Menciptakan
dan Membagikan Kesejahteraan
Ndiame
Diop ; Ekonom Utama Bank
Dunia untuk Indonesia
|
KOMPAS,
27 Juni 2014
ARAH
pembangunan masa depan Indonesia berada pada situasi kritis.
Indonesia
menghadapi pilihan sulit: apakah ekonomi Indonesia akan mengambang dalam
”jebakan pendapatan menengah” (middle-income
trap) atau berkembang jadi kekuatan yang menciptakan kesejahteraan
merata. Akankah kesejahteraan di Indonesia hanya membuat orang kaya jadi
lebih kaya? Atau, akankah berkat-berkat yang dimilikinya mampu menjadikan
Indonesia negara berpenghasilan tinggi yang kesejahteraannya dapat dinikmati
seluruh warga negara?
Selama
dekade terakhir, kesejahteraan yang besar diciptakan di Indonesia berkat
faktor eksternal yang menguntungkan dan pengelolaan makroekonomi secara baik.
Antara 2001 dan 2012, total PDB dan PDB per kapita hampir dua kali lipat
(dalam kurs dollar konstan). Mega tren yang menguntungkan, seperti karakter
demografi yang menguntungkan 10 tahun ke depan, generasi muda yang paham
teknologi informasi, dan peningkatan biaya produksi manufaktur di Tiongkok,
dapat terus dimanfaatkan untuk menciptakan lebih banyak kesejahteraan di masa
depan. Faktor-faktor ini menawarkan berbagai insentif untuk investasi
industri manufaktur di Indonesia. Namun, akankah penciptaan kesejahteraan ini
terwujud? Apabila ya, akankah kemakmuran terbagi secara merata untuk semua
warga negara?
Inilah
fokus laporan terbaru Bank Dunia, Indonesia:
Avoiding the Trap. Laporan ini melihat bagaimana pembangunan dapat
mewujudkan cita-cita bangsa untuk jadi kekuatan ekonomi berpenghasilan
tinggi. Bahaya perangkap pendapatan menengah sungguh nyata. Brasil tumbuh
cepat 1960-an dan 1970-an, tetapi sejak PDB per kapita mencapai 3.939 dollar
AS (hampir sama dengan Indonesia kini) pada 1981, negara itu terlanda
perlambatan pertumbuhan yang relatif lama hingga 2004.
Pengalaman
Indonesia 10 tahun terakhir menunjukkan pentingnya berkembang bersama.
Indonesia patut bangga tingkat kemiskinan telah berkurang secara signifikan.
Namun, pertumbuhan ekonomi telah menjadikan yang kaya semakin kaya.
Ketidaksetaraan semakin meningkat. Hampir 100 juta orang tergolong miskin
atau rentan dan kurang memiliki akses ke layanan-layanan penting, seperti
kesehatan. Angka kematian ibu di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan
dengan tingkat pembangunan negara ini.
Lebih sejahtera dan adil
Dalam
jangka pendek, kebijakan yang dapat mengubah masa depan adalah meningkatkan
efisiensi pemanfaatan sumber daya (efficient
spending) oleh sektor publik. Ini berarti mengarahkan belanja publik
untuk prioritas pembangunan. Manfaat subsidi BBM—2,6 persen dari PDB—sebagian
besar hanya dinikmati orang kaya. Padahal, jumlah subsidi lebih besar dibandingkan
jumlah gabungan pengeluaran pemerintah pusat dan subnasional untuk
infrastruktur (2,5 persen dari PDB). Jumlah itu juga hampir tiga kali jumlah
yang dibelanjakan untuk kesehatan (0,9 persen dari PDB). Dana subsidi BBM
dapat digunakan untuk mengatasi ketidaksetaraan, misalnya lewat peningkatan
kualitas program bantuan sosial.
Untuk
jangka menengah, Indonesia butuh revolusi dalam sisi penawaran. Hal ini
berarti menutup tiga kesenjangan besar, yakni di bidang infrastruktur,
pendidikan dan keterampilan, serta pasar-pasar utama, seperti lahan dan
tenaga kerja.
Indonesia
telah kehilangan setidaknya 1 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama
dekade terakhir karena tingkat investasi rendah. Total investasi
infrastruktur (oleh pemerintah pusat, pemda, BUMN, dan sektor swasta) tetap
kurang dari 4 persen dari PDB selama dekade terakhir. Jumlah ini hanya
sekitar setengah dari yang dibutuhkan.
Pada
saat sama, pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kebutuhan yang lebih besar.
Jumlah kendaraan telah meningkat empat kali lipat, sedangkan kapasitas jalan
hanya bertambah 35 persen. Pelabuhan utama di Indonesia, meski beroperasi
dalam kapasitas penuh, tetap kesulitan mengatasi peningkatan lalu lintas peti
kemas. Padahal, kapasitas penuh tersebut hanya seperlima dari kapasitas
pelabuhan di Singapura. Konsumsi listrik meningkat dua kali lipat dalam tujuh
tahun terakhir dan akan terus meningkat serta butuh investasi besar untuk
pembangkit listrik agar dapat memenuhi permintaan.
Di
bidang pendidikan, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam memperluas
akses. Namun, sistem pendidikan tampaknya kurang berhasil dalam menyediakan
keterampilan yang paling dibutuhkan pengusaha, yaitu keterampilan teknis yang
tepat dan perilaku yang diinginkan seperti disiplin, sikap kerja sama, dan
kepemimpinan. Pada tingkat dasar, Indonesia kurang beruntung dibandingkan
negara berpendapatan menengah lain dan tetangga Asia Timur dalam penilaian
belajar, seperti PISA.
Sekitar
50 persen lulusan sekolah menengah akhirnya bekerja di bidang tidak terampil
dan berpenghasilan rendah. Hal ini mencerminkan kurangnya keterampilan yang
tepat untuk memperoleh pekerjaan yang semestinya. Sekitar 70 persen
perusahaan mengaku ”sangat sulit” mendapatkan keterampilan yang tepat untuk
posisi profesional.
Yang
tampaknya diperlukan saat ini adalah sistem jaminan mutu yang efektif untuk
meningkatkan kualitas pengajaran. Dalam bidang terkait, pengurangan nilai
pesangon yang tinggi akan mendorong ikatan kontrak yang lebih formal dan
mobilitas tenaga kerja yang lebih tinggi.
Keterlibatan pemerintah
Kualitas
keterlibatan pemerintah dalam pengaturan pasar adalah bidang dasar ketiga.
Pendekatan pemerintah baru-baru ini untuk meningkatkan rantai nilai adalah
dengan membuat UU dan mengatur dahulu, kemudian menegosiasikan dengan swasta
yang investasinya dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan pemerintah tersebut. Hal
ini tak mungkin berhasil. Pendekatan yang dilakukan saat ini adalah
mengimplementasikan reformasi untuk mengurangi hambatan administrasi dan
regulasi serta memfasilitasi investasi dan perizinan di beberapa sektor.
Namun,
pada saat sama, penyusunan peraturan-peraturan melahirkan kebijakan yang
sangat berdampak dan mengganggu kementerian tertentu—seperti kebijakan di
bidang industri dan perdagangan—sehingga menyebabkan ketidakpastian usaha dan
membingungkan investor. Pengalaman internasional menekankan pentingnya
transparansi dan seharusnya dengan minimal atau nol keberatan jika kebijakan
yang ada memang dimaksudkan untuk menguntungkan banyak orang. Mengatasi
kesenjangan di bidang infrastruktur, keterampilan serta regulasi pasar dapat
membantu menciptakan kemakmuran dan pekerjaan. Sejauh mana kelompok
masyarakat miskin dan rentan menerima manfaatnya bergantung pada
kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Tantangan
bagi Indonesia amat besar. Imbalan yang diterima jika mengambil pilihan yang
tepat akan sangat besar dalam pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi lebih
dari 7 persen yang dapat menyerap 15 juta tenaga kerja baru yang siap
bergabung pada 2020. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar