Pemerintah
Membiarkan Pers Terbelah
Sabam
Leo Batubara ; Wartawan Senior
|
TEMPO,
23 Juni 2014
Berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilihan umum, berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, fungsi pers adalah mendidik. Mengemukakan persoalan dan
menawarkan pencerahan. Dalam perspektif kebebasan berekspresi sesuai dengan
konsep clean and good governance,
tugas media massa adalah membantu mengupayakan well-informed voters. Sekitar 190 juta pemilih dibantu mendapat
pasokan fakta dan kebenaran yang tersedia cukup dan berimbang tentang rekam
jejak para kontestan: partai politik, calon legislator, calon presiden, dan
calon wakil presiden.
Pelaksanaan
fungsi dan tugas itu kini bermasalah. Pertama, media dituduh sebagai penyebab
turunnya elektabilitas parpol. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di Jakarta
(18/5/2014), Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengemukakan, "Suara Partai Demokrat merosot tajam,
juga karena digempur habis-habisan oleh televisi dan media cetak."
Kedua,
pemerintah SBY membiarkan enam stasiun televisi milik penguasa parpol
melanggar perundang-undangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan
kewenangannya, menjelang hangatnya kampanye pemilihan legislatif, telah
merilis penilaiannya bahwa TVOne, ANTV, RCTI, Global TV, MNCTV, dan Metro TV
melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran yang bersangkutan dan/atau
kelompoknya.
Ketua
KPI Judhariksawan, di Jakarta (2/6/2014), menjelaskan bahwa lima media
televisi nasional dinilai tidak netral dalam menyiarkan kegiatan
capres-cawapres. TVOne, RCTI, MNCTV, dan Global TV dinilai memberikan porsi
pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Prabowo-Hatta. Metro TV dinilai
memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla.
Ketiga,
kampanye hitam yang menyesatkan rakyat dibiarkan. Kini pun kampanye hitam
yang meracuni benak rakyat kita sedang memasuki panggung media massa,
utamanya lewat media sosial. Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator,
Rustika Herlambang, di Jakarta (22/52014), sepanjang 2014 terdapat 5.551
pemberitaan yang berkaitan dengan kampanye jahat. Sebanyak 1.515 ekspose
berita kampanye jahat tentang capres Jokowi dan 743 kampanye jahat tentang
capres Prabowo. Kampanye jahat didasarkan pada tuduhan tidak berdasarkan
fakta dan merupakan fitnah.
SBY
mengharapkan pers mengawal demokrasi. Untuk mengatasi persoalan media
sebagaimana dikemukakan, sebagai sahabat pers, Presiden SBY pun diharapkan
mengawal pers dalam melaksanakan tugasnya mengawal demokrasi. Pertama,
kembali memberi contoh dengan mengadukan pers yang memfitnah ke Dewan Pers.
Berita negatif yang terindikasi beriktikad buruk pun dapat di-KUHP-kan.
Kedua,
pemerintah jangan membiarkan media televisi terbelah. Penegakan hukum
terhadap stasiun televisi yang melanggar hukum bukan wewenang KPI atau
Bawaslu. Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebut,
"Isi siaran wajib dijaga
netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan
tertentu." Sementara itu, pasal 55 mengatur, pelanggar pasal di atas
dapat berakibat terkena sanksi administratif. Ketentuan pemberian sanksi
berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan
izin penyelenggaraan penyiaran disusun oleh pemerintah. Karena ketentuan
pemberian sanksi sampai sekarang belum juga dibuat oleh pemerintahan SBY,
pelanggaran UU oleh sejumlah media televisi berlanjut terus. Hanya dengan
adanya ketentuan pemberian sanksi, temuan KPI bisa diteruskan ke jalur hukum.
Pembiaran tanpa ketentuan pemberian sanksi oleh pemerintah adalah penyebab
pers media televisi terbelah.
Ketiga,
penegakan hukum terhadap pelaku kampanye hitam mendesak. Kampanye hitam
membodohi dan menipu masyarakat. Presiden SBY sebagai the national policy and
decision maker tidak cukup hanya lewat Twitter berkicau, "Saya tidak menginginkan jika kompetisi pilpres saling menghancurkan
dengan kampanye hitam." Presiden patut menugasi Polri dan BIN
menemukan pelakunya. Dulu Bakin selalu mengetahui ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan, bahkan sekecil jarum pun yang menerpa negeri ini.
Publik perlu tahu pelakunya, kawan atau lawan, misalnya sisa-sisa G30S/PKI
atau Nekolim?
Media
sosial yang tidak jelas identitasnya dan sumbernya, dan kegiatannya
menyebarkan dusta, fitnah, dan kebencian, sama saja dengan surat kaleng yang
menyebarkan desas-desus dusta dan fitnah. Menkominfo memblokir media seperti
itu tentu saja tidak melanggar HAM. Sebagai sahabat pers, Presiden SBY perlu
bekerja sama dengan pers untuk mengupayakan media agar tidak terbelah dan
membangun demokrasi yang mempersyaratkan kematangan dan fair play. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar