Jumat, 27 Juni 2014

Pendidikan Pemilih lewat Debat

Pendidikan Pemilih lewat Debat

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Setelah melalui babak ketiga debat calon presiden (capres), wajar bila kita bertanya sejauh manakah program tersebut memberikan kontribusi positif pada para pemilih. Ada dua pandangan yang berkembang di sini. Pertama, yang menganggap debat adalah medium untuk mendidik pemilih tentang visi, misi, dan program capres.

Kedua, yang menganggap debat adalah ajang unjuk kebolehan bicara dan menggalang dukungan. Berdasarkan perkembangan suasana di Indonesia, yang terlihat menguat adalah pandangan yang kedua. Di media dan jejaring sosial, yang beredar dan menajam adalah spekulasi-spekulasi seputar kepribadian dan gaya kepemimpinan para capres. Yang satu dipandang lebih tegas, yang lain lebih merakyat. Dosa dan kelemahan pribadi menjadi komoditas diskusi yang seakan tak berujung; masing-masing kubu terus melemparkan tudingan akan keinginan menyudutkan pasangan lain. Ada pengamat yang melihat hal ini sebagai tak terhindarkan.

Alasannya karena debat di TV mengandung unsur hiburan (entertainment), sehingga selain penonton tak bisa diarahkan untuk mencermati substansi debat, penonton tergoda untuk mengomentari cara tersenyum, pilihan busana, pilihan kata, bahkan bahasa tubuh capres. Betulkah rata-rata masyarakat Indonesia memang baru punya kemampuan berdemokrasi yang “segitu” saja? Benarkah debat capres di TV lebih sebagai hiburan belaka? Tentu jawabnya membutuhkan studi kuantitatif seperti survei yang lebih sistematis. Tapi mari kita awali dengan mengeksplorasi sejumlah hal yang ikut menentukan penilaian dalam studi macam itu.

Debat capres hanya dimungkinkan dalam konteks demokrasi di mana pemimpin dipilih oleh rakyat melalui pemungutan suara yang damai dan tanpa pemaksaan pada individu pemilih. Dengan diadakannya debat, ada pengakuan dari otoritas pemilu bahwa para capres punya kualifikasi yang membedakan satu denganlainnya sehinggaperludikenali oleh khalayak luas. Pembedaan capres ini demikian pentingnya sehingga cara konvensional seperti memasang poster atau menyebarkan flyervisi-misi dan program saja dianggap tidak cukup informatif bagi pemilih.

Hal ini sangat relevan dalam konteks tema yang menjadi pilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk forum debat capres. Semua isu yang disoroti: politik, ekonomi, politik internasional dan pertahanan, sumber daya manusia dan iptek, serta pangan dan energi, adalah hal-hal yang kompleks danrelatifsulitdicerna oleh masyarakat umum. Melalui debat, masyarakat diharapkan dapat lebih mengenal situasi yang berkembang dan apa saja hal-hal yang menurut capres wajib dilakukan atau dihindari Indonesia dalam waktu-waktu ke depan. Dari situlah muncul kewibawaan, kecerdasan, kebijaksanaan seorang pemimpin. Harapannya demikian.

Apa daya, forum debat bisa juga berkembang ke arah orasi yang miskin substansi. Jika masing- masing capres semata mencari zona aman supaya tidak “dikejar” oleh kubu lawan untuk memberi penjelasan lebih detail, penonton berhadapan dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Alhasil, yang lahir adalah sederet asumsi dan spekulasi. Di lapangan, ketika asumsi dan spekulasi tersebut tak bisa dijelaskan oleh para pendukung maka gesekan fisik antarmasyarakat akan menjadi risiko buruk demokrasi. Saya melihat masyarakat Indonesia masih dalam tahap “dipaksa” untuk puas pada orasi yang miskin substansi.

Format debat dibatasi sedemikian rupa sehingga kecil sekali ruang untuk mendalami isi kepala dan hati capres. Hal ini dimaklumi juga karena waktu kampanye capres terbilang sangat singkat. Di negara-negara demokrasi Barat, ada waktu 6–11 bulan untuk para calon pemimpin menggembleng isi kepala dan hatinya. Yang bertumbukan bukanlah tim sukses ataupun kubu pendukung, tetapi para calon pemimpin yang berlaga. Jadi tidak ada istilah “pagar betis” ketika adu pemikiran sebagai calon pemimpin. Ini beda sekali dengan di Indonesia. Para capres kita lebih terlihat sebagai kasta tertinggi yang patut dipagari sedemikian sengit oleh para pendukungnya.

Tak secuil pun kelemahan gagasan mereka boleh untuk dibahas lebih lanjut oleh publik. Inilah yang sebetulnya menempatkan forum debat di Indonesia sebagai sekadar hiburan dan bukannya sebagai media pendidikan pemilih. Artinya apabila para pasangan capres/cawapres tidak menganggap debat politik sebagai sebuah debat substantif yang ideologis maka dari mana mereka berharap mendulang suara? Tak heran konflik SARA menajam, kelemahan personal dan kampanye kotor ditemui di sana sini.

Dalam negara yang telah menjalankan demokrasi yang maju, hal ini juga terjadi dan bahkan lebih kasar namun para elite partai tetap menjaga koridor etik berpolitik karena mereka yakin bahwa sekali masyarakat tidak cerdas maka semakin kecil kemungkinan mereka terpilih. Perlu dipahami bahwa lebih sulit dan “mahal” menggalang dukungan dari pemilih yang tidak bisa diajak berpikir. Selain mudah diprovokasi, mereka rentan disuap. Jika Indonesia mau bertahan dalam persaingan global, ide dan program-program yang berkembang di Indonesia pun harus bisa dipertanggungjawabkan dan disandingkan dengan ide dan program-program bangsa lain.

Itulah sebabnya mustahil kita bicara soal menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6%, disegani dalam pergaulan dunia, menjaga kedaulatan negeri, mencegah kebocoran aset negara ke luar negeri, menjadi poros maritim dunia, atau melindungi tenaga kerja Indonesia tanpa bicara tentang apa saja yang selama ini dikembangkan negaranegara lain dan harus direspons oleh Indonesia. Apa pun yang akan dikembangkan oleh Indonesia tidak bisa keluar dari konteks maupun etika regional, global maupun relasi bilateral yang berlaku. Artinya sebagai pemilih kita perlu tahu apakah capres pilihan kita paham cara-cara terbaik mengembangkan relasi yang menguntungkan dengan negara-negara lain?

Apakah mereka paham seni meraih sukses buat Indonesia? Di luar pendapat para tim sukses yang menyatakan capres mereka menguasai panggung debat capres, bagi para pemilih yang memahami tema pertahanan dan politik internasional, pemaparan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dapat disimpulkan saling melengkapi ketimbang membedakan. Prabowo bicara di tingkat makro atau visi, Jokowi bicara di tingkat mikro (misi dan rencana). Prabowo cenderung bicara tema ketahanan, Joko Widodo bicara di kebijakan politik luar negeri.

Persepsi publik terbentuk lebih karena kelemahan masing- masing untuk tidak melakukan diferensiasi garis politik dan ideologi terhadap lawan debat yang sebetulnya dapat mendidik para pemilih yang masih bimbang (swing voter) untuk menentukan sikap. Pembedaan konsep yang digagas masingmasing capres tampaknya masih bertolak dari gagasan normatif tentang Indonesia di masa depan dan lantas diturunkan ke dalam program kerja dan bukan dari masalah apa yang ada di depan mata dan apa strategi yang perlu dijalankan.

Meski demikian, saya juga menyadari keinginan untuk menghadirkan debat capres yang berkualitas terkait dengan beberapa pihak mulai dari KPU hingga para politisi di belakang para capres. Namun demikian, sebagai pemilih, kita berhak bertanya kepada para penyelenggara dan peserta pemilu tentang “pasar” pemilih macam apa yang ingin mereka ciptakan melalui proses pemilihan presiden saat ini. Apakah mereka cukup puas mengikuti arus pasar yang lebih peduli dengan jargon/gimmick atau perdebatan yang sifatnya menciptakan pasar pemilih yang cerdas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar