Otonomi
dan Pemimpin Baru
Robert
Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD,
Jakarta
|
KOMPAS,
25 Juni 2014
SAAT ini
publik setidaknya memiliki dua sumber informasi sebagai bahan dasar menilai
program otonomi kedua pasangan capres-cawapres, yakni dokumen visi, misi, dan
program serta debat pada 9 Juni.
Isi
dokumen visi, misi, dan program (VMP) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa relatif
sepi isu otonomi. Tiadanya platform politik desentralisasi ini bisa
ditengarai beragam, termasuk versi yang ekstrem bahwa pasangan ini cenderung
anti-otonomi. Namun, hasil debat memberi kita gambaran sedikit lebih
optimistis, setidaknya jika melihat afirmasi mereka atas opsi pilkada
langsung dan reformasi birokrasi sebagai agenda prioritas.
Pada
sisi lain, VMP Joko Widodo-Jusuf Kalla berisi cukup banyak program aksi lima
tahun ke depan. Mereka meyakini, selain peran pusat, membangun Indonesia juga
patut dilakukan dari daerah. Maka, arsitektur kewenangan, pembagian fiskal,
hingga kapasitas lokal diarahkan ke pencapaian cita besar tersebut. Adapun
secara nasional, komitmen dan soliditas kebijakan level pusat digalang lewat
penetapan rezim desentralisasi sebagai model tata kelola utama yang
menggantikan dominasi rezim sektoral selama ini.
Memimpin perubahan
Kita
semua mafhum, Indonesia amat besar (penduduk dan wilayah) serta kompleks
(kerumitan masalah) untuk hanya bertopang pada pilar tunggal Jakarta. Tentu
melawan semangat zaman jika manajemen negara-bangsa ini tetap dibayangkan
bisa terkelola sentralistik. Konsensus politik untuk kita berotonomi dan
menyelenggarakan pemerintahan desentralistik benar dalam dirinya dan sesuai
konteks aktual reformasi. Desentralisasi itu inheren dalam sistem demokrasi
yang kita jalani. Menyurut langkah setengah mundur (resentralisasi), apalagi
anti-otonomi, jelas sinyal buruk dari kehendak memutar balik demokrasi ke
jalan otokrasi.
Dengan
keyakinan itu, lanjutan isu pokoknya kemudian adalah perihal mengelola
politik desentralisasi ke depan. Siapa pun presiden terpilih mesti mampu jadi
seorang pemimpin perubahan sebagai keniscayaan dalam fase penguatan ataupun
penataan ulang elemen-elemen dasar berotonomi yang baru.
Pertama,
memimpin revolusi mental elite Jakarta menuju perubahan dalam paradigma
kebijakan otonomi itu sendiri. Saat ini, secara sadar, kita berotonomi dan
mengelola desentralisasi dengan langgam kerja sentralistik. Alam pikir elite
politik/birokrasi pusat sejatinya masih mewarisi memori masa lalu, bahkan
saat sistem telah berputar jauh ke haluan desentralisasi sebagai cara baru
berpemerintahan. Presiden SBY bahkan mengakui kalau pusat masih berpikir
sentralistik, cenderung otoritarian, dan belum sadar arti penting pemberian
otonomi yang besar ke daerah (Selalu Ada
Pilihan, 2014, hal 25).
Kedua,
terkait itu, presiden terpilih adalah figur yang memimpin cara baru melihat
hubungan bermasalah pemerintah pusat-pemerintah daerah selama ini yang kerap
linear dan sepihak. Ibarat principal-agency,
pusat memangku dirinya sebagai pemilik otonomi yang melalui skema
desentralisasi berbaik hati mengalihkan sebagian pengelolaannya ke daerah.
Pusat menjadi pusat kebenaran dan muara loyalitas. Ketaatan mesti dipastikan,
termasuk lewat fiskal yang dalam banyak kejadian memang efektif berperan
sebagai instrumen pengendalian politik dan tertib administrasi. Blunder
konsep politik anggaran yang disampaikan Jokowi dalam debat lalu persis
merefleksikan sesat pikir yang ironisnya belum terkena imbas revolusi mental
tersebut.
Ketiga,
menurun ke aras instrumental, otonomi memerlukan presiden yang cakap memimpin
perubahan atas segitiga masalah pelik otoritas, kapasitas, dan integritas.
Setelah 14 tahun berotonomi, benang kusut desain otoritas belum terurai lewat
penataan urusan dan fiskal (money
follow function). Diskresi pemda menjadi tumpul ketika politik anggaran
pro daerah hanya sebatas jargon yang tentu saja sulit diandalkan memulihkan
fiscal stress dan ketergantungan daerah (80 persen kabupaten/kota memiliki
pendapatan asli daerah kurang dari 10 persen), menjamin pembiayaan atas
urusan yang terbengkalai, mendorong rasio belanja modal sebagai stimulans
ekonomi, dan lain-lain.
Celakanya,
derajat otoritas itu setali tiga uang dengan kapasitas dan integritas lokal.
Uang dan kuasa yang telah mengalir ke ranah lokal ternyata lebih banyak
menemui institusi dan agensi yang lemah. Hasilnya, inefisiensi dan korupsi
masif. Kita dihadapkan pada situasi buruk terkait tak berkualitasnya belanja
APBD di banyak daerah, besarnya dana tak terserap (sisa lebih perhitungan
anggaran sebesar Rp 116 triliun), alokasi 50-70 persen APBD untuk pos
birokrasi di 276 daerah, nirakuntabilitas laporan keuangan (hanya 20 persen
daerah memiliki laporan keuangan pemerintah daerah beropini wajar tanpa
pengecualian), aksi perburuan rente/kuasa lewat mesin keruk pemekaran yang
bekerja nyaris tak kenal jeda, serta 321 kepala daerah/wakil kepala daerah
dan ribuan anggota DPRD yang tersangkut tindak pidana korupsi.
Keempat,
akhirnya, hadirnya pemimpin yang mampu meleverasi otonomi ke konteks besar
transformasi Indonesia. Segala masalah di atas tidak boleh menghalangi upaya
pembuktian desentralisasi sebagai jalan strategis mengubah paradigma
pembangunan di negeri ini. Selama ini kita terkesan terjebak dalam kejumudan
otonomi. Pemekaran hanya untuk mekar jabatan, tak dirancang sebagai rute
alternatif bagi territorial reform. Membangun daerah seolah hanya
mengandalkan APBD, itu pun menunggu tetesan dari sisa belanja birokrasi.
Distribusi barang/jasa dan pelayanan publik digariskan berdasarkan level
pemerintahan, bukan sebagai respons atas kondisi publik itu sendiri. Semua
serba rutin, bahkan involutif.
Kegairahan
baru berotonomi harus dihadirkan. Sejumlah daerah (meski terbatas) telah
sukses berinovasi. Presiden terpilih patut mendorong tumbuhnya pusat-pusat
kreativitas sektor publik, mengarusutamakan inovasi sebagai sistem nasional
dan menetapkannya sebagai indikator kinerja wajib. Selama masih gagal
membuktikan desentralisasi sebagai jalan transformasi Indonesia, rakyat tidak
akan mereguk tuah otonomi, alih-alih malah terus terlempar ke garis tepi
pembangunan.
Catatan akhir
Platform
baru politik desentralisasi menuntut revolusi fundamental struktur berpikir
elite politik hingga street-level
bureaucracy yang harus mengubah mental model dari budaya kuasa ke budaya
melayani warga. Risiko dan resistensi pasti selalu ada; hanya pemimpin
berkarakter perubahan yang dapat mengelola risiko, membuat otonomi bermakna
dan fungsional bagi transformasi negara-bangsa ini. Kalau seorang presiden
mengkritik masih sentralistiknya cara berpikir jajaran pemerintahan,
sejatinya kritik itu adalah afirmasi otentik akan kegagalannya dalam memimpin
perubahan.
Publik
sudah membaca dokumen VMP dan mendengar debat/kampanye kedua pasangan
capres-cawapres. Dalam konteks otonomi, masalah dan tantangan mendasar di
atas belum sepenuhnya disentuh. Masa kampanye tersisa diharapkan muncul
isu-isu fundamental, dengan cara lihat yang baru dan meyakinkan dirinya
sebagai figur pemimpin perubahan yang
cakap memandu cara baru berpemerintahan di era desentralisasi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar