SUMBANGAN PEMIKIRAN PILPRES 2014
Agenda
Pembangunan Pendidikan
Amich
Alhumami ; Antropolog; Meraih
PhD dari The University of Sussex, Inggris
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juni 2014
PENDIDIKAN berperan penting dan
strategis dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan
akan memberi kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional
secara keseluruhan. Tak diragukan, pendidikan sangat penting bagi ikhtiar membangun
manusia Indonesia berkualitas, yang ditandai peningkatan kecerdasan,
pengetahuan, dan keterampilan penduduk Indonesia. Pendidikan merupakan medium
yang baik untuk membangun karakter dan memperkuat jati diri bangsa, yang
berlandaskan nilai-nilai kebajikan, moralitas publik, dan etika sosial
sebagai basis untuk membangun peradaban bangsa yang unggul. Pendidikan
merupakan wahana strategis untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat,
tecermin pada membaiknya tingkat kesejahteraan, menurunnya kemiskinan, dan
terbukanya berbagai pilihan dan kesempatan bagi setiap warga negara untuk
dapat mengembangkan segenap potensi diri.
Di dalam UUD 1945, pemerintah
diberi mandat untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas yang dapat
diakses segenap warga negara sebagai wujud pemenuhan hak-hak dasar bagi
seluruh penduduk. Selain itu, pendidikan dipandang sangat penting karena
memiliki eksternalitas ekonomi sangat tinggi, berdampak pada proses
transformasi sosial-budayapolitik, dan berkontribusi signifi kan pada upaya
membangun bangsa yang maju, modern, dan bermartabat.
Mengingat sedemikian strategis
masalah pendidikan, sudah semestinya pendidikan menjadi prioritas dalam
agenda pembangunan yang akan dijalankan pemerintahan mendatang. Sekadar
menyebut sebagian saja, berikut ialah lima agenda pembangunan pendidikan yang
perlu mendapat perhatian serius.
Agenda 1: pemerataan pendidikan
Pembangunan pendidikan yang
dijalankan selama ini telah berhasil memperbaiki tingkat pendidikan penduduk
usia sekolah, yang tecermin pada sejumlah indikator. Rata-rata lama sekolah
penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat signifikan dari 7,2 tahun (2004)
menjadi 8,1 tahun (2012). Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas
juga mengalami peningkatan dari 92,6% (2009) peningkatan dari 92,6% (2009)
menjadi 93,3% (2012). Pembangunan pendidikan juga telah berhasil meningkatkan
akses anak-anak usia sekolah untuk memperoleh layanan pendidikan, yang
tecermin pada tingkat partisipasi pendidikan.
Dalam kurun waktu 2004-2012,
angka partisipasi murni (APM) SD/MI/Paket A meningkat dari 94,1% (2004)
menjadi 95,8% (2012). Pada periode yang sama, APM SMP/MTs/Paket B meningkat
dari 65,2% menjadi 78,8%, APK SMA/MA/SMK/ Paket C meningkat dari 48,3%
menjadi 78,7%, dan APK PT meningkat dari 14,6% menjadi 27,9%. Partisipasi
pendidikan yang secara konstan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
menunjukkan pemerintah telah berhasil memenuhi hak dasar setiap warga negara
dalam memperoleh layanan pendidikan.
Meskipun berbagai indikator
pembangunan pendidikan menunjukkan hasil yang baik, masih dijumpai masalah
kesenjangan partisipasi pendidikan terutama antarkelompok sosial-ekonomi dan
antarwilayah. Layanan pendidikan belum sepenuhnya dapat dinikmati seluruh
lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat miskin jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya dalam memperoleh layanan
pendidikan. Kesenjangan partisipasi pendidikan terutama terjadi pada jenjang
pendidikan menengah dan tinggi, yang tecermin pada angka partisipasi sekolah
(APS).
Data Susenas (2012) menunjukkan
ada perbedaan APS pada kelompok umur 7-12 tahun (setara SD/MI) yang berasal
dari keluarga kaya dan miskin meskipun tidak cukup berarti. Perbedaan APS
yang sangat signifikan di antara kedua kelompok masyarakat tersebut mulai
terlihat pada kelompok umur 13-15 tahun (setara SMP/MTs) dan semakin
mencolok--bahkan mencengangkan--pada kelompok umur 16-18 tahun (setara
SMA/SMK/MA). APS pada kelompok umur 16-18 tahun dari kuantil 1 (20% kelompok
masyarakat paling miskin) baru mencapai 42,9%, sedangkan pada kuantil 5 (20%
kelompok masyarakat paling kaya) sudah mencapai 75,3%. Kesenjangan
partisipasi pendidikan dengan angka yang sangat fantastis terlihat pada
kelompok umur 19-24 tahun (setara perguruan tinggi), masing-masing 4,8% dan
33,1%.
Kesenjangan partisipasi
pendidikan antarwilayah juga terlihat sangat nyata, bahkan antarkabupaten di
dalam satu provinsi. Kesenjangan partisipasi pendidikan antarwilayah yang
paling mencolok terutama di provinsi dan kabupaten di wilayah timur
Indonesia. Rata-rata APM SMP/sederajat di Yogyakarta sudah mencapai sekitar
85%, tetapi di Papua, Papua Barat, dan NTT baru sekitar 60%, 62%, dan 63%
saja. Bahkan kesenjangan antarkabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat sangat tajam; ada kabupaten dengan capaian APM SMP/ sederajat
sudah di atas 95%, tetapi di kabupaten lain baru sekitar 42% dan 59% saja.
Untuk mengatasi kesenjangan
partisipasi pendidikan tersebut, upaya penting yang harus dilakukan ialah
meningkatkan perluasan akses dan peme rataan pendidikan yang berkualitas. Merujuk
pada amanat konstitusi, pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara
yang wajib dipenuhi pemerintah. Untuk itu, pendidikan harus diselenggarakan
berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan sehingga semua warga negara
mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, yang
menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan tanpa diskriminasi.
Dalam konteks itu, tantangan
paling berat ialah menyediakan layanan pendidikan terutama bagi masyarakat
yang tinggal di daerah terpencil, terdepan, termiskin, dan perbatasan.
Meningkatkan pemerataan layanan pendidikan harus diletakkan baik dalam
konteks keterjangkauan kewilayahan (geographic
affordability) maupun keterjangkauan keuangan (financial, economic affordability). Maka, kebijakan pembangunan
pendidikan harus diarahkan untuk mengatasi masalah tersebut agar layanan
pendidikan dapat dinikmati semua warga negara tanpa membedakan latar belakang
sosial, budaya, ekonomi, dan geografi.
Agenda 2: pendidikan menengah
Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun dinilai berhasil dengan lulusan SMP/MTs yang terus meningkat dari
tahun ke tahun, yang mengharuskan pemerintah untuk dapat menyediakan layanan
pendidikan pada jenjang menengah. Untuk itu, pada 2013 pendidikan menengah universal
(PMU) --kedua pasangan capres/cawapres: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta mengusung
program Wajib Belajar 12 Tahun--mulai dikenalkan dan semestinya terus dilanjutkan sebagai bagian dari agenda pembangunan
pendidikan, yang bertujuan memperluas pemerataan layanan pendidikan menengah
(SMA, SMK, MA). PMU sangat strategis untuk memenuhi dua hal: 1) menciptakan
lapisan critical mass dalam cakupan yang lebih luas dan 2) mempersiapkan penduduk
usia produktif memasuki masa transisi antara meneruskan ke jenjang pendidikan
tinggi atau langsung masuk pasar kerja.
Menurut data Sakernas (Mei 2013),
komposisi tenaga kerja Indonesia menurut pendidikan ialah SD/kurang 44,01%,
SMP 17,31%, SMA 15,09%, SMK 8,45%, diploma 2,47%, dan universitas 6,40%.
Mengingat mayoritas tenaga kerja masih berpendidikan tingkat dasar (SD/SMP),
tentu saja mereka tidak punya keterampilan. Sementara itu, porsi yang tidak
terlalu besar tergolong semiterampil dan terampil, yang berpendidikan tingkat
menengah dan tinggi. Namun, patut dicermati, masih terdapat lebih dari 50%
lulusan SMA/MA/ SMK bekerja dengan kategori unskilled job dan lebih dari 30% berkategori semi-skilled job. Tak mengherankan, persepsi para pemberi kerja
terhadap kualitas lulusan sekolah menengah sebagian besar buruk dan cukup, dan
sedikit saja yang mengatakan sangat baik.
Dalam konteks demikian,
pendidikan menengah diperlukan untuk mempersiapkan anak-anak usia sekolah
dengan landasan keilmuan yang baik agar dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi. Pendidikan menengah berkualitas dapat memberi kontribusi
pada upaya meningkatkan daya saing dan membangun kualitas bangsa. Bagi
penduduk usia muda yang memilih untuk memasuki pasar kerja, pendidikan
menengah akan membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih
baik sehingga diharapkan lebih produktif di dunia kerja.
Penduduk usia muda
merupakan aset ekonomi sangat potensial untuk menopang produktivitas
nasional, terutama terkait dengan pemanfaatan bonus demografi. Sangat jelas,
pendidikan menengah merupakan landasan sosial yang kuat bagi keberhasilan
pembangunan sosial-ekonomi. Untuk itu, kebijakan strategis diperlukan dalam
upaya mengembangkan pendidikan menengah yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar