Menganalisis
ERP
Joko
Tri Haryanto ; Bekerja di
Kementerian Keuangan
|
KORAN
JAKARTA, 25 Juni 2014
Sebentar
lagi, Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan electronic
road pricing (ERP) sebagai salah satu instrumen kebijakan manajemen lalu
lintas berupa pungutan jalan nontol. ERP juga merupakan retribusi kelancaran
lalu lintas atau pungutan penggunaan jalan pada kawasan tertentu.
Secara
teori, meskipun memiliki beberapa kesamaan, sebetulnya ada perbedaan sangat
signifikan antara ERP dan pungutan jalan tol. Misalnya, pungutan jalan tol
dijadikan kutipan pada ruas-ruas jalan tertentu, jembatan, terowongan.
Tujuannya membiayai sebagian atau seluruh modal, ongkos operasi, dan
perawatan infrastruktur.
Sementara
ERP adalah kutipan di ruas-ruas jalan atau area tertentu sebagai bagian dari travel demand management (TDM) atau urban demand management (UDM).
Tujuannya menekan pengguna kendaraan bermotor agar volume lalu lintas
terbatas. Perbedaan lain terletak pada penetapan harga.
Untuk
jalan tol, operator biasanya berusaha mencapai target finansial untuk menutup
seluruh biaya sehingga harga ditetapkan agar pengendara tidak menggunakan
jalan alternatif. Sementara ERP harga ditetapkan agar pengendara tidak
menggunakan jalan atau melewati area tertentu. Pungutan ERP dalam strategi
manajemen permintaan kendaraan (TDM) sering dikelompokkan sebagai pilihan fiskal
dengan sistem stiker, high parking
charge, dan vehicle licensing tax.
Strategi
lainnya juga dapat diterapkan melalui mekanisme nonfi skal, seperti
pengaturan nomor kendaraan ganjil genap, pembatasan umur kendaraan, high
occupancy vehicle termasuk 3-in 1, serta manajemen infrastruktur kendaraan
bermotor. Beberapa kota besar dunia sukses menjalankan ERP, seperti Singapura
sejak 1998, London (2003), dan Stockholm (2006). Singapura mau mengurangi
jumlah kendaraan yang masuk ke kawasan central
business district (CBD) pada jam-jam puncak kemacetan.
Sementara
di London, ERP lebih untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas
perjalanan, serta menekan polusi. Di Stockholm, ERP untuk pemasukan
pembangunan jalan serta pengembangan sarana transportasi umum. Meskipun
berbeda tujuan, Singapura, London, dan Stockholm memiliki kesamaan hasil,
penurunan volume lalu lintas, kemacetan, perbaikan kualitas udara,
peningkatan reliabilitas perjalanan, penurunan tingkat kecelakaan sekaligus
penambahan anggaran perbaikan jalan, dan pengembangan moda transportasi
publik.
ERP
Jakarta berdasarkan Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang telah direvisi menjadi UU Nomor 22
Tahun 2009, dan banyak lagi. ERP ini sebetulnya sudah ada dalam Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 tentang LLAJR,
Angkutan KA, Sungai, Danau dan Penyeberangan.
Namun,
sepertinya, dasar hukum tersebut belum cukup memayungi ERP. Persoalan lainnya
muncul ketika ERP sebagai salah satu bentuk pungutan daerah tidak termasuk
dalam daftar jenis-jenis pajak dan retribusi daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang sifatnya close
list. Dengan kata lain, daerah tidak boleh menerbitkan jenis pungutan baru
tanpa dasar hukum yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan lebih
tinggi.
Dengan
demikian, DKI Jakarta membutuhkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan
ERP. Terkait persyaratan tersebut, dalam beberapa kesempatan, Wakil Gubernur
DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyanggupi. Ini hanya persoalan teknis
lelang operator yang bertanggung jawab pelaksanaan ERP sehingga pertengahan
2014 bisa diuji coba di Jalan Sudirman-Th amrin dan Rasuna Said. Urgensi
Rencana penerapan ERP ditanggapi skeptis karena didominasi kepentingan
”proyek”.
Sistem
ERP membutuhkan teknologi tinggi sehingga investasinya sangat mahal. Bus
Transjakarta yang jauh dari spesifi kasi juga menjadi pelajaran penting.
Pengadaan teknologi pendukung ERP sebetulnya dapat dilakukan melalui beberapa
pilihan. Secara manual, ERP dapat dijalankan menggunakan pelat nomor serta
stiker. Misalnya pelat ganjil dapat melewati ruas ERP pada hari-hari
tertentu, sisanya untuk pelat genap.
Sedang
stiker dapat diterapkan pada setiap kendaraan di jalan ERP. Selain itu, bisa
menggunakan kamera elektronik atau alat pemindai. Akurasinya lebih tinggi,
namun investasinya juga sangat mahal. Di saat bersamaan, Pemprov Jakarta
belum mampu memenuhi target pengadaan koridor Transjakarta, tapi mau memulai
proyek monorel dan mass rapid
transportation (MRT). Pertanyaannya, seberapa urgen ERP? DKI lebih baik
fokus pada salah satu.
DKI
Jakarta seharusnya fokus merampungkan program Transjakarta sambil
mengembangkan monorel atau MRT dulu. Momen sinergi yang sudah terbangun
dengan swasta dalam pengembangan moda transportasi terintegrasi busway juga
terlalu sayang untuk tidak dioptimalkan. Sistem 3 in 1 perlu dianalisis lebih
mendalam tanpa harus mengembangkan metode lainnya yang belum teruji.
Kesuksesan
ERP di Singapura, London, dan Stockholm juga perlu didiskusikan ulang karena
kondisinya berbeda. Edukasi pengguna jalan, kesejahteraan, serta kedisiplinan
sangat mendukung keberhasilan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar