Pendidikan
Pemilih lewat Debat
Dinna
Wisnu ; Co-Founder &
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 25 Juni 2014
Setelah
melalui babak ketiga debat calon presiden (capres), wajar bila kita bertanya
sejauh manakah program tersebut memberikan kontribusi positif pada para
pemilih. Ada dua pandangan yang berkembang di sini. Pertama, yang menganggap
debat adalah medium untuk mendidik pemilih tentang visi, misi, dan program
capres.
Kedua,
yang menganggap debat adalah ajang unjuk kebolehan bicara dan menggalang
dukungan. Berdasarkan perkembangan suasana di Indonesia, yang terlihat
menguat adalah pandangan yang kedua. Di media dan jejaring sosial, yang
beredar dan menajam adalah spekulasi-spekulasi seputar kepribadian dan gaya
kepemimpinan para capres. Yang satu dipandang lebih tegas, yang lain lebih
merakyat. Dosa dan kelemahan pribadi menjadi komoditas diskusi yang seakan tak
berujung; masing-masing kubu terus melemparkan tudingan akan keinginan
menyudutkan pasangan lain. Ada pengamat yang melihat hal ini sebagai tak
terhindarkan.
Alasannya
karena debat di TV mengandung unsur hiburan (entertainment), sehingga selain penonton tak bisa diarahkan untuk
mencermati substansi debat, penonton tergoda untuk mengomentari cara
tersenyum, pilihan busana, pilihan kata, bahkan bahasa tubuh capres. Betulkah
rata-rata masyarakat Indonesia memang baru punya kemampuan berdemokrasi yang
“segitu” saja? Benarkah debat capres di TV lebih sebagai hiburan belaka?
Tentu jawabnya membutuhkan studi kuantitatif seperti survei yang lebih
sistematis. Tapi mari kita awali dengan mengeksplorasi sejumlah hal yang ikut
menentukan penilaian dalam studi macam itu.
Debat
capres hanya dimungkinkan dalam konteks demokrasi di mana pemimpin dipilih
oleh rakyat melalui pemungutan suara yang damai dan tanpa pemaksaan pada
individu pemilih. Dengan diadakannya debat, ada pengakuan dari otoritas
pemilu bahwa para capres punya kualifikasi yang membedakan satu denganlainnya
sehinggaperludikenali oleh khalayak luas. Pembedaan capres ini demikian
pentingnya sehingga cara konvensional seperti memasang poster atau
menyebarkan flyervisi-misi dan program saja dianggap tidak cukup informatif
bagi pemilih.
Hal ini
sangat relevan dalam konteks tema yang menjadi pilihan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) untuk forum debat capres. Semua isu yang disoroti: politik, ekonomi,
politik internasional dan pertahanan, sumber daya manusia dan iptek, serta
pangan dan energi, adalah hal-hal yang kompleks danrelatifsulitdicerna oleh
masyarakat umum. Melalui debat, masyarakat diharapkan dapat lebih mengenal
situasi yang berkembang dan apa saja hal-hal yang menurut capres wajib
dilakukan atau dihindari Indonesia dalam waktu-waktu ke depan. Dari situlah
muncul kewibawaan, kecerdasan, kebijaksanaan seorang pemimpin. Harapannya
demikian.
Apa
daya, forum debat bisa juga berkembang ke arah orasi yang miskin substansi.
Jika masing- masing capres semata mencari zona aman supaya tidak “dikejar”
oleh kubu lawan untuk memberi penjelasan lebih detail, penonton berhadapan
dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Alhasil, yang lahir adalah
sederet asumsi dan spekulasi. Di lapangan, ketika asumsi dan spekulasi
tersebut tak bisa dijelaskan oleh para pendukung maka gesekan fisik
antarmasyarakat akan menjadi risiko buruk demokrasi. Saya melihat masyarakat
Indonesia masih dalam tahap “dipaksa” untuk puas pada orasi yang miskin
substansi.
Format
debat dibatasi sedemikian rupa sehingga kecil sekali ruang untuk mendalami
isi kepala dan hati capres. Hal ini dimaklumi juga karena waktu kampanye
capres terbilang sangat singkat. Di negara-negara demokrasi Barat, ada waktu
6–11 bulan untuk para calon pemimpin menggembleng isi kepala dan hatinya.
Yang bertumbukan bukanlah tim sukses ataupun kubu pendukung, tetapi para
calon pemimpin yang berlaga. Jadi tidak ada istilah “pagar betis” ketika adu
pemikiran sebagai calon pemimpin. Ini beda sekali dengan di Indonesia. Para capres
kita lebih terlihat sebagai kasta tertinggi yang patut dipagari sedemikian
sengit oleh para pendukungnya.
Tak
secuil pun kelemahan gagasan mereka boleh untuk dibahas lebih lanjut oleh
publik. Inilah yang sebetulnya menempatkan forum debat di Indonesia sebagai
sekadar hiburan dan bukannya sebagai media pendidikan pemilih. Artinya
apabila para pasangan capres/cawapres tidak menganggap debat politik sebagai
sebuah debat substantif yang ideologis maka dari mana mereka berharap
mendulang suara? Tak heran konflik SARA menajam, kelemahan personal dan
kampanye kotor ditemui di sana sini.
Dalam
negara yang telah menjalankan demokrasi yang maju, hal ini juga terjadi dan
bahkan lebih kasar namun para elite partai tetap menjaga koridor etik
berpolitik karena mereka yakin bahwa sekali masyarakat tidak cerdas maka
semakin kecil kemungkinan mereka terpilih. Perlu dipahami bahwa lebih sulit
dan “mahal” menggalang dukungan dari pemilih yang tidak bisa diajak berpikir.
Selain mudah diprovokasi, mereka rentan disuap. Jika Indonesia mau bertahan
dalam persaingan global, ide dan program-program yang berkembang di Indonesia
pun harus bisa dipertanggungjawabkan dan disandingkan dengan ide dan
program-program bangsa lain.
Itulah
sebabnya mustahil kita bicara soal menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia
di atas 6%, disegani dalam pergaulan dunia, menjaga kedaulatan negeri,
mencegah kebocoran aset negara ke luar negeri, menjadi poros maritim dunia,
atau melindungi tenaga kerja Indonesia tanpa bicara tentang apa saja yang
selama ini dikembangkan negaranegara lain dan harus direspons oleh Indonesia.
Apa pun yang akan dikembangkan oleh Indonesia tidak bisa keluar dari konteks
maupun etika regional, global maupun relasi bilateral yang berlaku. Artinya
sebagai pemilih kita perlu tahu apakah capres pilihan kita paham cara-cara
terbaik mengembangkan relasi yang menguntungkan dengan negara-negara lain?
Apakah
mereka paham seni meraih sukses buat Indonesia? Di luar pendapat para tim
sukses yang menyatakan capres mereka menguasai panggung debat capres, bagi
para pemilih yang memahami tema pertahanan dan politik internasional,
pemaparan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dapat disimpulkan saling
melengkapi ketimbang membedakan. Prabowo bicara di tingkat makro atau visi,
Jokowi bicara di tingkat mikro (misi dan rencana). Prabowo cenderung bicara
tema ketahanan, Joko Widodo bicara di kebijakan politik luar negeri.
Persepsi
publik terbentuk lebih karena kelemahan masing- masing untuk tidak melakukan
diferensiasi garis politik dan ideologi terhadap lawan debat yang sebetulnya
dapat mendidik para pemilih yang masih bimbang (swing voter) untuk menentukan sikap. Pembedaan konsep yang
digagas masingmasing capres tampaknya masih bertolak dari gagasan normatif
tentang Indonesia di masa depan dan lantas diturunkan ke dalam program kerja
dan bukan dari masalah apa yang ada di depan mata dan apa strategi yang perlu
dijalankan.
Meski
demikian, saya juga menyadari keinginan untuk menghadirkan debat capres yang
berkualitas terkait dengan beberapa pihak mulai dari KPU hingga para politisi
di belakang para capres. Namun demikian, sebagai pemilih, kita berhak
bertanya kepada para penyelenggara dan peserta pemilu tentang “pasar” pemilih
macam apa yang ingin mereka ciptakan melalui proses pemilihan presiden saat
ini. Apakah mereka cukup puas mengikuti arus pasar yang lebih peduli dengan
jargon/gimmick atau perdebatan yang sifatnya menciptakan pasar pemilih yang
cerdas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar