Pilpres
2014 : “Perang Semua Melawan Semua”
Hajriyanto
Y Thohari ; Wakil Ketua MPR RI
|
KOMPAS,
24 Juni 2014
SAYA
rasa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 ini terlalu keras. Meski
baru sebatas kekerasan kata alias verbal, diksi dan narasi yang digunakan
para pendukung capres-cawapres dalam kampanye sudah melampaui batas-batas
kepatutan dan keadaban.
Benar,
politik itu keras, tetapi ini kebablasan. Terus terang, saya saja yang
notabene politisi merasa kecut. Urat saraf dan nyali saya tidak cukup kuat
untuk mengikuti permainan ini. Orang sepertinya tidak bisa lagi membedakan
mana kritik dan mana caci maki. Oleh karena bahasa menunjukkan bangsa, maka
banyak orang risau dan bertanya-tanya: apa yang sejatinya sedang terjadi
dengan bangsa ini?
”Political opponent”
Bangsa
ini secara potensial dan embrional terbelah menjadi dua kubu yang berhadapan
secara head to head. Setiap kubu
saling menelanjangi aib dengan keras dan habis-habisan. Kampanye negatif
versus kampanye negatif, kampanye hitam versus kampanye hitam, dan fitnah
versus fitnah. Mungkin tidak terlalu dramatis jika dikatakan bahwa situasi
politik, atau lebih tepatnya suasana persaingan politik sekarang ini, meskipun
baru sebatas diksi dan narasi, adalah seperti yang digambarkan Thomas Hobbes
(filosof Inggris, 1588-1679) sebagai bellum
omnium contra omnes, ’perang semua
melawan semua’ (the war of all
against all).
Ada
fenomena di mana perbedaan dukungan kepada salah satu capres tidak diletakkan
dalam konteks kontestasi politik, tetapi permusuhan. Di negara-negara
demokrasi Barat yang sudah matang, kubu yang berbeda partai, pilihan politik,
atau capres disebut political opponent,
bukan political enemy. Fatalnya di
sini—mungkin karena tidak mengenal tradisi dragoman, meminjam penjelasan
Bernard Lewis dalam bukunya From Babel
to Dragomans (2004)—kata political
opponent tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Akhirnya, untuk
gampangnya, kata yang tersebut terakhir ini biasa diterjemahkan menjadi
’lawan politik’, atau bahkan ’musuh politik’.
Padahal,
dalam khazanah politik demokrasi yang berkeadaban tidak dikenal terminologi political enemy. Walhasil, pendukung
salah satu capres cenderung memosisikan dirinya dan—pada saat yang
sama—memandang yang liyan sebagai
musuh politik dalam arti yang sebenarnya, yang berhadapan secara head to head dan habis-habisan.
Mungkin
saja kecenderungan ini terjadi karena kampanye Pilpres 2014 memang melibatkan
kalangan yang sangat luas spektrumnya: dari ideolog sampai demagog; dari
politikus kepartaian sampai kaum profesional; dari aktivis sampai
purnawirawan jenderal; dan dari agamawan sampai kaum awam. Semuanya bercampur
aduk tidak keruan. Orang-orang yang tidak punya latar belakang politisi, yang
karena itu tidak dibesarkan dalam tradisi politik, pun terlibat secara
intensif dalam hampir seluruh medium kampanye, baik media cetak, elektronik,
online, maupun media sosial; baik sebagai tim sukses, tim relawan, maupun tim
simpatisan capres tertentu. Tidak ada lagi massa mengambang. Semua, tanpa
kecuali, terlibat dalam permainan ini.
Satu hal
yang mengejutkan, kalangan politisi dan aktivis sekalipun sepertinya tidak
mengenal adagium-adagium dalam politik santun, bahkan yang paling elementer
sekalipun. Lihat saja, tidak ada lagi ungkapan-ungkapan diplomatis dan tata
krama politik (political fatsoen)
dalam berpolemik di sana! Apalagi polemik antar-purnawirawan TNI/Polri yang
terlibat dalam tim sukses setiap kubu terus berlangsung secara sedemikian
terbuka, bahkan keras dan panas. Dalam pergumulan politik bellum omnium contra omnes ini semua
saling menyerang secara telanjang tanpa dibungkus dengan diksi dan bangunan
narasi yang berkeadaban, sebagaimana lazimnya di dunia politik.
Mereka
yang menghayati politik akan tahu betul bahwa politik itu lebih sebagai seni
(art). Politik itu sering digambarkan laksana Dewa Janus, dewa dalam mitologi
Yunani yang memiliki dua wajah: konflik
dan konsensus. Dalam politik pastilah ada konflik, bahkan ada yang
mengatakan hakikat politik adalah konflik (kekuasaan). Akan tetapi, politik
juga menyediakan mekanisme penyelesaian konflik (untuk mencapai konsensus)
yang dikemas secara berkeadaban.
Pada
masa lalu perebutan kekuasaan dan takhta dilakukan dengan peperangan yang
sarat dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Politik demokrasi memberikan
mekanisme ”perebutan takhta” secara adil, sehat, dan berkeadaban melalui
pemilihan umum. Maka, sangat ironis jika pemilihan umum yang mestinya
berkeadaban itu kembali diperlakukan menjadi laksana peperangan perebutan
takhta yang keras, kasar, dan brutal seperti masa pramodern dulu.
Kekuatan netral
Situasi
ini semakin lebih diperburuk lagi oleh fakta di mana pilar-pilar demokrasi
yang merupakan tulang punggung kekuatan masyarakat dicurigai tidak netral
secara politik.
Situasi
buruk itu faktanya pergi lebih jauh lagi: agamawan, rohaniwan, intelektual,
dan last but not least media—benar atau salah—diyakini ikut bermain atau
setidaknya diyakini berpihak baik secara eksoterik maupun esoterik. Lembaga
dan pranata yang sangat sentral dan strategis seperti agamawan dan tentara
yang semestinya netral secara politik agar tetap menjadi reservasi politik (political reservoir) yang menampung
kegalauan, kerisauan, dan keresahan publik alih-alih sudah—benar atau
salah—dicurigai menjadi partisan secara esoterik.
Berbeda
dengan orang-orang parpol yang memang harus berpihak dan partisan, kaum
agamawan atau rohaniwan jauh lebih baik bersikap netral. Mereka lebih baik
menjadi Begawan Abyasa daripada Mahashi Bhisma. Begawan Abiyasa netral dalam
Baratayudha sehingga bisa memosisikan dirinya sebagai tempat mengadu serta menjadi
sumber daya moral dan spiritual. Sebaliknya, Bhisma terlibat aktif dalam
perang di pihak Kurawa yang notabene cucunya sendiri, dan malahan menjadi
senopati ing ngalogo melawan Pandawa, yang juga cucu-cucunya sendiri pula.
Dalam
situasi seperti ini (mumpung kekerasan ini masih berada pada tingkat verbal,
diksi, dan narasi), lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan masyarakat yang
memang semestinya netral harus segera melakukan reposisi untuk segera kembali
ke jalan yang benar. Jangan semua turun gunung menjadi kesatria yang ikut
berperang untuk ikut berebut takhta.
Harus
ada kekuatan yang bertindak sebagai penyejuk suasana. Biarkanlah kampanye
pemilu dan pilpres diurus oleh politisi profesional. Bukankah pasangan capres
dan cawapres yang ada pun dimunculkan oleh partai-partai politik juga?
Wajar
dan memang sudah semestinya mereka berpihak dan melakukan pergumulan di sana,
toh semua itu memang maunya mereka. Maka, sudah sewajarnya jika mereka pula
yang harus bertanggung jawab: janganlah melibatkan pihak-pihak atau
lembaga-lembaga yang memang semestinya netral secara politik praktis.
Manis, bukan? Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar