Perkembangan
Perkotaan : Kota Kreatif
Rikard
Bagun ; Pemimpin Redaksi
Harian Kompas
|
KOMPAS,
27 Juni 2014
BANYAK
kota di dunia meredup dan kehilangan pesona sebelum berkembang menjadi hunian
manusia yang layak, aman, dan nyaman. Tidak sedikit kota kehilangan gairah,
kehabisan napas, bahkan mati terimpit oleh tekanan jumlah penduduk yang hidup
berdesak-desakan, terkepung berbagai bangunan liar dan kumuh, kemacetan,
serta sampah yang berserakan.
Potret
kota yang serba suram dalam status ”setengah mati” terdapat di banyak negara,
terutama di dunia dan negara berkembang. Kehidupan kota tidak jarang
digambarkan sangat keras dan kejam dengan berbagai bentuk kejahatan dan
kesulitan hidup. Jeritan serta rintihan kemiskinan, crying poverty, terdengar
jelas di balik kantong-kantong permukiman kumuh dan liar.
Krisis
besar memang sedang melanda kota-kota di dunia yang menimbulkan keprihatinan
mendalam tentang nasib kehidupan umat manusia di masa depan. Namun, arus
balik mulai terjadi pada akhir 1970-an di Eropa, yang kemudian berkembang
menjadi gerakan global sejak 1980-an, tentang pentingnya menciptakan kota
yang aman dan nyaman, tetapi dinamis dan produktif.
Proses
pembangunan kota yang aman dan nyaman, yang semakin lazim disebut kota
kreatif, sengaja diangkat harian Kompas dalam edisi khusus ini terkait ulang
tahun ke-49 yang jatuh pada 28 Juni besok sebagai tantangan yang harus
dijawab. Pengembangan kota kreatif tidak lagi bertumpu pada pekerjaan
tangan,
opus manuale, tetapi pada pekerjaan pikiran, digerakkan oleh gagasan dan visi
yang berdaya jangkau jauh ke depan. Di luar ide dan visi, warisan budaya yang
bernilai luhur sangat diperlukan dalam pengembangan kota kreatif.
Tidak
berlebihan jika pengembangan kota kreatif dianggap pula sebagai renaisans,
melahirkan kembali kekuatan dan bakat yang dimiliki para pemangku warisan
budaya. Nilai luhur budaya yang sudah disosialisasi dan diinternalisasi dapat
diekspresikan dalam kegiatan kreatif yang berharga ekonomis.
Kekuatan ide
Seperti
gerakan perubahan apa pun, upaya menciptakan kota kreatif mungkin bermula
dari segelintir orang, bahkan dari seorang diri, tetapi mampu
mengartikulasikan tuntutan perbaikan dan perubahan. Gerakan yang bermula pada
satu orang atau segelintir orang kemudian membesar yang melibatkan para
aparatur pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis, dan masyarakat
umum. Semua merasa terpanggil untuk melakukan pembenahan terhadap kehidupan
kota.
Kota
dirancang atau ditata ulang dengan berorientasi pada penyediaan prasarana dan
sarana untuk memudahkan mobilitas manusia, barang, dan jasa tanpa harus
merusak lingkungan. Secara dialektis, kota kreatif membuat para penghuninya
juga menjadi kreatif. Hanya dalam lingkungan hunian kota yang dinamis,
bergairah, dan kreatif, warga dapat mengembangkan diri secara leluasa.
Sebaliknya,
kota yang tidak kreatif membuat penghuninya cenderung pasif, tidak mampu
beradaptasi dengan perubahan. Kegagalan beradaptasi membuat kota menjadi
korban, berkembang liar. Kota semacam ini sama sekali tidak kondusif bagi
proses pengembangan hidup yang lebih kreatif dan dinamis.
Tuntutan
pembenahan hunian perkotaan menjadi keniscayaan, lebih-lebih karena kota akan
menjadi hunian utama manusia di masa mendatang. Desa-desa akan menjadi sepi
karena ditinggal pergi para penghuninya. Pergeseran pusat hunian itu terlihat
jelas pada data PBB yang menegaskan, memasuki abad ke-21, jumlah penduduk
dunia yang hidup di perkotaan lebih banyak ketimbang di pedesaan.
Kecenderungan
itu juga terlihat di Indonesia karena penduduk kota saat ini sudah 54 persen,
sementara pedesaan 46 persen. Sudah diprediksi jumlah penduduk kota akan
mencapai 56 persen tahun depan dan jumlah itu diperkirakan terus meningkat.
Pengembangan kota kreatif menjadi keniscayaan bagi Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar