktur
industri peralatan sekitar 70 persen dipasok dari Provinsi Guangdong,
Zhejiang, dan Jiangsu. Tiongkok berupaya keras agar desain dan produk raket,
bola, dan perlengkapan lain sesuai dengan standar Olimpiade. Entitas industri
terus didorong memproduksi menggunakan hasil riset tentang ilmu bahan atau
material khusus.
Perkembangannya
sangat pesat. Ini searah dengan perubahan dalam ilmu olah raga yang
berlangsung secara cepat pula. Teknologi terus menyempurnakan tingkat
kepuasan penonton di dalam stadion. Bahkan, stadion Olimpiade di beberapa
negara maju telah dirancang dengan teknologi yang memungkinkan penonton
melakukan wisata virtual tiga dimensi di dalam stadion secara real time
menggunakan teknologi virtools.
Produk
industri manufaktur penting lainnya rumput buatan untuk stadion yang sangat
membantu penyelenggaraan event. Teknologi rumput buatan dirancang memiliki
sifat-sifat fisik seperti aslinya. Bahkan, biaya perawatan bisa lebih murah
dari rumput alam. Ini sangat tepat untuk menghadapi jadwal kompetisi yang
semakin padat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar