Sabtu, 28 Juni 2014

Mismatch Cipaganti

Mismatch Cipaganti

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di sekolah PAUD Kutilang-Rumah Perubahan, ada permainan balok yang mengajarkan anak-anak untuk membuat bangunan. Saya suka tertegun, anak-anak usia dini itu mampu membuat bangunan sesuai imajinasi mereka.

Ada yang membuat Gereja Katedral, Masjid Istiqlal atau kapal Titanic lengkap dengan cerita versi mereka. Diam-diam saya suka terkagum-kagum melihat daya imajinasi anak-anak yang orangtuanya besar di sektor informal ini. Namun ada satu hal yang menarik, untuk membuat bangunan itu setiap anak hanya boleh mengambil sejumlah keping balok sesuai dengan kapasitas tangannya. Tak boleh lebih. Dan Anda tahu, kalau berlebih pasti akan ada berceceran. Istri saya memberi tahu, ini dilakukan untuk melatih anak-anak agar tidak “greedy”.

Ya, tidak rakus dan serakah seperti yang sering kita saksikan di televisi, saat melihat koruptor, penjabat, pengusaha, artis, dan sebagainya yang tak pernah puas mengambil hak yang bukan miliknya. Mungkin, saya pikir, dulunya mereka tak pernah dilatih seperti anak-anak di PAUD ini. Permainan semasa kecil tadi ternyata memberikan gambaran tentang karakter kita di kemudian hari. Bahkan setelah kita dewasa, dan mengelola banyak perusahaan. Perilaku para pebisnis kita, akhirnya, mirip perilaku anak-anak yang meraup balok tanpa batas tadi: Menggarap semua bidang usaha. Asal di situ ada peluang, mereka masuk.

Pada akhirnya, bisnis mereka memang menjelma menjadi semacam konglomerasi. Adagium pembenarnya jangan menaruh telur Anda hanya dalam satu keranjang. Padahal, ini tak berarti harus di banyak keranjang, bukan? Sebaliknya, para pebisnis di Barat cenderung fokus pada satu bidang usaha tertentu, dan mengandalkan inovasi. Holcim fokus hanya di bisnis semen, GlaxoSmithKline di bisnis farmasi, atau Airbus di bisnis penerbangan. Dari skala usaha, ukuran bisnis mereka bahkan bisa lebih besar ketimbang bisnis konglomerat-konglomerat Asia. Dan negara diuntungkan karena mereka tak terkalahkan, berdaya saing tinggi.

Imbal Hasil

Prototipe bisnis ala Asia, yang cenderung melebar ke mana-mana, mungkin inilah masalah yang dihadapi oleh Cipaganti Group. Mulanya Cipaganti fokus pada transportasi darat, dari sewa mobil, bisnis berkembang menjadi jasa taksi, rental shuttle travel bus, dan sejenisnya. Tetapi belakangan, bisnis Cipaganti melebar. Mereka tergoda masuk ke pertambangan batu bara, rental alat-alat berat, properti, dan perbankan (BPR syariah). Kini, bisnis-bisnis itulah yang saya duga menjerat Cipaganti dan membuat CEO Cipaganti Group, AS, ditahan polisi karena dugaan penipuan dana milik ribuan nasabah Koperasi Cipaganti.

Konon jumlah dana yang berhasil dihimpun koperasi itu sejak 2007 mencapai Rp 3,2 triliun. Dana ini kemudian diinvestasikan ke berbagai anak usaha Cipaganti Group. AS ditahan karena koperasinya tidak bisa lagi membayar imbal hasil investasi kepada mitra-mitranya tadi. Alasannya, bisnis pertambangan batu bara ternyata tak seindah yang diimpikan banyak orang. Harga komoditi itu merosot sejak 2012. Ketika saya menelusuri lebih jauh soal imbal hasil yang ditawarkan, nilainya memang mengagetkan. Dengan menyetorkan dana minimal Rp100 juta, Koperasi Cipaganti berani menawarkan imbal hasil mulai dari 16,8% (tenor satu tahun) sampai mencapai 20,4% (tenor lima tahun).

Semuanya fixed. Itu jelas sangat tinggi, melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional ditambah dengan tingkat inflasi per tahun. Kita tahu, tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan 5,5% dan inflasi berkisar 4,5%. Jadi, totalnya 10%. Nah, imbal hasil investasi Koperasi Cipaganti saya anggap tinggi karena angkanya di atas 10% per tahun. Iming-iming imbal hasil setinggi itu tentu menggiurkan pemilik uang yang ingin melipatgandakan kekayaannya tanpa harus bekerja keras. Persis seperti nasihat konsultan keuangan, “Biarkan uang Anda yang bekerja untuk Anda.” Nasihat semacam ini bisa merusak etos kerja bangsa. Mendidik orang cepat kaya dengan cara-cara instan, bukan lewat kerja keras.

Mismatch

Di luar kemungkinan adanya fraud yang tengah diselidiki kepolisian, saya melihat gagal bayar imbal hasil dari Koperasi Cipaganti sebagai kasus mismatch pembiayaan yang pada masa lalu pernah menjatuhkan sejumlah konglomerat. Misalnya kasus Bank Summa dan Grup Mantrust. Perusahaan-perusahaan itu terjebak dalam kesulitan dan bangkrut karena menggunakan dana-dana jangka pendek untuk investasi yang bersifat jangka panjang. Begitu pula dengan Cipaganti. Kita tahu margin bisnis transportasi darat hanya berkisar 15%—masih di bawah imbal hasil yang dijanjikan Koperasi Cipaganti.

Lalu, bisnis pertambangan adalah bisnis padat modal dan berjangka panjang. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengembalikan investasi yang sudah ditanamkan dalam bisnis ini. Beberapa teman saya juga ada yang mencoba masuk ke bisnis ini. Karena tidak paham dengan seluk-beluk bisnisnya, mereka bak ikan masuk perangkap. Ingin menarik diri, tapi tidak bisa karena investasinya sudah terlalu besar. Karena sudah kepalang basah, mereka terus mengucurkan dananya ke bisnis ini, dan menyeret bisnis-bisnisnya yang lain.

Saya menduga saat ini bisnis batu bara Cipaganti juga sudah berada dalam posisi point of no return. Untuk mencari dana guna membiayai investasinya, Cipaganti terpaksa membayar dengan harga mahal, sampai 20,4% pertahun. Dan, kini mereka tak sanggup membayarnya. Sebetulnya kasus gagal bayar dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi, yang mirip dengan skema Ponzi, sudah berulang kali terjadi di negeri ini. Di antaranya kasus Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang menawarkan hasil sampai 30% per tahun. Kini, nasabah GTIS gigit jari, pengelolanya kabur. Kata orang, keledai pun tak mau terperosok lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Lalu, bagaimana mungkin para investor yang mestinya jauh lebih cerdas daripada keledai, terperosok pada lubang yang sama untuk ke sekian kali. Kalau melihat itu, mungkin benar apa yang dikatakan Andy Stanley, seorang rohaniwan, bahwa, “Greed is not a financial issue. It’s a heart issue.” Bisnis ini ada terus bukan karena supply-nya, melainkan karena ada demandnya. Yang berasal dari orang-orang yang juga greedy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar