“Simpatisan
Kaget” dan Pilpres 2014
Pamungkas
Ayudhaning Dewanto ; Mahasiswa Pascasarjana
Hubungan
Internasional, Universitas Ritsumeikan, Kyoto
|
KOMPAS,
25 Juni 2014
DALAM ingar-bingar
Pilpres 2014, satu hal yang luput disinggung dalam berbagai kajian adalah
faktor militansi dukungan. Dalam berbagai forum dan media sosial, fenomena
ini merebak bak demam budaya pop; kawan dekat yang selama ini bertegur sapa
seperti biasa, kini menjelma jadi ”pasukan berani mati” membela calon
presiden dukungannya. Bisa jadi dalam sejarah pemilu setelah reformasi, ini
adalah kali pertama fanatisme dicurahkan dengan skala yang fantastis oleh
para pendukung.
Terminologi
”pasar kaget” secara sederhana menganalogikan fenomena ini. Pasar kaget bukan
terjadi secara sengaja, melainkan didorong faktor luar, misalnya ada acara
ritual keagamaan atau libur nasional. Sama halnya dengan para pendukung
capres-cawapres kali ini, yang sejatinya tak berbicara politik. Faktor
pilpres mendorong mereka membuka ”lapak-lapak”-nya di berbagai jejaring
sosial dan komunitas. Karena itu, terminologi ”simpatisan kaget” digunakan ke
depan.
Dampak
Munculnya
fenomena ini layak diapresiasi untuk dua konteks. Pertama, berbeda dengan tim
sukses dan koalisi, jelas ”simpatisan kaget” memiliki kapasitas struktural
yang berbeda. Ketika tim sukses dan tokoh koalisi memiliki kans untuk masuk
gerbong pemerintahan, para simpatisan ini tetap akan jadi rakyat ketika
capres-cawapres idolanya terpilih. Ini menunjukkan secara materiil
”simpatisan kaget” punya ketulusan dukungan lebih tinggi karena bebas
kepentingan.
Kedua,
eksternalitas dari militansi ”simpatisan kaget” tak perlu diragukan. Di
samping para capres-cawapres harus berterima kasih atas ”kampanye gratis”
yang mereka ekspresikan, publik juga harus berterima kasih karena militansi
mereka mempertajam diskursus tentang mana yang lebih layak dipilih di antara keduanya.
Masyarakat punya wawasan yang kaya untuk menilai kebijakan apa saja yang
layak dan kurang layak untuk diterapkan selama lima tahun ke depan.
Namun,
fenomena ini tak selalu berdampak sedap terhadap demokrasi elektoral,
mengingat akumulasi diskursus negatif atas kedua pasangan capres-cawapres
berkontribusi membangun skeptisisme masyarakat atas calon- calon yang ada.
Dari sini akan lahir gelombang generasi skeptis baru yang menurunkan minat
mereka untuk berpartisipasi dalam memberikan suaranya.
Selain
itu, untuk melancarkan aksinya, media juga mendapatkan angin segar sebagai
amunisi bagi para ”simpatisan kaget”. Berbeda dengan simpatisan di pilpres
sebelumnya yang mengandalkan isu semata, kini para pendukung menggunakan
berbagai sumber kutipan media untuk menjajakan idolanya. Karena itu,
polarisasi media-media kredibel dalam pilpres kali ini menjadi faktor utama
pendorong meruncingnya ”perlawanan” di antara dua pendukung.
Oleh
karena itu, wajar jika belakangan fenomena ini juga memicu menjamurnya ”media
kaget” yang dibentuk untuk menunjang infrastruktur sosial yang ada.
Kemunculan Obor Rakyat adalah efek bola salju semata yang hingga kini kian
deras menginstrumentasi para ”simpatisan kaget”. Melalui bacaan yang
diragukan otentisitas dan obyektivitasnya itu, militansi dukungan melenggang
melampaui batas- batas nilai kepatutan dan kaidah berdemokrasi yang
konstruktif.
Tertularnya
sejumlah tokoh untuk ”bermigrasi” dari koridor kepakarannya ke dalam jebakan
militansi juga mengukuhkan keunikan pilpres kali ini. Sayangnya, militansi
yang ada tak mendorong sikap kenegarawanan, tetapi militansi yang dipicu
persaingan untuk memusuhi calon dan para pendukung lawan.
Proyeksi simpatisan
Persaingan
kebijakan tak perlu ditanggapi secara antagonistik. Justru kompetisi
kebijakan yang ada akan mendorong penajaman kualitas presiden terpilih. Oleh
karena itu, publik harus semakin jeli melihat mana ”simpatisan kaget” yang mendorong ke arah wacana positif. Meski
demikian, kita tak pernah tahu sampai kapan fenomena ini akan terus
berlangsung.
Ada dua
skenario yang ditawarkan. Pertama,
jika fenomena ini berhenti setelah pemenang pilpres ditentukan, para
simpatisan ini tak ubahnya penonton festival yang membubarkan diri setelah
tayangan panggung usai. Ini berarti demokrasi kita masih ada di permukaan
karena partisipasi hanya sebatas euforia selebrasi. Dalam situasi ini, sulit
mengharapkan para simpatisan turut bertanggung jawab ketika pemimpin idolanya
yang terpilih tidak mampu menepati janji-janji atau justru membawa kemunduran
demokrasi.
Kedua,
jika fenomena ini akan terus berlangsung hingga akhir masa jabatan
presiden-wakil presiden terpilih, ini artinya demokrasi partisipatif telah
menjadi nadi dalam pendewasaan politik di Indonesia. ”Simpatisan kaget” akan bertransformasi menjadi ”simpatisan organik” yang siap
mengawal capres yang didukung ataupun yang tidak didukung, memastikan
kebijakan yang diambil adalah intisari diskursus visi-misi, rekam jejak,
serta ide yang pada saat kontes berlangsung telah dipertajam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar