Menghangatkan
Perasaan Orang Lain, Perlukah?
Sawitri
Supardi Sadarjoen ; Penulis kolom
“Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
29 Juni 2014
”Pada
dasarnya kami saling mencintai, tetapi...?”. Kalimat sambung yang diawali
oleh tetapi tersebut bisa beraneka ragam, misalnya kenapa ya, relasi
keseharian kami terasa hambar seperti sayur kurang garam. Atau, ”kami seolah
kehilangan selera humor atau kami justru mencoba mengabaikan kebersamaan kami
dengan menyibukkan diri dengan hal-hal rutin yang tidak penting” dan
sebagainya.
Situasi
seperti ini seyogianya diwaspadai dan guna mengantisipasi kemungkinan
hubungan menjadi lebih buruk perlu dilakukan upaya perbaikan bersama.
Pada
dasarnya setiap pasangan pasti mengetahui bahwa ada hal-hal khusus yang perlu
dan bisa dilakukan untuk menghangatkan kembali perasaan dengan pasangannya.
Biasanya jika kita sedang marah dan tidak nyaman karena rasa jengkel terhadap
perilaku pasangan kita, kita cenderung menghentikan upaya-upaya untuk
menghangatkan kembali perasaannya. Kemudian berkembang terhadap sikap yang
cenderung memiliki makna penolakan terhadap dirinya.
Untuk
mengatasi permasalahan seperti ini memang dibutuhkan niat baik dan dorongan
untuk mengungkapkan perasaan yang penuh kasih dan hangat kembali seperti pada
saat mengawali hubungan pada masa lalu. Semakin lama perkawinan berlalu,
sering membuat pasangan pada umumnya melupakan ungkapan-ungkapan sederhana
yang memberikan makna penuh kasih dan perhatian.
Sementara
saat mengawali hubungan dengan pasangan, berbagai upaya apresiasi dan
penghargaan perilaku pasangan sering dikumandangkan. Bahkan apresiasi itu
disertai dengan upaya-upaya untuk menciptakan hubungan yang penuh kasih
dengan penekanan pada aspek positif dari perilaku pasangan kita. Namun,
semakin lama perkawinan berlangsung, tanpa disadari justru semakin banyak dan
sering ungkapan-ungkapan yang sebaliknya dan biasanya kesan-kesan negatif
yang kita lontarkan kepadanya.
Kecuali
itu, kita pun setuju jika anak-anak juga membutuhkan apresiasi dan
penghargaan atas perilaku mereka yang spesifik, kualitas kepribadiannya, dan
perilakunya. Apresiasi itu bisa dengan kalimat seperti ”kamu terampil sekali
dalam menata meja belajarmu”, ”ibu pikir kamu berani sekali menyatakan
perasaan kamu tentang perilaku temanmu itu dan tidak sekadar menyatakan
setuju akan pendapatnya”, ”kamu anak yang membanggakan ibu karena berani
bersikap jujur”. Bahkan, orang dewasa pun membutuhkan mendengar kesan
spesifik tentang prestasi yang telah mereka capai.
Dengan
demikian, dapat dipahami manakala kita sudah menikah dan hidup bertahun
dengan pasangan kita, kita juga membutuhkan penghargaan spesifik yang
disampaikan pada saat yang tepat sehingga terasa kembali kehangatan perasaan
oleh penghargaan tersebut. Dan, tanpa disadari penghargaan itu akan
memotivasi diri kita untuk secara berlanjut melakukan segala hal dengan cara
sebaik mungkin. Penghargaan itu bisa berupa pujian seperti ”wah, kamu bisa
lakukan hal itu dengan cara yang baik” atau ”saya sangat menghargai usaha
kamu dan kerja keras kamu sehingga penghasilan yang kamu peroleh sangat
berguna bagi kelangsungan kehidupan keluarga kita”. Bisa juga seorang istri
merasa dihargai jika suami mengungkapkan, ”waduh, hari ini kamu masak
istimewa, sayur lodeh bikinanmu pas banget di lidahku”.
Ungkapan verbal
Benar-benar
apa yang diungkapkan pasangan terhadap kinerja kita membuat kita selalu
mendapat kejutan yang menghangatkan perasaan kita. Kehangatan perasaan yang
disebabkan oleh ungkapan verbal yang tulus dan penuh kasih tersebut sangat
dibutuhkan bagi keberlangsungan ikatan emosional yang meningkatkan kasih di
antara pasangan, di antara anggota keluarga, ataupun antara orangtua dan
anak.
Sementara
itu, jika kita simak dan kita cermati ekspresi spontan tersebut sebenarnya
”hal kecil”, tetapi benar-benar memberikan pengaruh yang bukan alang-kepalang
maknanya. Dari fakta-fakta yang kita amati, sebenarnya aktivitas dan upaya
menghangatkan perasaan orang lain berpangkal pada usaha kita, good will, dan
niat dari hati yang dalam untuk memperhatikan hal-hal positif yang dilakukan
orang lain serta mengekspresikan dalam aksi yang sejalan dan terasa ”pas”
(congruent) dengan nilai-nilai tentang harapan kita tentang akan seperti
apakah diri kita ini dalam kehidupan kita di dunia ini. Hal ini juga
mendorong kita untuk menemukan suara hati kita serta menuntut kita untuk
memeriksa nilai-nilai yang kita anut tentang bagaimana kita akan mengemudikan
relasi kita dengan sesama dan tidak hanya sekadar memberikan reaksi terhadap
apa yang dilakukan oleh orang yang berada di sekitar kita.
Yang
terpenting di sini adalah ”saya ingin menjadi seseorang yang mampu
menciptakan keseimbangan antara respons kritik otomatis dan hal yang positif
karena hal yang positif akan menciptakan sesuatu yang positif pula. Jadi
semakin banyak saya memilih untuk mengekspresikan apresiasi terhadap orang
lain apakah itu pasangan perkawinan, anak yang sudah dewasa, atau anak yang
masih kecil, maka semakin terasa keseimbangan tersebut bagi diri saya”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar