Kecakapan
Mengelola APBD
Kusfiardi
; Pengamat Ekonomi
|
KORAN
SINDO, 23 Juni 2014
Pemerintah
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota tiap tahun menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Di dalam
APBD terdapat fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi,
dan stabilisasi. Melalui APBD, pemerintah menunjukkan keberpihakannya melalui
pos penerimaan dan belanja daerah. Dua pos itu sekaligus menggambarkan juga
bagaimana pemerintah memperlakukan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat atau warganya. Sesuai asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara, gubernur bertanggung jawab selaku pengelola keuangan
daerah terhadap APBD.
Bagi
badan legislatif (DPRD), keberadaan APBD merupakan alat untuk menilai kinerja
pemerintah. Untuk memperkuat akurasi penilaian, DPRD menggunakan laporan
hasil pemeriksaan atas laporan keuangan APBD yang sudah diaudit BPK. Untuk
itulah, gubernur memiliki kewajiban menyampaikan rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa BPK, selambatlambatnya enam bulan setelah tahun
anggaran berakhir. Laporan pemeriksaan oleh BPK biasanya disertai penilaian
melalui pemberian opini.
Dalam
melakukan penilaian terhadap laporan keuangan pemerintah, BPK memberikan
opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebagai peringkat pertama. Kemudian
opini wajar dengan pengecualian (WDP) di urutan kedua. Pada peringkat ketiga
adalah tidak beropini (disclaimer).
Lalu yang keempat adalah opini tidak wajar (adverse).
Terkait
pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2013, BPK telah melakukan pemeriksaan atau
audit terhadap Laporan Keuangan APBD Tahun Anggaran 2013. Setelah menjalani
proses audit, Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK memberikan
opini wajar dengan pengecualian (WDP). Opini yang diberikan BPK tersebut
menurun dibandingkan opini WTP atas audit Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun
Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012 saat gubernur masih dijabat Fauzi Bowo.
Ramainya
berita mengenai BPK yang memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan
Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 tentu menimbulkan pertanyaan bagi banyak
orang. Tahun Anggaran 2013 merupakan tahun pertama masa jabatan Gubernur Joko
Widodo. Bagaimanakah sampai bisa keluar penilaian tersebut? Inti dari
penilaian WDP yang dikeluarkan BPK adalah ada temuan yang dianggap berpotensi
merugikan negara dalam APBD DKI Tahun Anggaran 2013.
BPK
memberikan opini WDP didasari ada temuan audit. Dalam pemeriksaan Laporan
Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013, BPK mendapati 86 temuan. Dari
jumlah temuan tersebut, BPK menemukan total kerugian yang berjumlah Rp 1,54
triliun. Dari temuan itu terdapat indikasi kerugian daerah sebesar Rp 85,36
miliar, kemudian potensi kerugian daerah sebesar Rp1,33 triliun, dan
kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp 95,01 miliar. Hasil audit BPK juga
menemukan bahwa terjadi pemborosan sebesar Rp 23,13 miliar.
Lalu
ditemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 59,23 miliar, berkaitan dengan
belanja operasional pendidikan, kegiatan penataan jalan kampung, dan biaya
pengendalian teknis kegiatan. Berdasarkan audit BPK yang memberikan opini WDP
untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun Anggaran 2013 menunjukkan ada tiga
hal penting. Pertama, kurangnya komitmen Pemprov DKI di bawah kepemimpinan
Joko Widodo atas akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD.
Kedua ,
lemahnya sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI yang dipimpin
Joko Widodo. Ketiga , meningkatnya pelanggaran kepatuhan yang bersifat
material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI di bawah kepemimpinan
Joko Widodo. Di luar temuan tersebut, kinerja penyerapan APBD DKI Tahun
Anggaran 2013 juga dinilai masih lemah dan terdapat sisa lebih penggunaan
anggaran (silpa) yang jumlahnya mencapai Rp 7 triliun.
Apabila
kita melongok kembali saat BPK memberikan predikat wajar tanpa pengecualian
(WTP) dalam audit pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta APBD Tahun Anggaran 2011, kita patut prihatin.
Mengingat
prestasi tersebut merupakan momentum dalam mendorong tercipta akuntabilitas
dan transparansi pengelolaan keuangan daerah di Provinsi DKI ibu kota negara
dan sekaligus menjadi barometer nasional. Pada saat pemeriksaan Laporan
Keuangan Tahun Anggaran 2011, BPK mengungkapkan ada 69 temuan. Temuan
tersebut antara lain terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah
sebesar Rp4,82 miliar, temuan potensi kerugian daerah sebesar Rp2,44 miliar,
dan kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp 7,02 miliar.
Atas temuan-temuan
tersebut, telah dilakukan penyetoran selama penyusunan laporan hasil
pemeriksaan masing-masing indikasi kerugian daerah sebesar Rp 2,24 miliar,
potensi kerugian sebesar Rp 2,02 miliar, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp
532,86 juta. Kemudian saat pemeriksaan Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2012,
temuan oleh BPK menurun menjadi 65 temuan yang meliputi temuan dengan
indikasi kerugian daerah Rp 11,05 miliar, temuan potensi kerugian daerah Rp 7,15
miliar, kekurangan penerimaan daerah Rp 18,52 miliar, dan temuan 3E senilai
Rp 117,82 miliar.
Hasil
audit BPK yang memberikan opini WDP untuk Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun
Anggaran 2013 membuka kenyataan bahwa Gubernur Joko Widodo kurang cakap dalam
membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah melalui APBD. Kemudian
Gubernur Joko Widodo juga kurang memberikan perhatian pada upaya membangun
sistem pengendalian internal dalam jajaran Pemprov DKI. Lalu, Gubernur Joko
Widodo juga tidak menunjukkan kemampuannya dalam mencegah terjadi pelanggaran
kepatuhan yang bersifat material dalam pelaksanaan anggaran oleh Pemprov DKI.
Kenyataan ini pertanda baik dan sekaligus memberikan panduan yang menunjukkan
arah perubahan dalam tata kelola pemerintahan yang harusnya bisa dilakukan
Gubernur Joko Widodo sebagai kepala daerah Provinsi DKI Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar