Tak
Ada Kata Terlambat untuk Trisakti
Bahrullah
Akbar ; Anggota VII BPK RI
dan Lektor Kepala di IPDN
|
SINAR
HARAPAN, 24 Juni 2014
Indonesia
akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, sekaligus
menyongsong kepemimpinan baru, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden dua periode berturut-turut.
Pada pemerintahan baru mendatang, rakyat “menitip” pesan jelas tentang
pentingnya peningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebagai
jawaban atas pesan itu, pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil
presiden (cawapres) saat ini menyodorkan visi dan misi tentang pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kedua pasang calon “mengumandangkan” visi
Trisakti yang digagas dan diperkenalkan Presiden pertama RI Soekarno (Bung
Karno), yakni mandiri dalam kehidupan politik, berdikari dalam bidang
ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.
Visi
tersebut sangat tepat. Melalui kemandirian, secara ekonomi, suatu bangsa akan
mampu mengangkat harkat dan martabat, dengan dilandasi kerja keras dan
kepercayaan diri, seraya mengurangi ketergantungan yang berlebih kepada pihak
lain. Ketergantungan akan memunculkan kemalasan dan memicu tindakan jangka
pendek yang cenderung menjerumuskan.
Namun,
meminjam pendapat Ahmad Erani Yustika (2014), visi dan gagasan kemandirian
ekonomi kerap kali terbentur problem kerakusan yang tak berujung mengalahkan
akal sehat. Mental inilah yang mengikis etos kerja keras sehingga orang makin
pragmatis dan korup. Implikasi mental pragmatis-miomik ini sangat fatal
karena menyandera kepentingan-kepentingan kolektif yang jauh lebih besar.
Dalam
konteks globalisasi, visi kemandirian bukan berarti alergi terhadap investasi
luar negeri. Penanaman modal asing (PMA) masih diperlukan untuk membantu
meningkatkan daya saing, menggenjot produktivitas, serta memicu pertumbuhan
ekonomi. Namun, kita perlu memilah, memilih, dan memastikan PMA, khususnya di
bidang pertambangan dan migas, selaras dengan acuan yang digariskan
konstitusi.
Seperti
kita pahami, saat ini PMA di bidang pertambangan dan migas masih menjadi
primadona yang menggiurkan investor asing. Berdasarkan data BKPM (2014), pada
2013 investor PMA di sektor pertambangan menyumbang sekitar 16,8 persen dari
total PMA (US$ 4,8 miliar). Sementara itu, penanaman modal dalam negeri
(PMDN) pertambangan menyumbang 14,6 persen dari total PMDN atau Rp 18,8
triliun.
Di
sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing juga masih
dominan. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kerja sama (KKKS)
non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing dan hanya 28 blok yang
dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan
perusahaan gabungan asing dan lokal.
Selain
sektor energi, kemandirian pangan Indonesia juga boleh dibilang cukup
mengkhawatirkan. Sampai 2013, kita masih mengimpor bahan-bahan pangan yang
utama, misalnya beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula
pasir, daging sapi, daging ayam, garam, singkong, dan kentang (BPS, 2013).
Fenomena impor bahan pangan ini jelas menjadi alarm bagi kita untuk
merumuskan kembali strategi kemandirian dan ketahanan pangan.
Di sisi
lain, keuangan negara kita masih terus dibebani tingginya utang luar negeri.
Bank Indonesia (2014) mencatat total utang luar negeri Indonesia per Januari
2014 mencapai US$ 269,27 miliar atau Rp 3.042,751 triliun. Selain membebani
APBN, tingginya tingkat utang juga berpotensi mengikis kemandirian politik
suatu negara sebagaimana pengakuan mantan bandit ekonomi John Perkins dalam
bukunya Confessions of an Economic Hit
Man (2004).
Gambaran
di atas sekurang-kurangnya menjadi potret bagaimana kondisi kemandirian kita.
Tentu, kita juga tidak boleh melupakan capaian-capaian yang telah dilakukan
pemerintah selama ini. Memudarnya kemandirian ekonomi dilihat dari tiga aspek
tersebut juga sekaligus menyiratkan optimisme bahwa tidak ada kata terlambat
untuk membumikan visi kemandirian ekonomi. Terlebih lagi, visi kemandirian
merupakan amanat yang dilindungi UUD 1945.
Menggerakkan
BUMN
Dalam
aras konstitusi, BUMN merupakan manifestasi riil negara dalam melakukan
pengurusan dan pengelolaan perekonomian. Sektor ini menjadi salah satu
instrumen ekonomi yang dapat digerakkan sebagai lokomotif pembangunan
nasional, menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth) serta memajukan usaha kecil dan menengah
(UMKM).
Potensi
BUMN untuk menggerakkan perekonomian nasional memang sangat besar. Menurut
Kementerian BUMN, aset perusahaan pelat merah berupa tanah dan bangunan saat
ini mencapai Rp 121 triliun dari total aktiva tetap yang mencapai Rp 690
triliun. Sementara itu, total aset BUMN bisa mencapai Rp 6.000 triliun. Jika
perusahaan negara ini dapat dikelola dengan efisien, tentu dapat menjadi
andalan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan nilai dividen.
Sebagai
catatan, setoran dividen BUMN tahun 2014 diprediksi hanya berkisar Rp 38,5
triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp 40 triliun. Nilai ini tentu
relatif kecil apabila dibandingkan nilai penyertaan modal negara (PMN) yang
besar. Selama 2007-2012, nilai PMN sekitar Rp 39,6 triliun dan pada 2012
negara menyatakan kembali modalnya dalam bentuk dana segar yang mencapai Rp
7,6 triliun. Sementara itu, bantuan pemerintah yang belum ditetapkan
statusnya (BPYBDS) di BUMN mencapai Rp 50 triliun.
Ke
depan, kita berharap aset dan potensi BUMN dapat dimanfaatkan secara maksimal
dan dikelola secara efisien dan/atau tidak boros agar memberikan nilai tambah
yang lebih bagi kemajuan ekonomi nasional. BUMN juga mengelola program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dananya diperkirakan mencapai Rp
25,75 triliun pada 2012. Dana PKBL dapat dijadikan sebagai stimulus untuk
membangkitkan geliat ekonomi kecil dan menengah (UMKM).
Di luar
itu, dalam bingkai visi kemandirian kiranya perlu dikaji ulang mengenai peran
BUMN di sektor pertambangan dan energi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
saat ini pengelolaan SDA masih didominasi investasi luar negeri.
Sangat
bijak apabila pemerintah ke depan dapat menemukan formulasi (a.l; dengan
renegosiasi) yang jitu agar cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dapat dikuasai (kembali) negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal
ini penting karena—meminjam Prof Edi Swasono (2014)—nasionalisme harus
mengutamakan kepentingan nasional tanpa harus mengabaikan tanggung jawab
global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar