Prostitusi
Heri
Priyatmoko ; Alumnus Pascasarjana
Sejarah FIB UGM
|
TEMPO.CO,
26 Juni 2014
Siapa
sangka bahwa Dolly, tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu, akhirnya
ditutup. Dolly merupakan kawasan "hitam" yang mampu bertahan lama,
bahkan jauh lebih berkibar dibanding Kramat Tunggak (Jakarta), Jempingan
(Sukoharjo), dan Silir (Kota Solo) yang lebih dulu dilenyapkan. Prostitusi
alias pelacuran ialah penyerahan diri seorang wanita kepada banyak laki-laki
dalam hubungan seksual dengan pembayaran tertentu. Dalam praktek itu, lahir
istilah pelacur, "wanita publik", sundel, wong wedok nakal,
lonthe, pelayahan, perempuan jalang, atau diperhalus bahasanya menjadi wanita tunasusila.
Terdapat
pula singkatan khas Jawa yang sarat humor, seperti minakjinggo, yang punya kepanjangan miring penak, jengking monggo (miring rasanya enak, nungging juga
silakan). Di ruang jasa bisnis seks ini juga muncul pantun lokal yang
tampaknya lahir secara spontan. Semisal, kecipir
manuk trucukan, monggo mampir thuthuk-thuthukan. Lebih jauh lagi,
komunitas penghuni lokalisasi ini rupanya memiliki bahasa atau idiom khas
yang sulit dipahami oleh khalayak. Sekadar contoh, dibayar "dua
mawar", artinya dua lembar seratus ribu rupiah.
Bukan
cuma pemerintah Republik Indonesia yang kerepotan memberantas aksi pelacuran
dan menutup lokalisasi. Tempo doeloe, pemerintah kolonial Belanda pernah
dibikin pusing oleh praktek para penjaja cinta yang merajalela. Terkisah,
pada 1852, pembesar Belanda menelurkan regulasi yang merestui komersialisasi
aktivitas seksual, menimbang banyak prajurit yang tak membawa istri ke
Hindia-Belanda. Lalu, dibuatlah rumah bordil. Dan, hal ini mengundang masalah
baru.
Dalam
kumpulan dokumen resmi Belanda yang berjudul Pemberantasan Prostitusi di
Indonesia Masa Kolonial, diketahui bahwa aneka cara ditempuh demi mengawasi
kegiatan prostitusi di rumah bordil gara-gara meluasnya wabah penyakit
kelamin, yakni syphilis. Kala itu, tingkat penularan infeksi penyakit kelamin
sangat tinggi.
Dikabarkan
bahwa dalam waktu singkat di rumah sakit militer sudah ada 40 orang yang
dirawat. Sebagian dari mereka menderita syphilis
dan penyakit kelamin lainnya. Ini bisa dibaca dari data mengenai anggota
militer yang terserang penyakit akibat "maen"
di rumah bordil mulai 1870 hingga 1890. Pada era 1870 tercatat 575 orang
menderita syphilis dan 5.105 orang terkena morbi veneris. Pada 1882, jumlah
penderita syphilis membengkak menjadi 1.290 orang. Sedangkan morbi veneris
terparah terjadi pada 1887, yaitu 10.108 orang. Usaha pengobatan secara medis
tidak berbuah manis.
Sebetulnya,
pada 1874, toewan kulit putih telah
mengkodifikasi kebijakan isolasi bagi para perempuan nakal yang ketahuan
mengidap penyakit kelamin. Mereka dikarantina dalam suatu "rumah bagi perempuan sakit"
dengan pengawasan tenaga medis. Selepas bisa membuktikan dirinya sehat,
mereka akan dikeluarkan.
Demikianlah,
masalah prostitusi senantiasa mengikuti gerak zaman. Prostitusi memang
bukanlah sebatas urusan perut. Sampai kapan pun, akar prostitusi tampaknya
sulit dicabut jika pendidikan bagi kaum wanita masih rendah. Juga tipisnya
pemahaman mereka terhadap aktivitas prostitusi, bahwa praktek ini berdampak
negatif, misalnya penyebaran penyakit kelamin (HIV/AIDS) yang menuai kematian.
Prostitusi ialah anak zaman yang dianggap haram, namun selalu dibutuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar