Survei
Abal-abal
Kadir ;
Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
TEMPO.CO,
25 Juni 2014
Sejatinya,
keberadaan sejumlah lembaga survei (politik) memberi dampak positif terhadap
perpolitikan nasional. Dengan hasil surveinya, lembaga survei dapat
menyuguhkan gambaran konstelasi politik terkini, menyajikan cita rasa
kuantitatif (statistik) dalam analisis politik, dan memprediksi hasil
pemilihan legislatif serta pemilihan presiden (pilpres) secara obyektif dan
akurat. Sayangnya, hasil survei politik yang dirilis oleh sejumlah lembaga
survei selama ini kerap menuai resistansi dan membuat publik bingung.
Resistansi
muncul karena hasil survei acap kali tidak akurat, seperti pengalaman pada
pemilu legislatif yang lalu, misalnya. Kala itu, nyaris semua lembaga survei
kompak memprediksi bahwa suara partai-partai Islam bakal anjlok. Faktanya,
total suara yang diraih partai-partai Islam justru mencapai 32 persen. Atas
dasar ini, tidak mengherankan bila Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat
Nasional Amien Rais menyebut hasil survei sejumlah lembaga abal-abal (Tempo.co, 27 Mei 2014).
Publik
juga kerap dibikin bingung karena hasil survei sejumlah lembaga acap kali
berbeda jauh, bahkan saling bertolak belakang. Padahal surveinya menyorot
tema yang sama dan dihelat pada waktu yang nyaris bersamaan. Contoh terbaru
adalah hasil survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) dan Vox Populi
Survey (VPS) mengenai elektabilitas dua pasang calon presiden-calon wakil
presiden yang dirilis belum lama ini.
Hasil
survei LSI yang dirilis pada 15 Juni lalu menyebutkan, berdasarkan hasil
wawancara terhadap 2.400 responden pada 1-9 Juni, elektabilitas pasangan
Prabowo-Hatta mencapai 38,7 persen, atau terpaut sekitar 6 persen dari
elektabilitas pasangan Jokowi-JK, yang mencapai 45,0 persen.
Sementara
itu, hasil survei yang dirilis VPS pada 20 Juni justru menyajikan potret
sebaliknya. Meski dihelat pada rentang waktu yang hampir bersamaan dengan
survei LSI, hasil wawancara terhadap sekitar 5.000 responden pada 3-15 Juni
menunjukkan bahwa elektabilitas pasangan Prabowo-Hatta mencapai 52,8 persen,
jauh mengungguli elektabilitas pasangan Jokowi-JK yang hanya sebesar 37,7
persen.
Publik
tentu bakal bertanya: mana di antara kedua hasil survei tersebut yang benar
dalam menggambarkan preferensi 190 juta pemilih? Repotnya, kedua lembaga
menjamin bahwa survei yang mereka lakukan didasarkan pada metode pemilihan
sampel yang sahih dan bisa diandalkan menurut kaidah statistik. Alhasil,
pertanyaan hasil survei mana yang benar menjadi sulit dijawab.
Memang,
hasil survei VPS bisa dibilang lebih "akurat" dibanding hasil
survei LSI. Hal ini tecermin dari batas ambang kesalahan (margin of error) yang lebih kecil dan
jumlah sampel yang lebih banyak. Namun patut dicamkan, akurasi hasil survei
juga ditentukan oleh sejumlah variabel lain.
Selain
metodologi pemilihan sampel, kuesioner yang digunakan dan jaminan kualitas (quality control) selama proses
pengumpulan data di lapangan juga mesti didalami. Sayangnya, hal yang
terakhir ini masih gelap. Siapa yang bisa menjamin pelaksanaan survei
benar-benar obyektif dan bersih dari moral
hazard?
Karena
itu, masyarakat dituntut jeli dalam menyikapi berbagai hasil survei yang
dirilis di ruang publik. Reputasi dan rekam jejak setiap lembaga survei harus
dijadikan acuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar