Kenegarawanan
demi Kesejahteraan
Purbayu
Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas
Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 25 Juni 2014
BEBERAPA
pihak ’’menyayangkan’’ kemunculan capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo
yang masing-masing menggandeng cawapres. Pihak yang ’’menyayangkan’’ itu
membayangkan keduanya berpasangan/berduet sehingga dipastikan tidak ada yang
bisa menandingi. Pendapat mereka mendasarkan argumen dua calon itu bisa
saling melengkapi.
Yang
satu berkesan punya sifat percaya diri dan tegas, sedangkan satunya begitu
kalem, lembah manah, senang turun ke bawah sehingga dikenal dengan manajemen
blusukan. Tetapi apalah artinya pendapat umum karena pertimbangan politik
atau mungkin ada faktor lain sehingga masing-masing ingin menjadi orang nomor
1.
Berarti
nanti ada yang menang dan ada yang kalah, dan hal itu butuh sifat negarawan.
Memang persoalannya pelik mengingat sekarang ini orientasi pencapaian tujuan
kadang tidak disertai etika dan moral. Karena itu, menghalalkan segala cara
dengan cara terang-terangan dan halus, jamak terjadi.
Tantangan
pertama presiden ke depan adalah, apa pun hasilnya masing-masing harus legawa. Pihak yang menang harus dapat
merangkul dan mengajak bekerja sama pihak yang kalah untuk membawa kejayaan
Indonesia. Pihak yang kalah pun harus ikhlas menerima karena hidup kita tidak
dapat terlepas dari takdir Tuhan. Menyangkut prioritas kepentingan nasional,
memang benar bahwa melihat produk domestik bruto (PDB=GDP), Indonesia kini
masuk ke tataran 10 besar ekonomi dunia.
Capaian
ini berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul ’’Purchasing Power Parities and Real Expenditures of World
Economies’’, Summary of Results and Findings of the 2011 International
Comparison Program. Laporan itu menyebutkan Indonesia masuk peringkat 10
dunia, diawali oleh Amerika Serikat (AS) , Tiongkok, India, Jepang, Rusia,
Brasil, Prancis, Inggris dan seterusnya.
Penentuan
keberhasilan Indonesia tersebut berdasarkan pada kriteria produk domestik
bruto (PDB/GDP) tingkat daya beli (GDP purchasing
power imparity). Tetapi harus diingat bahwa kriteria penentuan
berdasarkan besaran PDB adalah konsep wilayah dalam perhitungan pendapatan
nasional.
Artinya,
siapa pun yang ada di wilayah Indonesia dihitung sumbangannya terhadap
pendapatan nasional. Padahal, seperti diketahui bukan rahasia lagi bahwa
ekonomi Indonesia sekarang berada dalam penguasaan asing. Bahkan ada penulis
mengatakan bahwa sejak bangun sampai akan tidur kembali, kita mengonsumsi
barang milik asing. Jadi, tantangan presiden mendatang adalah bagaimana
menyiasati supaya pada masa mendatang keseimbangan penguasaan ekonomi
Indonesia bisa lebih berpihak kepada kita.
Keadaan
ini mungkin mudah diucapkan tapi pelaksanaannya perlu keberanian lebih.
Pasalnya, para elite Indonesia sudah enak dengan posisinya, jadi apakah
berani melawan kekuatan internal dan eksternal, yang selalu ingin Indonesia
berada dalam kekuasaannya? Lagi-lagi sifat negarawan amat dibutuhkan dalam
arti tidak begitu saja menafikan kerja sama dengan asing, tetapi bagaimana
memosisikan Indonesia dalam perundingan dengan asing dalam posisi
menguntungkan. Sudah menjadi rahasia umum, berkait pengelolaan sumber daya
alam, posisi Indonesia begitu lemah bila berunding dengan pihak luar.
Bahkan
ada yang mengatakan banyak konsep dari undang-undang tentang sumber daya alam
Indonesia dibuatkan pihak asing tapi pihak Indonesia tidak banyak
mengubahnya. Keadaan ini bisa terjadi karena pada dasarnya untuk menjadi
elite di Indonesia butuhn biaya sangat besar, padahal gajinya tidak
mencukupi. Akhirnya, usaha mencari pengembalian biaya (modal) dapat diperoleh
dari mana saja, dan bisa juga dari pihak asing.
Jadi,
tantangan lain presiden mendatang adalah bagaimana merasionalkan gaji para
pejabat, tetapi juga harus memberantas korupsi. Sekarang ini, melihat gaji
pegawai agak ’’aneh’’ karena gaji presiden kita kalah dari gaji gubernur Bank
Indonesia. Belum lagi gaji seorang kepala daerah (bupati/wali kota) konon
kurang dari Rp 6 juta tapi untuk menjadi seorang kepala daerah bisa
menghabiskan dana sampai Rp 10 miliar. Pada masa mendatang gaji pegawai harus
besar tapi bila korupsi harus dihukum berat.
Ungkapan
untuk suatu jabatan atau pekerjaan tertentu ìwani piraî, akan dengan mudah
dihilangkan. Mobilitas vertikal bagi orang ìkecilî yang punya kapasitas dan
kompetensi sekarang ini begitu terhambat karena masalah tidak adanya dana
pendukung untuk memperbaiki nasib. Dengan demikian tantangan mendatang adalah
bagaimana seorang presiden harus punya sifat negarawan untuk menyejahterakan
rakyat.
Mestinya
pertumbuhan nasional yang tercermin oleh kenaikan pendapatan nasional diikuti
tingkat kemerataan distribusi pendapatan. Penciptaan lapangan pekerjaan dan
penghapusan kemiskinan akan menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Semoga pilihan rakyat Indonesia terhadap orang nomor satu di Indonesia
dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga benar-benar bisa mendapatkan
pemimpin yang punya sifat negarawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar