Rabu, 11 Juni 2014

Sebaran Suara Pemilu Presiden

Sebaran Suara Pemilu Presiden

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA,  09 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEKALIPUN Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presi den 2014 hanya diikuti dua pasang calon, jumlah tersebut tidak serta-merta mengakhiri perdebatan ihwal kemungkinan adanya putaran kedua. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, sekiranya pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasang calon, perdebatan sekitar kemungkinan adanya putaran kedua tak relevan lagi. 

Logikanya amat sederhana, karena hanya dua pasang calon yang bertarung, salah satu di antara mereka pasti mampu meraih suara sah lebih dari 50%.
Namun, dalam konteks hukum positif Indonesia, batas penalaran tersebut menjadi wilayah kekhawatiran baru karena penentuan pasangan calon yang memenangi pemilu presiden tidak hanya berakhir dengan keterpenuhan batasan meraih suara sah lebih dari 50%. Dalam hal ini, terdapat syarat lain, yaitu persyaratan persebaran suara minimal 20% lebih dari setengah jumlah provinsi Indonesia. Artinya dengan menggunakan jumlah 34 provinsi, keberhasilan pasangan calon meraih lebih dari 50% harus diikuti pula dengan dukungan persebaran minimal 20% di lebih dari 17 provinsi.

Penalaran demikian muncul karena memahami Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Lalu, ketentuan tersebut diikuti dengan Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wakil Presiden (UU No 42/2008) yang menyatakan pasangan calon terpilih takan pasangan calon terpilih ialah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumla suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20% suara di se tiap provinsi yang tersebar di le bih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Pertanyaannya, benarkah syarat sebaran suara minimal 20% tersebut harus tetap dipenuhi meski pemilu hanya diikuti dua pasang calon? Artinya, sekiranya batasan sebaran minimal 20% di minimal 18 provinsi tidak terpenuhi, harus dilakukan lagi pemilu putaran kedua (second round). Tulisan ini mencoba memaparkan makna batasan sebaran minimal 20% tersebut dalam konteks Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 dan juga pengaturan lebih lanjut dalam 159 ayat (1) UU No 42/2008.

Empat rambu-rambu

Secara konstitusional, apabila dibaca dan dipahami secara saksama, Pasal 6A UUD 1945 menyediakan empat rambu-rambu pokok. Keempat rambu-rambu pokok tersebut mulai tahap pengusulan pasangan calon sampai pada penentuan pemenang. Rambu pertama, pengusulan pasangan calon dilakukan dalam satu paket. Jamak dipahami, ketegasan agar diajukan dalam satu paket tidak terlepas dari posisi wakil presiden dalam model sistem presidensial. Dalam masalah ini, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan posisi wakil presiden adalah pembantu presiden. Dengan posisi seperti itu, rambu ini memiliki `pesan implisit' bahwa pen gajuan satu paket ditujukan agar wakil presiden sejalan dengan presiden.

Rambu kedua, pasangan calon presiden/wakil presiden hanya dapat diajukan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dalam posisi sebagai norma dasar, ketentuan itu memberikan batasan bahwa semua partai politik sepan jang menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan pemahaman seperti itu, menjadi tidak tepat dan tidak beralasan membatasi ruang bagi partai politik yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu mengajukan pasangan calon. Bahkan, kalau hendak tunduk kepada UUD 1945, rambu kedua inilah yang menjadi semacam presidential threshold dalam mengajukan pasangan calon. Dengan begitu, model ambang batas yang di dalam UU No 42/2008 (sebelumnya UU No 23/2003) dapat dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Rambu ketiga, penentuan pasangan calon yang memenangi kontestasi pemilihan. Dalam hal ini, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Hadirnya rambu ketiga itu tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan jumlah par tai politik yang menjadi peserta pemilu. Dalam hal ini, sebagian pengubah UUD 1945 telah mengira bahwa sistem kepartaian majemuk (multiparty system) sulit dihindarkan.

Terakhir, rambu keempat, disebabkan terbukanya kemungkinan hadirnya sistem kepartaian majemuk, para pengubah UUD 1945 pun telah menduga banyak partai politik potensial pula yang menghadirkan banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Umpamanya, dengan menggunakan jumlah partai politik peserta Pemilu Legislatif 2014, sekiranya UU No 42/2008 tidak memuat angka ambang batas, hampir dapat dipastikan pasangan calon akan lebih banyak. Dengan jumlah calon yang lebih banyak, sangat mungkin sulit memenuhi batasan lebih dari 50%. 
Karena itu, muncul rambu baru bahwa pasangan calon yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengikuti putaran kedua.

Sebaran suara

Dalam alur sejarah konstitusi, ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses perubahan UUD 1945, pengubah konstitusi tidak hanya berhenti berdebat pada angka mini mal 50% tambah satu dalam penentuan pasangan yang menjadi pemenang. Dalam risalah perubahan dapat dilacak, pengubah UUD 1945 juga memikirkan masalah sebaran pendudukan yang tidak merata di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Karenanya, dengan merujuk pada model pemilu presiden yang diterapkan Nigeria, tim ahli bidang politik mengusulkan penerapan sistem pluralitas diiringi dengan syarat perolehan suara lebih dari 50% diikuti dengan sebaran suara lebih dari setengah jumlah provinsi.

Awalnya, perolehan lebih dari 50% suara diikuti dengan komposisi sebaran suara minimal 20% provinsi yang tersebar di dua pertiga jumlah provinsi. Tim ahli politik beralasan persyaratan seperti itu ditujukan agar proses pemilu dan partisipasi tidak saja terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi juga mengharuskan setiap calon berkampanye dan mencari dukungan dari luar Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, gagasan tersebut diterima fraksi-fraksi MPR dengan melakukan perubahan terhadap jumlah persyaratan sebaran suara. Tambahan syarat dua pertiga jumlah provinsi dikurangi menjadi hanya lebih dari setengah jumlah provinsi. Hal itulah kemudian yang diadopsi menjadi ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Apabila perkembangan pemikiran saat perubahan UUD 1945 tersebut digunakan untuk membaca Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon, titik berangkat pembahasan tidak lagi pada ranah sebaran perolehan suara. Jika dipahami secara sistematis, dari ketentuan yang termaktub di dalam Pasal 6A ayat (2), (3), dan (4) UUD 1945 ataupun Pasal 159 UU No 42/2008, persyaratan sebaran peroleh an suara diletakkan pada asumsi bahwa pemilu presiden/wakil presiden diikuti banyak pasangan calon. Namun, karena Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2014 hanya diikuti dua pasangan calon, syarat sebaran tak relevan lagi. Dengan menggunakan tafsir sistematis, syarat suara 50% lebih dan sebaran 20% di minimal sete ngah jumlah provinsi muncul karena kemungkinan adanya calon lebih dari dua pasang.

Selain itu, bila risalah perubahan UUD 1945 dibaca, ruang yang begitu luas untuk setiap partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon juga berujung pada soal legitimasi. Bagaimanapun, bila menganut model pemilihan satu putaran, pasangan calon yang banyak amat mungkin menghadirkan pasangan presiden dan wakil presiden dengan dukungan suara pemilih di bawah 50%. Dengan menimbang legitimasi politik suara pemilih dan sebaran suara di luar Pulau Jawa, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menentukan pasangan calon presiden/wakil presiden terpilih baru dapat dilantik jika memperoleh suara mayoritas secara absolut, yaitu lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara yang tersebut di lebih dari setengah jumlah provinsi.

Karena itu, ketika pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon, penentuan pemenang tunduk pada frasa `pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden' sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Dalam pengertian ini, persyaratan memperoleh suara 50% lebih dan minimal meraih suara 20% lebih dari setengah jumlah provinsi harus dimaknai sebagai jembatan menuju putaran ke dua bila sebelumnya pemilu diikuti banyak pasang calon. Ketika pemilu hanya diikuti dua pasang calon, jembatan tersebut tidak tepat untuk digunakan.

Dengan cara pandang seperti itu, tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 terancam memasuki putaran kedua bila pasangan calon yang meraih suara terbanyak tidak mampu memenuhi sebaran minimal 20% suara di 18 jumlah provinsi. Bahkan, dengan berkaca pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 yang diikuti tiga pasang calon, duet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tak hanya mampu meraih suara di atas 60%, tetapi juga mampu melewati sebaran suara minimal 20% di lebih dari setengah jumlah provinsi. Artinya, secara hukum dan merujuk pengalaman 2009, pasangan calon yang mampu meraih suara lebih dari 50% sekaligus pasti mampu memenuhi sebaran suara 20% di lebih dari setengah jumlah provinsi. Jadi, dengan hanya diikuti dua pasang calon, tidak perlu khawatir dengan sebaran suara!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar