Tantangan
Kemandirian Pangan
Ali
Khomsan ; Guru Besar Departemen
Gizi Masyarakat, FEMA IPB
|
KORAN
SINDO, 26 Juni 2014
Presiden
baru di negeri ini diharapkan mampu mewujudkan kemandirian pangan karena
dengan sumber daya alam yang melimpah seharusnya kita mampu memberi makan 250
juta penduduk tanpa harus banyak mengandalkan impor.
Oleh
sebab itu, presiden baru harus mempunyai visi jangka panjang yang jelas
tentang bagaimana kita akan membangun pertanian dan sekaligus mengendalikan
impor pangan. Kemandirian pangan menurut UU No 18/2012 tentang Pangan adalah
kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari
dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai
ke tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Pangan
identik dengan pertanian. Namun sebagai negeri agraris, penyediaan pangan
bangsa kita selalu dibayangi impor berbagai komoditi pangan. Penyediaan
pangan rakyat membutuhkan kebijakan pertanian yang berpihak petani. Salah
kebijakan, maka korbannya adalah pertaruhan nasib jutaan petani. Mereka akan
semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Keberdayaan petani, daya saing produk,
dan kelestarian lingkungan adalah paradigma baru pertanian di abad ke-21.
Daya
saing produk pertanian harus selalu diperbaiki. Lembagalembaga riset
pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan setiap tahun menyerap
anggaran cukup besar jangan hanya menjadi macan kertas. Hasil riset yang
hanya ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar, tidak akan pernah
menyejahterakan petani Indonesia. Pertanian ramah lingkungan harus lebih
digalakkan. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, tetapi juga
untuk anakcucu kita di tahun-tahun mendatang. Rusaknya lingkungan berarti
hancurnya kehidupan di masa datang, dan generasi saat ini akan terus dikutuk
apabila kita tidak berusaha menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat
terhadap lingkungan.
Negara-negara
lain banyak yang hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat.
Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Tiongkok, dan Vietnam dapat berjaya
dengan produk pertaniannya, mengapa kita tidak? Amerika sebagai negara
industri maju tidak pernah meninggalkan pertaniannya, hingga kini negara
tersebut tetap menjadi eksportir pangan-pangan utama ke berbagai negara.
Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita, oleh sebab itu ciptakan
kemakmuran bangsa melalui pembangunan pertanian yang tepat.
Rendahnya
produktivitas petani kita adalah konsekuensi beragam masalah seperti
keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi,
tidak memadainya sarana produksi, pembangunan infrastruktur yang terbengkelai
dll. Pembangunan pertanian harus dirancang dan berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan petani. Perlindungan kepada petani harus ditingkatkan. Amerika
Serikat contohnya, telah mengeluarkan Agricultural
Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap
keunikan pertanian.
Demikian
pula dengan Jepang. Jadi, negara-negara maju yang mengandalkan sektor
industri, juga sangat melindungi petani dan pertaniannya. Pandangan yang
menyatakan Indonesia memerlukan t ransfor - masi yang mengubah pertanian dan
perdesaan yang “bersifat tradisional”, menjadi pertanian dan perdesaan yang
“berbudaya industri” perlu diamini. Berbudaya industri antara lain dicirikan
oleh (1) produk yang berstandar dan berkualitas, (2) tepat waktu dalam
pasokanproduk, (3) sedikit ketergantungan terhadap lingkungan dalam proses
produksi, (4) sistem permodalan yang kuat, dan (5) sistem manajemen yang
akuntabel.
Kendala-kendala
di bidang pertanian untuk meningkatkan produksi pangan sangat banyak.
Peningkatan jumlah penduduk dengan segala aktivitas ekonominya akan semakin
menyedot produk-produk pertanian. Semakin banyak penduduk semakin tinggi
kebutuhan akan beras, dan semakin sejahtera masyarakat maka tuntutan untuk
mendapatkan pangan berkualitas juga semakin meningkat. Di lain sisi, sektor
pertanian harus mengantisipasi berlanjutnya konversi lahan pertanian ke
nonpertanian serta menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan
lingkungan.
Ketersediaan
air untuk menunjang produksi pertanian semakin terbatas akibat kerusakan
hutan dan keringnya embung. Selain
itu, persoalan air berlanjut karena persaingan dengan industri dan pemukiman
serta ketidakpastian iklim. Kalau saat ini kita mencari lumbung pangan desa,
maka mungkin hanya ditemui di pemukiman Badui, Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi
dan masyarakat tradisional lainnya. Hampir setiap rumah di suku Badui dan
Kasepuhan Ciptagelar menyediakan leuit
(lumbung pangan). Di masyarakat pertanian kita keberadaan lumbung pangan desa
sudah sejak lama memudar.
Perlu
revitalisasi lumbung pangan, yang pengertiannya bukan sekedar tempat
menyimpan hasil pertanian, tetapi juga menjadi lembaga keuangan pertanian
atau penyedia input produksi pertanian. Hal ini akan bermanfaat untuk
menyingkirkan peran tengkulak atau bahkan rentenir. Sebagai negara agraris,
sering kali kita termanjakan oleh kesuburan Pulau Jawa sehingga lupa untuk
menjadikan pulau-pulau lain di luar Jawa sebagai lumbung pangan. Pengabaian
pembangunan pertanian di luar Jawa ini dapat berdampak serius manakala daya
dukung Pulau Jawa sebagai lumbung pangan semakin menurun akibat
industrialisasi yang juga terpusat di Jawa.
Besarnya
angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan
pertanian sebagai buffer
pengangguran. Di masyarakat, mata pencarian sebagai petani kadang digunakan
sebagai perlindungan dari status pengangguran. Pemikiran agar lahan-lahan
tidur segera dimanfaatkan harus menjadi program nyata presiden baruyangakandatang.
Pemindahan hak atas lahan mungkin tidak perlu dilakukan, tetapi yang lebih
penting adalah petani diberi hak garap sehingga lahan-lahan tidur.
Kita
semua menyadari keguraman petani Indonesia. Pemilikan lahan yang sangat
sempit menyulitkan mereka untuk berproduksi secara maksimal. Namun, selama
ini rasanya tidak ada langkah konkret untuk segera memperbaiki keadaan.
Petani gurem tetap saja menjadi gurem selama bertahun-tahun. Kini tiba
saatnya dilakukan perbaikan nasib petani dengan mengatur kembali pemanfaatan
lahan tidur. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran untuk mendukung
produksi pangan atau pertanian akan dapat menekan biaya pangan.
Sebenarnya
produktivitas pangan negara kita sama saja dengan negara-negara lain. Namun,
petani di negara lain menikmati sarana prasarana yang lebih baik untuk
mendukung kehidupan pertaniannya. Ini yang menyebabkan mereka dapat bertani
secara lebih efisien. Pembangunan sarana jalan, misalnya, akan sangat
membantu keancaran distribusi produkproduk pertanian. Demikian pula
pembangunan irigasi mutlak mendapat prioritas karena banyak di antaranya yang
merupakan peninggalan Belanda dan oleh sebab itu harus dilakukan perbaikan.
Petani
tidak bisa hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tidak dihormati
karena korupsi, dan pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak
mampu bersaing dengan produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri
sebagai bangsa agraris, ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang
pertanian. Kemandirian pangan mendesak untuk segera diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar