Beragama
Minus Toleransi
Joko
Riyanto ; Koordinator Riset
Pusat Kajian dan
Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
|
SINAR
HARAPAN, 23 Juni 2014
Kebebasan
dalam menjalankan agama dan kepercayaan tampaknya masih hanya sebatas teks
dalam konstitusi, tanpa ada implementasi yang sebenarnya.
Buktinya,
Kamis (29/5) malam, jemaat kristiani Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng,
yang beribadat Rosario dalam rangka penghormatan terhadap Bunda Maria,
diserang sekelompok orang. Sejumlah jemaat dan seorang wartawan terluka
akibat dipukuli secara membabi buta.
Kemudian
pada Minggu (1/6) siang, puluhan orang merusak sebuah rumah yang biasa
digunakan sebagai tempat ibadah umat Kristen di Dusun Pangukan, Desa Tridadi,
Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DIY.
Senin,
(2/6), 16 perwakilan dari Badan Kerja Sama Antar-Gereja Cianjur, Jawa Barat
(Jabar), mengadukan pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan Pemkab
Cianjur ke Komnas HAM. Bahkan, penyerangan rumah ibadah di Dusun Pangukan,
DIY pada 1 Juni berbuntut pahit. Pendeta Nico Lomboan, pemilik rumah ibadah
tersebut, ditersangkakan polisi atas tudingan penyalahgunaan izin bangunan (Tajuk Rencana Sinar Harapan, 19/6/2014).
Peristiwa
tersebut jelas menjadi ancaman serius bagi intoleransi atas nama agama. Kita
tentu heran, kenapa bangsa yang dikenal religius dan plural masih terjadi
kekerasan bernuansa agama? Padahal, sudah sekian lama kita hidup bersama
dalam bingkai kerukunan dan gotong-royong yang menjadi budaya bangsa.
Namun,
kenyataannya masih ada saja orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya
dan melakukan kekerasan bernuansa agama atas orang atau kelompok lain.
Kondisi ini menyiratkan keberagamaan minus toleransi.
Kekerasan
bernunasa agama memberi bukti bahwa persoalan keagamaan di negeri kita masih
rapuh. Sikap toleransi hanya sebatas wacana dan sepi implementasi kerukunan
hidup bergama.
Kelompok
mayoritas masih menganggap dirinya paling benar sehingga sering terjadi penindasan,
pengekangan, dan pemaksaan kehendak terhadap kelompok minoritas. Belum lagi,
pelarangan terhadap pembangunan rumah ibadah dan menjalankan keyakinan
beragama. Negara juga belum hadir dalam memberikan jaminan keamanan dan
keselamatan.
Posisi
dan sikap negara sering ambigu terhadap persoalan kekerasan bernuansa agama.
Satu sisi negara menjamin kebebasan berkeyakinan seperti yang diamanatkan
dalam UUD 1945, Pasal 28 E ayat (2). Namun, di sisi lain, agama tidak sekadar
mengabaikan konstitusi tersebut.
Lebih
jauh lagi, dalam beberapa kasus, negara justru gagal dalam melindungi
warganya bahkan terkesan membiarkan hak-hak beragama dan berkeyakinan
dilanggar tanpa ada tindakan. Nafsu negara untuk “bersekongkol” dengan
dimensi agama sangat besar potensinya. Akibatnya, hubungan negara dan agama
menjadi sirna dan berkelit-kelindang.
Sebenarnya,
setiap agama tidak menganjurkan dan mengajarkan tentang kekerasan. Sikap
saling menghormati, menghargai, kerja sama, dan cinta kasih adalah pesan
sebenarnya yang bisa merekatkan agama-agama tersebut dalam kerukunan yang
dilandasi sikap toleransi.
Dalam
kenyataan tidak seperti itu. Pesan itu seolah hanya menjadi dogma agama yang
dikeramatkan tanpa diimplementasikan dalam kehidupan yang dapat dijalankan
dalam perbuatan dan sikap keberagamaan.
Kita
juga paham semua agama mengakui kemajemukan (pluralitas). Pluralisme adalah
pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri
atas satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama. Tuhan menciptakan manusia
berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu
dan lainnya (Ahmad Fuad Fanani, 2010).
Perlu
ditegaskan, setiap individu di negeri ini memiliki hak kemerdekaan untuk
beragama dan beribadah. Negeri ini memang harus bebas dari aksi dan tindakan
intolernasi beragama. Jangan ada lagi satu atau kelompok mana pun yang
memaksakan kehendak dan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain.
Hal ini
selaras dengan sikap toleransi dan nasionalisme yang sudah terikat sejak
bangsa ini berdiri. Semangat kebangsaan juga berarti mengedepankan saling
toleransi yang di dalamnya dilandasi kekuatan agama dan budaya yang menjadi
ruh para pendiri bangsa.
Penggabungan Motif
M Dawam
Rahardjo, dalam pengantar buku Berislam
Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama karya Irwan Masduqi
(2011), mengatakan ketidaktoleranan dalam agama bisa timbul karena terjadinya
penggabungan antara motif iman dan kekuasaan. Karena itu, sekularisme
sebenarnya memberi pintu keluar ke arah toleransi.
Sebaliknya,
persekutuan agama dan politik cenderung membawa kepada absolutisme dan kekerasan
atas nama agama.
Paradoksnya:
bukan keprofanan yang memicu kekerasan,
melainkan justru kesakralan yang memicu kekerasan. Dari wacana ini,
rakyat Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa, teks-teks keagamaan sangat
berpotensi disalahtafsirkan guna menjustifikasi kepentingan politis dan
ideologis.
Peristiwa
kekerasan dan intoleransi umat beragama sangat bertentangan dengan pluralitas
dan toleransi agama. Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk
membenarkan tindakannya.
Namun,
rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan perusakan dan penganiayaan
terhadap penganut keyakinan lain. Kebedaan (yang menjadi fitrah umat manusia)
itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan
persamaan. Dengan cara itu, kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah
maraknya individualisme yang membelenggu tiap orang.
Pengakuan
terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan
dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan), suatu prinsip yang
mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka.
Inklusivitas
menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai
kemungkinan unik, yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari
kesejahteraan spiritual dan moral. Mungkin sudah saatnya kita mengangkat
masalah pelik keagamaan kita yang mempromosikan nilai-nilai pluralisme tanpa
mendikte, sehingga masyarakat terdidik untuk semakin matang melihat
perbedaan.
Kita
juga berharap pemerintah bersama kekuatan masyarakat sipil bekerja keras
memperpendek jarak ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat.
Tak jarang konflik sosial yang memanfaatkan identitas keagamaan muncul
sebagai akibat tidak terdistribusikannya sumber daya ekonomi, sosial, dan
politik secara adil.
Ketimpangan
tersebut diperparah dengan pembelahan berbasis agama. Kita juga berharap
presiden dan aparat hukum bersikap tegas dan sungguh-sungguh menindak para
pelaku kekerasan bernuansa agama.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar