Sebaran
Suara Pemilu Presiden
Saldi
Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2014
SEKALIPUN Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presi den 2014 hanya diikuti dua pasang calon, jumlah
tersebut tidak serta-merta mengakhiri perdebatan ihwal kemungkinan adanya
putaran kedua. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, sekiranya pemilu
presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasang calon, perdebatan
sekitar kemungkinan adanya putaran kedua tak relevan lagi.
Logikanya amat
sederhana, karena hanya dua pasang calon yang bertarung, salah satu di antara
mereka pasti mampu meraih suara sah lebih dari 50%.
Namun, dalam konteks hukum
positif Indonesia, batas penalaran tersebut menjadi wilayah kekhawatiran baru
karena penentuan pasangan calon yang memenangi pemilu presiden tidak hanya
berakhir dengan keterpenuhan batasan meraih suara sah lebih dari 50%. Dalam
hal ini, terdapat syarat lain, yaitu persyaratan persebaran suara minimal 20%
lebih dari setengah jumlah provinsi Indonesia. Artinya dengan menggunakan
jumlah 34 provinsi, keberhasilan pasangan calon meraih lebih dari 50% harus
diikuti pula dengan dukungan persebaran minimal 20% di lebih dari 17
provinsi.
Penalaran demikian muncul karena
memahami Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Lalu, ketentuan tersebut diikuti dengan
Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden/Wakil Presiden (UU No 42/2008) yang menyatakan pasangan calon
terpilih takan pasangan calon terpilih ialah pasangan calon yang memperoleh
suara lebih dari 50% dari jumla suara dalam pemilu presiden dan wakil
presiden dengan sedikitnya 20% suara di se tiap provinsi yang tersebar di le
bih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Pertanyaannya, benarkah syarat
sebaran suara minimal 20% tersebut harus tetap dipenuhi meski pemilu hanya
diikuti dua pasang calon? Artinya, sekiranya batasan sebaran minimal 20% di
minimal 18 provinsi tidak terpenuhi, harus dilakukan lagi pemilu putaran
kedua (second round). Tulisan ini mencoba memaparkan makna batasan sebaran
minimal 20% tersebut dalam konteks Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 dan
juga pengaturan lebih lanjut dalam 159 ayat (1) UU No 42/2008.
Empat rambu-rambu
Secara konstitusional, apabila
dibaca dan dipahami secara saksama, Pasal 6A UUD 1945 menyediakan empat
rambu-rambu pokok. Keempat rambu-rambu pokok tersebut mulai tahap pengusulan
pasangan calon sampai pada penentuan pemenang. Rambu pertama, pengusulan
pasangan calon dilakukan dalam satu paket. Jamak dipahami, ketegasan agar
diajukan dalam satu paket tidak terlepas dari posisi wakil presiden dalam
model sistem presidensial. Dalam masalah ini, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
secara eksplisit menyatakan posisi wakil presiden adalah pembantu presiden.
Dengan posisi seperti itu, rambu ini memiliki `pesan implisit' bahwa pen
gajuan satu paket ditujukan agar wakil presiden sejalan dengan presiden.
Rambu kedua, pasangan calon presiden/wakil
presiden hanya dapat diajukan partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu. Dalam posisi sebagai norma dasar, ketentuan itu memberikan batasan
bahwa semua partai politik sepan jang menjadi peserta pemilu dapat mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan pemahaman seperti itu,
menjadi tidak tepat dan tidak beralasan membatasi ruang bagi partai politik
yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu mengajukan pasangan calon.
Bahkan, kalau hendak tunduk kepada UUD 1945, rambu kedua inilah yang menjadi
semacam presidential threshold
dalam mengajukan pasangan calon. Dengan begitu, model ambang batas yang di
dalam UU No 42/2008 (sebelumnya UU No 23/2003) dapat dinilai sebagai bentuk
pengingkaran terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Rambu ketiga, penentuan pasangan
calon yang memenangi kontestasi pemilihan. Dalam hal ini, Pasal 6A ayat (3)
UUD 1945 menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan
sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Hadirnya
rambu ketiga itu tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan jumlah par tai
politik yang menjadi peserta pemilu. Dalam hal ini, sebagian pengubah UUD
1945 telah mengira bahwa sistem kepartaian majemuk (multiparty system) sulit dihindarkan.
Terakhir, rambu keempat, disebabkan
terbukanya kemungkinan hadirnya sistem kepartaian majemuk, para pengubah UUD
1945 pun telah menduga banyak partai politik potensial pula yang menghadirkan
banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Umpamanya, dengan
menggunakan jumlah partai politik peserta Pemilu Legislatif 2014, sekiranya
UU No 42/2008 tidak memuat angka ambang batas, hampir dapat dipastikan
pasangan calon akan lebih banyak. Dengan jumlah calon yang lebih banyak,
sangat mungkin sulit memenuhi batasan lebih dari 50%.
Karena itu, muncul
rambu baru bahwa pasangan calon yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua
mengikuti putaran kedua.
Sebaran suara
Dalam alur sejarah konstitusi,
ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses
perubahan UUD 1945, pengubah konstitusi tidak hanya berhenti berdebat pada
angka mini mal 50% tambah satu dalam penentuan pasangan yang menjadi
pemenang. Dalam risalah perubahan dapat dilacak, pengubah UUD 1945 juga
memikirkan masalah sebaran pendudukan yang tidak merata di Pulau Jawa dengan
di luar Pulau Jawa. Karenanya, dengan merujuk pada model pemilu presiden yang
diterapkan Nigeria, tim ahli bidang politik mengusulkan penerapan sistem
pluralitas diiringi dengan syarat perolehan suara lebih dari 50% diikuti
dengan sebaran suara lebih dari setengah jumlah provinsi.
Awalnya, perolehan lebih dari
50% suara diikuti dengan komposisi sebaran suara minimal 20% provinsi yang
tersebar di dua pertiga jumlah provinsi. Tim ahli politik beralasan
persyaratan seperti itu ditujukan agar proses pemilu dan partisipasi tidak
saja terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi juga mengharuskan setiap calon
berkampanye dan mencari dukungan dari luar Pulau Jawa. Dalam perkembangannya,
gagasan tersebut diterima fraksi-fraksi MPR dengan melakukan perubahan
terhadap jumlah persyaratan sebaran suara. Tambahan syarat dua pertiga jumlah
provinsi dikurangi menjadi hanya lebih dari setengah jumlah provinsi. Hal
itulah kemudian yang diadopsi menjadi ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.
Apabila perkembangan pemikiran
saat perubahan UUD 1945 tersebut digunakan untuk membaca Pemilu
Presiden/Wakil Presiden 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon, titik
berangkat pembahasan tidak lagi pada ranah sebaran perolehan suara. Jika
dipahami secara sistematis, dari ketentuan yang termaktub di dalam Pasal 6A
ayat (2), (3), dan (4) UUD 1945 ataupun Pasal 159 UU No 42/2008, persyaratan
sebaran peroleh an suara diletakkan pada asumsi bahwa pemilu presiden/wakil
presiden diikuti banyak pasangan calon. Namun, karena Pemilu Presiden/Wakil
Presiden 2014 hanya diikuti dua pasangan calon, syarat sebaran tak relevan
lagi. Dengan menggunakan tafsir sistematis, syarat suara 50% lebih dan
sebaran 20% di minimal sete ngah jumlah provinsi muncul karena kemungkinan
adanya calon lebih dari dua pasang.
Selain itu, bila risalah perubahan
UUD 1945 dibaca, ruang yang begitu luas untuk setiap partai politik peserta
pemilu mengajukan pasangan calon juga berujung pada soal legitimasi.
Bagaimanapun, bila menganut model pemilihan satu putaran, pasangan calon yang
banyak amat mungkin menghadirkan pasangan presiden dan wakil presiden dengan
dukungan suara pemilih di bawah 50%. Dengan menimbang legitimasi politik
suara pemilih dan sebaran suara di luar Pulau Jawa, Pasal 6A ayat (3) UUD
1945 menentukan pasangan calon presiden/wakil presiden terpilih baru dapat
dilantik jika memperoleh suara mayoritas secara absolut, yaitu lebih dari 50%
dengan sedikitnya 20% suara yang tersebut di lebih dari setengah jumlah
provinsi.
Karena itu, ketika pemilu
presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon, penentuan
pemenang tunduk pada frasa `pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak
dilantik sebagai presiden dan wakil presiden' sebagaimana termaktub dalam
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Dalam pengertian ini, persyaratan memperoleh
suara 50% lebih dan minimal meraih suara 20% lebih dari setengah jumlah
provinsi harus dimaknai sebagai jembatan menuju putaran ke dua bila
sebelumnya pemilu diikuti banyak pasang calon. Ketika pemilu hanya diikuti
dua pasang calon, jembatan tersebut tidak tepat untuk digunakan.
Dengan cara pandang seperti itu,
tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden 2014 terancam memasuki putaran kedua bila pasangan calon yang meraih
suara terbanyak tidak mampu memenuhi sebaran minimal 20% suara di 18 jumlah
provinsi. Bahkan, dengan berkaca pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009
yang diikuti tiga pasang calon, duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tak
hanya mampu meraih suara di atas 60%, tetapi juga mampu melewati sebaran
suara minimal 20% di lebih dari setengah jumlah provinsi. Artinya, secara
hukum dan merujuk pengalaman 2009, pasangan calon yang mampu meraih suara
lebih dari 50% sekaligus pasti mampu memenuhi sebaran suara 20% di lebih dari
setengah jumlah provinsi. Jadi, dengan hanya diikuti dua pasang calon, tidak
perlu khawatir dengan sebaran suara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar