Menyelamatkan
PSK, Menghukum Mucikari
Reza
Indragiri Amriel ; Pakar Psikologi
Forensik,
Anggota World Society
of Victimology
|
KORAN
SINDO, 26 Juni 2014
Para
pekerja seks komersial (PSK) Dolly mempertanyakan komitmen pemerintah untuk
membina mereka sebelum menutup kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara
itu. Pertanyaan yang masuk akal, karena berulang kali pemerintah daerah
Surabaya memang menjanjikan akan memberikan pembekalan keterampilan agar para
PSK tersebut dapat berganti profesi.
Karena
para PSK menganggap pemerintah tidak memenuhi janji, mereka dikabarkan
menolak keras rencana penutupan Dolly. Terdapat beberapa catatan terkait
situasi di Dolly dan reaksi para PSK di sana. Pertama, saya tidak yakin bahwa
para PSK menentang agenda pemerintah Surabaya. Mayorita –setidaknya demikian–
PSK melawan rencana penutupan Dolly, lebih karena mereka diintimidasi oleh
para mucikari. Dalam kondisi terjerat dalam perangkap, para PSK tidak
memiliki pilihan kecuali mematuhi desakan mucikari- mucikari tersebut.
Kedua,
ketika kebanyakan kalangan menyoroti masalah Dolly dari perspektif moral dan
ekonomi, sangat penting sesungguhnya untuk membingkai situasi Dolly juga
sebagai situasi kejahatan. Dalam konteks sedemikian rupa, niscaya muncul
kebutuhan akan kategorisasi: siapa pelaku dan siapa korban. Yang belum
mendapat perhatian sebagaimana mestinya, oleh karena itu perlu ditegaskan,
adalah posisi sekian banyak negara yang kini menyetarakan prostitusi sebagai human trafficking.
Dengan
penyetaraan tersebut, para PSK dipandang sebagai korban, sementara para
mucikari dianggap sebagai pelaku kejahatan yang telah mengeksploitasi orang
lain sebagai mesin ekonomi mereka. Ketiga, paradigma bahwa prostitusi merupakan
human trafficking menjadi acuan
bagi –khususnya– penegak hukum untuk mengembangkan strategi penindakan baru.
Strategi ini lebih bersifat represif, dengan asumsi bahwa pendekatan
sosio-edukatif telah dijalankan terlebih dahulu.
Strategi
dimaksud adalah alih-alih melakukan penertiban secara non-diskriminatif,
otoritas hukum perlu memprioritaskan upaya penyisiran (baca: penangkapan)
terhadap para mucikari dan memproses mereka secara pidana. Apabila nantinya
divonis bersalah, patut kiranya para mucikari tidak hanya dikenai sanksi
pemidanaan berupa pemenjaraan. Mucikari-mucikari itu juga seharusnya
dikenakan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada para PSK yang telah
mereka eksploitasi. Pada sisi itu pula, saya kerap mengerutkan dahi saban
kali menyimak protes para PSK Dolly.
Mereka,
para korban mucikari, berulangkali memprotes pemerintah yang dinilai kurang
peduli. Tetapi ironisnya, tidak pernah terdengar PSK mendesak para mucikari
untuk membekali mereka dengan keterampilan agar bisa keluar dari pekerjaan
hina tersebut. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga terkait dapat berkampanye
secara masif agar para PSK berani melarikan diri dari orang-orang yang telah
memperbudak mereka. Isi kampanye itu tidak sebatas program pemberdayaan,
tetapi juga jaminan perlindungan dari teror para mucikari terhadap PSK dan
keluarga mereka.
Keempat,
beberapa kalangan melihat bahwa tidak sedikit PSK yang menunjukkan
keberpihakan pada para mucikari mereka. Perempuan-perempuan malang itu justru
melihat mucikari sebagai sosok yang memelihara dan melindungi. Seolah, tanpa
mucikari, PSK yakin hidup mereka bakal sengsara. Kompleksitas psikologis
tersebut sesungguhnya merefleksikan Stockholm
Syndrome, yakni jatuh simpatinya para korban terhadap pihak yang
sebenarnya telah memviktimisasi mereka. Keberpihakan terhadap mucikari
merupakan efek interaksi intens antara PSK dengan majikan mereka yang
sesungguhnya berlangsung secara manipulatif.
Mucikari
hadir dengan berpura-pura sebagai sosok yang peduli. Mereka, misalnya,
menyantuni kehidupan PSK maupun keluarganya, kendati uang santunan itu pada
kenyataannya berasal dari PSK sendiri. Pendekatan lainnya, keluarga PSK
diperkenankan tinggal di kawasan prostitusi, sebagai cara mucikari untuk
membatasi ruang gerak PSK. Padahal, akal sehat mengatakan apabila mucikari
benarbenar orang yang peduli maka mereka niscaya tidak akan mempekerjakan
ataupun membiarkan para PSK berkecimpung di lembah nista itu untuk waktu yang
tak pernah dipastikan kapan akan berakhir.
Apalagi
jika dilihat fakta bahwa perputaran uang dari bisnis maksiat di Dolly
mencapai angka sangat fantastis, yakni satu hingga dua miliar per malam.
Optimistis, jumlah tersebut bisa digunakan untuk mengentaskan prostitusi di
sana. Tetapi pertanyaan sederhana yang niscaya dijawab dengan gelengan
kepala: apakah PSK, selaku pekerja, menerima porsi terbesar dari omzet bisnis
human trafficking tersebut? Adalah
mucikari, bukan pihak lain, yang justru paling menikmati uang hasil jerih
payah para PSK.
Atas
dasar itu, pemisahan antara PSK dan mucikari–seperti tercantum pada poin
ketiga di atas–juga dijadikan sebagai sesisesi pendidikan guna meluruskan
kembali persepsi para PSK akan relasi manipulatif yang telah menjerat mereka.
Upaya untuk maksud tersebut bisa jadi tidak sederhana, karena distorsi
psikologis kemungkinan juga dialami sanak saudara PSK sendiri. Tak pelak,
re-edukasi perlu diperluas sasarannya, yakni para PSK dan orang-orang
terdekat yang selama ini juga telah menggantungkan kehidupan mereka pada PSK
tersebut.
Kelima,
upaya pemulangan para PSK ke kampung halaman mereka masing-masing dipastikan
tidak akan efektif apabila tempat asal tersebut tidak menjanjikan sumber
pendapatan yang baik. Penutupan Dolly, dengan demikian, sesungguhnya juga merupakan
momentum yang tepat bagi program revitalisasi desa. Pemerintah mendatang
mesti selekasnya merealisasikan program pembangunan pedesaan dengan
menggiatkan potensipotensi perekonomian setempat.
Keenam,
riuh rendah penutupan Dolly terkesan kuat abai terhadap anak-anak para PSK di
sana. Ini tidak boleh dipandang sepele! Secara normatif, sesuai amanat
Undang-Undang Perlindungan Anak, semua pihak berkewajiban mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya
kepentingan terbaik anak. Anak juga merupakan kelompok individu yang sangat
rentan tercederai akibat pekerjaan yang telah “dipilih” oleh ibu mereka.
Anak-anak PSK terpapar langsung pada sikap ambigu terhadap nilai budi
pekerti, yang tragisnya justru diperagakan oleh figur sentral yaitu orang tua
mereka sendiri.
Dan
sangat beralasan untuk waswas bahwa itu semua merupakan basis yang sama
sekali tidak ideal bagi perkembangan moral anak pada fase-fase hidup mereka
berikutnya. Jadi jelas, penutupan Dolly maupun kompleks-kompleks prostitusi
lainnya sepatutnya didesain secara terintegrasi dengan agenda perlindungan
anak. Baik anak para PSK maupun anak-anak yang berada di sekitar Dolly. Namun
disayangkan, instansi yang berkepentingan langsung dengan agenda
tersebut–utamanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia–belum terlihat mengambil
langkah nyata dan memadai guna menyelamatkan sesegera mungkin anak-anak PSK
Dolly. Ayo, selamatkan para PSK dan
borgol tangan para mucikari! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar