Mismatch
Cipaganti
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan
|
KORAN
SINDO, 26 Juni 2014
Di
sekolah PAUD Kutilang-Rumah Perubahan, ada permainan balok yang mengajarkan
anak-anak untuk membuat bangunan. Saya suka tertegun, anak-anak usia dini itu
mampu membuat bangunan sesuai imajinasi mereka.
Ada yang
membuat Gereja Katedral, Masjid Istiqlal atau kapal Titanic lengkap dengan
cerita versi mereka. Diam-diam saya suka terkagum-kagum melihat daya
imajinasi anak-anak yang orangtuanya besar di sektor informal ini. Namun ada
satu hal yang menarik, untuk membuat bangunan itu setiap anak hanya boleh
mengambil sejumlah keping balok sesuai dengan kapasitas tangannya. Tak boleh lebih.
Dan Anda tahu, kalau berlebih pasti akan ada berceceran. Istri saya memberi
tahu, ini dilakukan untuk melatih anak-anak agar tidak “greedy”.
Ya,
tidak rakus dan serakah seperti yang sering kita saksikan di televisi, saat
melihat koruptor, penjabat, pengusaha, artis, dan sebagainya yang tak pernah
puas mengambil hak yang bukan miliknya. Mungkin, saya pikir, dulunya mereka
tak pernah dilatih seperti anak-anak di PAUD ini. Permainan semasa kecil tadi
ternyata memberikan gambaran tentang karakter kita di kemudian hari. Bahkan
setelah kita dewasa, dan mengelola banyak perusahaan. Perilaku para pebisnis
kita, akhirnya, mirip perilaku anak-anak yang meraup balok tanpa batas tadi:
Menggarap semua bidang usaha. Asal di situ ada peluang, mereka masuk.
Pada
akhirnya, bisnis mereka memang menjelma menjadi semacam konglomerasi. Adagium
pembenarnya jangan menaruh telur Anda hanya dalam satu keranjang. Padahal,
ini tak berarti harus di banyak keranjang, bukan? Sebaliknya, para pebisnis
di Barat cenderung fokus pada satu bidang usaha tertentu, dan mengandalkan
inovasi. Holcim fokus hanya di bisnis semen, GlaxoSmithKline di bisnis
farmasi, atau Airbus di bisnis penerbangan. Dari skala usaha, ukuran bisnis
mereka bahkan bisa lebih besar ketimbang bisnis konglomerat-konglomerat Asia.
Dan negara diuntungkan karena mereka tak terkalahkan, berdaya saing tinggi.
Imbal Hasil
Prototipe
bisnis ala Asia, yang cenderung melebar ke mana-mana, mungkin inilah masalah
yang dihadapi oleh Cipaganti Group.
Mulanya Cipaganti fokus pada transportasi darat, dari sewa mobil, bisnis
berkembang menjadi jasa taksi, rental
shuttle travel bus, dan sejenisnya. Tetapi belakangan, bisnis Cipaganti
melebar. Mereka tergoda masuk ke pertambangan batu bara, rental alat-alat
berat, properti, dan perbankan (BPR syariah). Kini, bisnis-bisnis itulah yang
saya duga menjerat Cipaganti dan membuat CEO Cipaganti Group, AS, ditahan
polisi karena dugaan penipuan dana milik ribuan nasabah Koperasi Cipaganti.
Konon
jumlah dana yang berhasil dihimpun koperasi itu sejak 2007 mencapai Rp 3,2
triliun. Dana ini kemudian diinvestasikan ke berbagai anak usaha Cipaganti Group. AS ditahan karena
koperasinya tidak bisa lagi membayar imbal hasil investasi kepada mitra-mitranya
tadi. Alasannya, bisnis pertambangan batu bara ternyata tak seindah yang
diimpikan banyak orang. Harga komoditi itu merosot sejak 2012. Ketika saya
menelusuri lebih jauh soal imbal hasil yang ditawarkan, nilainya memang
mengagetkan. Dengan menyetorkan dana minimal Rp100 juta, Koperasi Cipaganti
berani menawarkan imbal hasil mulai dari 16,8% (tenor satu tahun) sampai
mencapai 20,4% (tenor lima tahun).
Semuanya
fixed. Itu jelas sangat tinggi,
melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional ditambah dengan tingkat inflasi
per tahun. Kita tahu, tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan
5,5% dan inflasi berkisar 4,5%. Jadi, totalnya 10%. Nah, imbal hasil
investasi Koperasi Cipaganti saya anggap tinggi karena angkanya di atas 10%
per tahun. Iming-iming imbal hasil setinggi itu tentu menggiurkan pemilik
uang yang ingin melipatgandakan kekayaannya tanpa harus bekerja keras. Persis
seperti nasihat konsultan keuangan, “Biarkan
uang Anda yang bekerja untuk Anda.” Nasihat semacam ini bisa merusak etos
kerja bangsa. Mendidik orang cepat kaya dengan cara-cara instan, bukan lewat
kerja keras.
Mismatch
Di luar
kemungkinan adanya fraud yang
tengah diselidiki kepolisian, saya melihat gagal bayar imbal hasil dari
Koperasi Cipaganti sebagai kasus mismatch
pembiayaan yang pada masa lalu pernah menjatuhkan sejumlah konglomerat.
Misalnya kasus Bank Summa dan Grup Mantrust. Perusahaan-perusahaan itu
terjebak dalam kesulitan dan bangkrut karena menggunakan dana-dana jangka
pendek untuk investasi yang bersifat jangka panjang. Begitu pula dengan
Cipaganti. Kita tahu margin bisnis transportasi darat hanya berkisar
15%—masih di bawah imbal hasil yang dijanjikan Koperasi Cipaganti.
Lalu,
bisnis pertambangan adalah bisnis padat modal dan berjangka panjang.
Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mengembalikan investasi yang sudah
ditanamkan dalam bisnis ini. Beberapa teman saya juga ada yang mencoba masuk
ke bisnis ini. Karena tidak paham dengan seluk-beluk bisnisnya, mereka bak
ikan masuk perangkap. Ingin menarik diri, tapi tidak bisa karena investasinya
sudah terlalu besar. Karena sudah kepalang basah, mereka terus mengucurkan
dananya ke bisnis ini, dan menyeret bisnis-bisnisnya yang lain.
Saya
menduga saat ini bisnis batu bara Cipaganti juga sudah berada dalam posisi point of no return. Untuk mencari dana
guna membiayai investasinya, Cipaganti terpaksa membayar dengan harga mahal,
sampai 20,4% pertahun. Dan, kini mereka tak sanggup membayarnya. Sebetulnya
kasus gagal bayar dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi, yang mirip
dengan skema Ponzi, sudah berulang kali terjadi di negeri ini. Di antaranya
kasus Golden Traders Indonesia Syariah
(GTIS) yang menawarkan hasil sampai 30% per tahun. Kini, nasabah GTIS gigit
jari, pengelolanya kabur. Kata orang, keledai pun tak mau terperosok lubang
yang sama untuk kedua kalinya.
Lalu,
bagaimana mungkin para investor yang mestinya jauh lebih cerdas daripada
keledai, terperosok pada lubang yang sama untuk ke sekian kali. Kalau melihat
itu, mungkin benar apa yang dikatakan Andy Stanley, seorang rohaniwan, bahwa,
“Greed is not a financial issue. It’s a
heart issue.” Bisnis ini ada terus bukan karena supply-nya, melainkan karena ada demandnya. Yang berasal dari orang-orang yang juga greedy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar