Selasa, 24 Juni 2014

Kelanjutan Nasib Rupiah

Kelanjutan Nasib Rupiah

Sabaruddin Siagian ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
                                                  KORAN JAKARTA, 24 Juni 2014 
                                                
                                                                                         
                                                      
Sebelum diketahui pemenang pemilihan presiden (pilpres) 2014, kondisi rupiah masih “meriang” atau mengalami tekanan karena investor masih mengambil posisi menunggu atau wait and see terhadap kepastian politik dan perekonomian. Rupiah makin tertekan karena juga memburuknya indikator ekonomi, khususnya melebarnya defisit necara perdagangan.

Tekanan terhadap rupiah tercermin sudah menembus 12.000 per dollar AS, Rabu (18/6). Tekanan terhadapnya diperkirakan makin membesar selain karena meningkatnya ketidakpastian pemenang pilpres, juga besarnya tekanan global dan perekonomian domestik.

Sejatinya, jauh sebelum pileg, investor sudah memiliki keyakinan besar bahwa capres partai PDI Perjuangan, Joko Widodo atau Jokowi, akan mudah memenangkan pilpres 2014 karena elektabilitas sangat tinggi dibanding capres dari partai lainnya, termasuk Prabowo Subianto.

Kemenangan Jokowi terhadap pilpres sangat diharapkan investor karena akan mampu mendorong perekonomian lebih dinamis dan mampu mengeksekusi pembangunan, khususnya infrastruktur. Maka, kemenangannya menguntungkan investor dan perekonomian.

Setelah hasil pileg diketahui, PDI Perjuangan berkoalisi dengan Partai Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI karena tidak mampu memperoleh 25 persen suara nasional atau memperoleh 20 persen kursi di DPR untuk dapat mencalonkan Jokowi sebagai capres dan Jusuf Kalla cawapres. Gerindra juga berkoalisi dengan partai PKS, PPP, PAN, PBB, dan Golkar untuk dapat mencalonkan Prabowo sebagai capres dan Hatta Rajasa cawapres.

Dengan bergabungnya partai-partai Islam dan Golkar mendukung Prabowo-Hatta, elektabilitas pasangan ini meningkat yang didukung juga kemampuan Prabowo dengan cerdik menggunakan sentimen agama dan mengeluarkan berbagai manifesto disertai retorika guna meningkatkan elektabilitas.

Peningkatan elektabilitas Prabowo-Hatta mendekati elektabilitas Jokowi-Kalla membuat investor menjadi ragu terhadap masa depan investasi di Indonesia. Investor mempersepsikan Prabowo kurang memberi kepastian investasi dibanding Jokowi. Dengan meningkatnya elektabilitas Prabowo-Hatta, investor mempertimbangkan kembali pemenang pilpres 2014 dan risiko investasinya di Indonesia. Hal ini menambah ketidakpastian perekonomian dan rupiah karena investor menjadi dalam posisi menunggu.

Tekanan

Tekanan terhadap rupiah saat ini memang bukan saja karena meningkatnya ketidakpastian pemenang pilpres 2014, tetapi juga rencana bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuan, Federal Fund Rate, dan kenaikan harga minyak akibat perang sektarian di Irak, antara kaum Sunni dan Syiah.

Perekonomian AS sudah dipastikan mengalami pemulihan dari krisis yang tercermin tingkat pengangguran sudah 6,3 persen, naiknya kepercayaan konsumen dan penguatan manufaktur. Kondisi ini membuat The Fed konsisten mengurangi (tapering off) stimulus, Quantitative Easing, saat ini hanya tersisa 35 miliar dollar AS. Dia juga merencanakan menaikkan suku bunga acuannya pertengahan tahun depan.

Namun, melihat pemulihan lebih cepat dari perkiraan, kenaikan suku bunga acuan akan lebih cepat karena inflasi AS akan meningkat 2 persen terdorong pertumbuhan ekonomi. Inflasi 2 persen menjadi salah satu acuan menaikkan suku bunga yang kini sudah 1,6 persen.

Kemungkinan percepatan itu, portofolio dana asing perekonomian Indonesia akan berkurang karena mengalir kembali ke AS sebab suku bunga AS menjadi kompetitif. Hal ini tentu akan menekan rupiah sampai 2015.

Untuk mengurangi tekanan rupiah dan mencegah pelarian dana (capital outflows) besar-besaran, mau tidak mau, nanti BI menaikkan suku bunga acuan (BI rate) guna meningkatkan kompetitif suku bunga. Maka , tidak rasional mendorong BI melonggarkan kebijakan moneternya.

Tekanan rupiah bukan saja terkait tingginya ketidakpastian hasil pilpres dan pulihnya perekonomian AS, tetapi juga siklus musiman yang membutuhkan dollar AS kuartal II sebagaimana sangat tingginya defisit transaksi berjalan kuartal II/2013 yang mencapai 9,8 miliar dollar AS atau sebesar 4,4 persen dari pendapatan domestik bruto.

Pada kuartal II setiap tahun, korporasi membutuhkan dollar AS sangat besar untuk membayar utang. Tahun 2014, pembayaran cicilan utang dan bunga semakin besar karena sebagaimana tercermin rasio utang (DSR) di atas batas aman. Mei lalu, DSR mencapai 46,33 persen, di atas angka aman 44 persen.

Begitu juga pembayaran dividen korporasi asing yang juga pada kuartal II makin menambah tekanan rupiah. Apalagi jumlahnya lebih besar dari investasi asing. Agar tidak selalu menekan rupiah, pemerintah merencanakan memberi insentif pajak supaya pembayaran dividen tidak dikirim ke negara pemilik dana seluruhnya, tetapi diinvestasikan kembali ke dalam negeri.

Pada kuartal II-2014, impor bahan baku juga sangat besar untuk memenuhi peningkatan kebutuhan Ramadan dan Lebaran. Tingginya impor bahan baku itu tercermin defisit neraca perdagangan April 2014, sebesar 1,96 miliar dollar AS.

Memang, siklus musiman kebutuhan dollar AS pada kuartal II setiap tahun sangat besar memenuhi kebutuhan membayar utang luar negeri, dividen, dan mengimpor bahan baku. Tetapi, kebutuhan dollar kuartal II-2014 sudah sangat menekan rupiah dibanding kondisi normal. Suplai dollar AS sangat terbatas akibat belum pulihnya kinerja ekspor.

Ini membuat dollar AS membiayai impor terbatas. Di sisi lain, perekonomian nasional juga sangat “rakus” mengimpor bahan baku dan minyak. Kebutuhan dollar AS mengimpor minyak semakin besar bila perang Irak tidak dapat dihentikan.

Kedua faktor ini secara konsisten menekan rupiah tahun 2013 dan 2014. Bila Indonesia tidak serius mereformasi struktural perekonomian, rupiah akan selalu rentan terhadap gejolak internal dan eksternal. Perekonomian pun tidak pernah mencapai kapasitas penuh (full employment) atau pertumbuhan tinggi.

Alhasil, nasib rupiah masih sangat tertekan sebelum pilpres yang membuat nilainya berada di level 12.000. Tetapi, bila Indonesia tidak mampu meredam pertarungan pilpres sengit ini dan mengambil kebijakan tegas menghadapi tekanan global, khususnya kenaikan harga minyak, nasib rupiah akan tragis dan pertumbuhan ekonomi menurun drastis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar