Interaksi
Belajar dan Demokrasi Kita
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2014
BELAJAR ialah sesuatu yang azali
atau built up dalam diri manusia.
Keinginan untuk mengetahui sesuatu menuntut setiap orang untuk terus berusaha
berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa saja.
Setiap orang, apalagi guru dan
siswa, memerlukan interaksi yang memadai agar suasana belajar-mengajar menjadi
menyenangkan. Dalam konteks itulah hubungan antara belajar dan interaksi
menjadi penting, dan pola-pola yang melingkupinya menjadi penting
diperhatikan secara saksama.
Kirsi Tirri dan Elina Kuusisto,
dalam Interaction in Educational
Domains (2013), memberikan gambaran yang sangat baik tentang bagaimana
hubungan antara belajar dan interaksi (learning
and interaction). Belajar dan interaksinya selalu berkaitan dengan domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diperkenalkan pertama kali oleh
Benjamin Bloom pada 1956. Ketiga domain itu memerlukan interaksi yang memadai
dalam rangka menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan.
Menariknya, berdasarkan riset yang dikembangkan di Finlandia, Inggris, dan
Swedia, ternyata aspek seni dan budaya merupakan media yang sangat efektif
untuk meningkatkan interaksi antardomain.
Kesimpulan itu dapat dilihat,
misalnya, dari riset David Clarke dari University
of Melbourne, Australia, dalam International
Comparative Research into Educational Interaction: Constructing and
Concealing Difference, yang menemukan banyak sekali bukti empiris tentang
penggunaan seni dan budaya sebagai media belajar paling efektif di dalam
kelas. Jika proses belajar-mengajar abai dan lalai menggunakan seni dan
budaya yang menjadi akar dari tradisi dan cara berpikir masyarakat,
implikasinya pasti akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Jika dilihat dari aspek
tersebut, tampaknya proses belajar-mengajar anak-anak kita di dalam kelas
memang sebanding dengan apa yang berkembang dan apa yang terjadi di tengah
masyarakat. Ambil contoh kekarut-marutan kehidupan demokrasi kita yang
tercerabut dari akar budaya Pancasila yang dirumuskan secara amat elegan oleh
para founding father kita. Bahkan
saat ini demokrasi di Indonesia, menurut beberapa ahli dan praktisi, telah berlari
sangat jauh hingga tertatih-tatih.
Saking kencangnya, ada yang masih
tertinggal jauh karena merasa demokrasi tak memberi keuntungan apa pun bagi
mereka, tetapi ada yang merasa bisa menikmati iklim demokrasi saat ini.
Namun, jika kita menengok hasil survei lembaga riset The Fund for Peace 2012, mungkin kita patut bertanya mengapa
Indonesia ditempatkan sebagai negara gagal?
Beberapa indikator yang dijadikan
rujukan The Fund for Peace ketika
menunjuk Indonesia menjadi negara gagal di antaranya tingginya tekanan
demografi, protes kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM), minimnya pembangunan
infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas
agama, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Semua indikator vital itu
dinilai gagal, padahal Indonesia sudah menganut paham negara demokrasi
terutama pascareformasi. Beberapa idiom demokrasi yang sempat kita kenal
dalam ranah politik Indonesia di antaranya demokrasi terpimpin, demokrasi
Pancasila, serta sekarang menganut paham demokrasi liberal seperti
negara-negara Barat pada umumnya. Kita sedikit bertanya, apakah perubahan-perubahan
paham demokrasi kita menandakan demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila
juga telah gagal?
Negara gagal
Jelas sekali terlihat bahwa
terpuruknya posisi Indonesia menjadi negara gagal bertentangan dengan
cita-cita reformasi dan demokratisasi karena secara implisit indikator yang
digunakan dalam penilaian ialah indikator tentang demokratisasi: kebebasan, toleransi,
keadilan, HAM, serta hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Artinya,
terpuruknya Indonesia menjadi negara gagal sama artinya dengan gagalnya
proses demokratisasi, menghasilkan ‘demokrasi gagal’.
Menurut saya, salah satu
indikator gagalnya proses demokrasi di Indonesia ialah gagalnya negara dalam
merumuskan kebijakan fundamental di sektor pendidikan. Sistem anggaran dan
pembiayaan pendidikan kita kacau-balau sehingga menjadikan masyarakat lamban
menjadi cerdas (slow learner) dan
menyebabkan mereka tak bisa secara cepat beradaptasi dengan suasana kehidupan
demokrasi yang serbaterbuka. Yang terjadi dalam struktur kebijakan pembiayaan
pendidikan kita ialah anggaran yang manipulatif karena lebih banyak didasari
asumsi ketimbang fakta dan data.
Ambil contoh, misalnya,
bagaimana dana BOS ditetapkan dan direalisasikan. Data siswa dari tahun ke
tahun hanya didasarkan pada asumsi usia sekolah, bukan pada fakta.
Bahkan tak jarang dan cukup
banyak sekolah tak akurat dalam memberikan data siswa mereka karena keinginan
untuk memperoleh dana BOS yang dasar penghitungannya ialah kepala siswa.
Itulah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak tercerdaskan dan apatis
terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, kebijakan anggaran dan pembiayaan
pendidikan berimplikasi langsung terhadap seluruh sektor kehidupan
masyarakat, terutama terhadap sendi-sendi demokrasi.
Akhirnya, kesadaran berdemokrasi
tidak tumbuh secara baik karena hubungan atau interaksi antardomain kognitif,
afektif, dan psikomotorik masyarakat yang didasari pada keadiluhungan budaya
bangsa memang tidak disemai melalui proses belajar-mengajar yang baik.
Demokrasi kita, jika ukurannya ialah proses kampanye pilpres yang akhir-akhir
ini kita saksikan, sama sekali tak menghargai perasaan, nilai-nilai keadaban,
penghargaan, antusiasme, motivasi, dan sikap yang baik sebagaimana termaktub
dalam sila-sila Pancasila.
Miskin dan minimnya nilai-nilai
tersebut menyebabkan pola hubungan antara belajar dan demokrasi menjadi
sangat kontras karena pada akhirnya masyarakat kita memang sedang dirasuki
nafsu syahwat politik yang berorientasi pada kekuasaan semata, yang penuh
rasa curiga dan menjelekkan satu sama lain.
Kita seolah lupa bahwa demokrasi
hanyalah sebuah alat, tetapi media yang seharusnya tetap digunakan masyarakat
untuk berinteraksi ialah nilainilai budaya bangsa yang mau menghargai dan
menerima perbedaan secara terbuka, toleran terhadap sesama, serta peduli
dengan penderitaan orang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar