Syafaat
Kekuasaan
Fathorrahman ;
Dosen sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga, A’wan Syuriyah PW NU Jogjakarta
|
JAWA
POS, 25 Juni 2014
SALAH
satu pertanyaan mendasar yang selalu menggelayut di benak kita saat pemilihan
umum adalah mengapa ulama selalu menjadi objek kunjungan yang sangat intens
oleh beberapa figur yang tengah mempersiapkan diri sebagai calon presiden?
Alasan
sederhana yang cenderung mengemuka, pertama, ulama merupakan figurkarismatis.
Kedua, bagi sebagian besar masyarakat, ulama dianggap ahli waris nabi (waratsatul anbiya’) yang bisa
memperantai adanya syafaat. Dalam kaitan ini, syafaat berarti sebuah
pertolongan untuk memperoleh manfaat dan terhindar dari mudarat atas segala
sesuatu yang dilakukan. Karena itu, di berbagai tempat, kebanyakan orang yang
sedang mengalami kesulitan dalam segala urusannya selalu sowan ke ulama untuk memperoleh masukan dan wejangan yang bisa
menenangkan batinnya.
Namun,
dalam konteks politik, syafaat yang secara esensial menjadi penghubung
kultural antara ulama dan masyarakat mulai beralih fungsi sebagai alat
legitimasi struktural guna mengarahkan arus suara sebagai modal bagi capres
untuk melenggang ke kursi kepresidenan. Bahkan, syafaat diinterpretasi
sebagai siasat untuk memperoleh kemenangan dan meniadakan kekalahan dalam
pemilihan.
Tidak
heran bila syafaat kini mulai sejajar dengan uang, popularitas, jabatan, dan
sejenisnya sebagai strategi untuk memperoleh kekuasaan serta sarana untuk
berkontestasi ria dalam pemenangan. Bagi para capres, syafaat yang dimediasi
ulama ibarat sebuah titah atau mungkin sabdo
pandito yang bisa memengaruhi arus massa yang secara ideologis banyak
bermakmum kepadanya. Untuk mewujudkan syafaat sebagai barometer penggerak
arus massa, banyak capres yang menggiring ulama ke dalam seremoni keagamaan
untuk menunjukkan kedekatan emosionalnya kepada publik. Dengan demikian,
massa yang hadir dalam seremoni itu akan menilai bahwa capres tersebut telah
direstui sebagai manusia pilihan.
Bahkan,
di berbagai arena, syafaat dijadikan mekanisme pengetahuan guna menafsirkan
berbagai dalil untuk menegaskan bahwa kehadirannya di panggung kuasa adalah
cerminan sebuah amanah dari ulama yang harus dijalankan. Lalu, dukungan massa
kepada capres tersebut dikondisikan sebagai sebuah keniscayaan yang patut
dipatuhi.
Tentu,
hal itu sangat ironis. Syafaat yang secara esensial merupakan representasi
pertolongan Tuhan yang diberikan kepada Nabi dialihfungsikan ulama sebagai
instrumen kekuasaan untuk meneguhkan keberpihakannya kepada salah satu
capres. Karena itu, bukan tidak mungkin, atas tindakan artifisial tersebut,
yang justru akan didapati bukanlah berkah dari syafaat yang diperantarai
sebagai dukungan, melainkan laknat berupa kekalahan yang mendera capres yang
dinobatkan.
Mawas Diri
Berada
di tengah politik representasi yang menggunakan syafaat sebagai bahasa
politik untuk memperoleh kekuasaan dalam pemilu, tentu kita sebagai
masyarakat awam harus cermat memahami bagaimana arus pergerakan ulama sedang
memainkan perannya di ruang publik yang sedang mengalami titik didih
sensitivitas menjelang pilpres. Kita perlu menggunakan mata batin untuk
menengarai dengan cerdas bagaimana rangkaian statemen bernuansa keagamaan
yang disampaikan ulama. Bahkan, dalam diri kita, perlu ada rasa curiga untuk
memahami ruang gerak syafaat yang dimainkan ulama sebagai simbol penguasaan
politik. Sebab, kehadiran para ulama ke tengah kerumunan massanya yang
menyublimasi syafaat untuk kepentingan politik sesungguhnya sedang memudarkan
pesona dunia (disenchament of the word)
–meminjam istilah Max Weber– keagamaan yang secara esensial memiliki roh
spritualitas sendiri.
Agama
yang sarat pesona dunia yang sublimatis akan distorsif bila salah satu bagian
pentingnya seperti syafaat ditarik dalam pusaran politik para capres yang
hanya ingin merebut dan melanggengkan kekuasaan. Karena itu, mengantisipasi
berbagai kemungkinan buruk yang bisa berdampak pada penihilan nilai-nilai
agama dalam kehidupan masyarakat maupun ketidak-acuhan masyarakat terhadap
yang dianggap sebagai ’’ahli waris
nabi’’, para ulama harus berhati-hati dengan perilaku para capres yang
sedang giat mendekat dengan tujuan meminta doa restu serta dukungan. Ulama
juga harus memosisikan diri sebagai figur moderat yang tidak condong ke salah
satu capres agar posisi tawarnya semakin kuat di mata masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar