Jangan
Salahkan Debat Capres
Hermanto ;
PNS BPS Prov. Jawa Timur
|
JAWA
POS, 27 Juni 2014
TERLALU
prematur bila para praktisi ekonomi mengaitkan kondisi pasar saham yang terus
terkoreksi dan rupiah yang semakin menjauh dari batas atas asumsi
makroekonomi pemerintah sebagai respons negatif dari debat calon nakhoda
negeri ini. Keadaan itu lebih disebabkan situasi pasar keuangan regional yang
diwarnai indeks bursa saham yang terkoreksi serta relatif terdepresiasinya
mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, terlalu
berlebihan dan irasional jika berharap terjadi anomali situasi pasar keuangan
di Indonesia ketika kondisi eksternal tidak berpihak dan faktor fundamental
perekonomian kita di luar ekspektasi.
Faktor
eksternal yang menjadi salah satu sebab utama depresiasi rupiah adalah dampak
dimulainya kebijakan pengurangan stimulus moneter quantitative easing (QE) oleh bank sentral Amerika Serikat dalam
merespons perbaikan kondisi makroekonominya. Dana asing yang mengalir deras
beberapa tahun terakhir, terutama dari Negeri Paman Sam sebagai bagian dari
kebijakan QE dalam upaya mengatasi krisis di Amerika Serikat, sudah mulai
berlalu. Sebab, saat ini justru terjadi penarikan dana yang parkir di luar
Amerika Serikat untuk balik ke dalam negerinya, terutama yang berada di
negara emerging market, termasuk
Indonesia yang menawarkan high return meskipun memiliki risiko yang tinggi
pula.
Faktor
internal yang berkontribusi pada depresiasi rupiah adalah masalah defisit
anggaran yang menghantui perekonomian Indonesia 2014. Salah satu penyebab
defisit anggaran itu adalah terbatasnya ekspor, terutama komoditas minerba
mentah sebagai konsekuensi kebijakan pembatasan ekspor minerba mentah, yang
diiringi oleh penerimaan pajak yang belum optimal dari target yang
ditetapkan. Ditambah pula belum lepasnya industri kita dari ketergantungan
impor bahan baku.
Sikap
pemerintah dalam membatasi ekspor minerba mentah di satu sisi patut diacungi
jempol, yang tidak terpengaruh oleh lobi-lobi perwakilan perusahaan
eksplorasi minerba internasional beberapa waktu belakangan agar meloloskan
ekspor mentah komoditasnya dengan upaya menekan melalui perumahan sementara
para karyawan. Mengingat sikap perusahaan internasional yang abai dengan
imbauan yang jauh-jauh hari sudah diberikan merupakan sikap yang seolah
mengangkangi kebijakan pemerintah. Harapan selanjutnya, semoga isu ini tidak
bergulir ke ranah politik karena tujuan kebijakan ini adalah Indonesia dapat
memperoleh nilai tambah yang lebih baik dari sektor minerba. Tidak hanya dari
sisi pemasukan domestik, namun juga penyerapan lapangan kerja karena ada
peningkatan skala kegiatan, yaitu sektor pengolahan minerba.
Selain
karena ekspor, tekanan penerimaan negara dari perpajakan yang belum mencapai
target yang diharapkan berkontribusi pada defisit anggaran. Institusi
perpajakan perlu lebih kreatif dalam melakukan upaya ekstensifikasi sektor
yang belum optimal tergarap padahal memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi seperti sektor finansial, properti, dan komunikasi. Sementara itu,
untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku sektor industri, pemerintah
perlu memprioritaskan investor yang akan berinvestasi pada industri yang
memproduksi bahan baku atau penolong impor tersebut dengan insentif sebagai
daya tarik atau memberi peluang kepada BUMN untuk membangun industri
tersebut.
Sedangkan
pasar saham Indonesia yang terkoreksi cukup wajar selain karena aksi profit taking para investor dalam
menyikapi kondisi regional serta penarikan dana parkir instrumen QE, juga
sangat mungkin adanya diversifikasi produk investasi dari para investor.
Sebab, selain saham di BEI, produk investasi berupa surat berharga negara
yang dikeluarkan pemerintah dalam mengatasi defisit anggaran selalu menjadi
incaran dan laris manis karena menawarkan tingkat return yang pasti dan
relatif tinggi meskipun tenggat waktu investasi yang panjang.
Terlalu
dini jika merespons apa yang mengemuka dalam konteks debat capres, apalagi
KPU membatasi kewenangan moderator untuk tidak sampai mengejar lebih dalam
jawaban dari para kandidat. Maka, tidak heran jika debat yang dilaksanakan
seolah dalam istilah Jawa sebagai ”ngayahi
kewajiban” hanya menjadi rangkaian kegiatan yang mesti dilaksanakan KPU
dan diikuti para kandidat. Sebab, jawaban yang mengemuka dari para kandidat
belum tentu akan dilaksanakan, terutama karena keterbatasan kewenangan KPU
untuk menjadikan apa yang disampaikan di forum itu sebagai rujukan konseptual
arah kebijakan pemerintahan dan diakomodasi dalam lembaran negara. Dengan
demikian, tidak salah jika para kandidat memanfaatkan ajang debat itu sebagai
sarana kampanye yang diselenggarakan KPU. Meskipun demikian, itu menjadi
salah satu warna demokrasi kita dan sebagai sarana pendidikan politik bagi
rakyat.
Menelisik
lebih dalam mainstream dari para kandidat di setiap bidang agak sulit,
kecuali meneropong pemikiran para wakil yang keduanya pernah mewarnai
kebijakan ekonomi di negeri ini. Kata kunci untuk bidang ekonomi dari kedua
kandidat kurang lebih sama, yaitu komitmen pada pemerataan infrastruktur
untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.
Sayang,
belum ada pemikiran konkret dari kedua kandidat untuk mengatasi ini. Padahal,
perlu upaya ekstrem agar kondisi ini terwujud dan salah satunya adalah
mewujudkan pemindahan pusat pemerintahan (yang selalu hanya jadi wacana) dan
jangan lagi di Pulau Jawa. Pasalnya, hingga saat ini arus ekonomi dan
pergerakan manusia masih terpusat di Jawa. Padahal, prasyarat pertumbuhan
ekonomi agar sustainable adalah
ekonomi berbasis pada manusia dan bukan pada sumber daya alam, yang dapat
terwujud jika tersedia cukup modal manusia yang berkualitas. Di sisi lain,
masalah kesejahteraan sosial akan dapat terwujud jika semua memiliki peluang
yang sama untuk membangun dan hidup lebih sejahtera di mana pun berada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar