Menakar
Masa Depan Laut China Selatan
Inggar
Saputra ; Mahasiswa Magister
Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
|
OKEZONENEWS,
23 Juni 2014
Carlyle
A Thayer (Profesor emeritus Australian
Defence Force Academy) pernah mengingatkan adanya tiga faktor yang akan
mempengaruhi dinamika politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan
Timur. Pertama, bertambahnya ketegangan dalam hubungan China-AS. Kedua,
meningkatnya kembali keterlibatan AS di Asia Timur. ketiga, adanya
peningkatan agresifitas China di Laut China Selatan. Ketiga faktor ini
merupakan ujian yang serius bagi ketahanan regional ASEAN yang telah
memproklamasikan diri sebagai kekuatan pendorong utama (primary driving force) dalam penyelesaian isu-isu regional di
kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Analisis
Carlyle terbukti tepat, sebab persoalan Laut China Selatan sampai sekarang
masih menjadi salah satu flash point
yang berdampak kepada ketahanan regional di kawasan Asia Tenggara. Ini
disebabkan perairan tersebut menjadi titik tolak yang diperebutkan beberapa
negara seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia.
Sengketa bertolak belakang dari adanya klaim wilayah, perebutan sumber daya
alam dan kebebasan bernavigasi. Repotnya, konflik juga melibatkan negara
besar seperti Amerika Serikat dan Jepang yang ingin menanamkan dan memperkuat
pengaruhnya dalam menguasai wilayah strategis ini.
Gesekan
kepentingan antarnegara dalam perkara Laut China Selatan memang tidak dapat
diremehkan. Filipina misalnya mengajukan sengketa ke Pengadilan Internasional
PBB untuk Hukum Kelautan untuk menghentikan kapal China yang memasuki Zone
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina. Kondisi semakin panas akibat provokasi China
membentuk Zona Identifikasi Ketahanan Udara (ADIZ/Air Defense Identification Zone) yang berlaku sejak 1 Januari
2014. Dengan diberlakukan ADIZ, China mengharuskan setiap pesawat yang akan
melintas di ADIZ melaporkan rencana penerbangan, menyebutkan asal negara dan
mempertahankan komunikasi udara. Jika melanggar, China mengancam akan
mengambil langkah defensif darurat Adanya ADIZ China dikecam keras Filipina
dan membuat Jepang memperketat pengamanan wilayahnya dengan bersiap membangun
pangkalan Angkatan Darat pada 2016 di Senkaku.
Akar Masalah
Dalam
perkembangan terakhir, sengketa Laut China Selatan mengusik Amerika Serikat
dan negara-negara di ASEAN khususnya yang masuk negara pengklaim. Mereka
menilai China berusaha merusak stabilitas kawasan dengan membuat manuver
politik dan militer. Sikap Amerika Serikat terlihat pada Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense
yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 5 Januari 2012.
Dalam penjelasannya, Obama menekankan prioritas utama pertahanan Amerika
Serikat adalah mulai adanya pemusatan kembali sumberdaya nasionalnya ke Laut
China Selatan. Beberapa implementasi kebijakan yakni tidak adanya pemotongan
anggaran pertahanan yang berkaitan dengan kawasan Pasifik dan peningkatan
kehadiran militer Amerika Serikat di Australia. Ini dilakukan untuk mencegah
kebangkitan militer China yang berpotensi mengganggu dominasi Amerika Serikat
di kawasan tersebut.
Dalam
analisisnya Budi Susilo Supandji (2012) mengingatkan secara umum sengketa
Laut China Selatan disebabkan tiga persoalan fudamental yang saling berkaitan
satu sama lain. Pertama, perbedaan kepentingan politik di mana setiap negara
memiliki kepentingan nasional dalam menjaga keamanan dan stabilitas Laut
China Selatan. Negara yang tergabung dalam ASEAN memandang manuver China
terkait pemberlakuan ADIZ berdampak buruk sebab dapat memancing “keributan baru” di tengah upaya
mendorong kondusifitas di wilayah sengketa. Secara politik, sikap China akan
menjepit negara ASEAN dalam pertarungan kepentingan kekuatan besar di Laut China
Selatan seperti China dan Amerika Serikat. Apalagi belakangan muncul reaksi
penolakan kebijakan ADIZ dari Korea Selatan dan Jepang sehingga memperburuk situasi yang ada.
Kedua,
munculnya perebutan potensi sumber daya ekonomi yang terkandung di Laut China
Selatan. Seperti diketahui, Laut China Selatan mengandung 25 meter kubik gas
alam dan potensi nilai perdagangan yang besar di mana mencapai USD5,3 triliun
Perebutan sumber daya ekonomi itu mendorong setiap negara mempertahankan
kepulauan dan wilayah lautnya. Misalnya Kabupaten Natuna, salah satu kawasan
Indonesia yang berdekatan dengan Laut China Selatan ini menyimpan gas bumi
yang berdampak kepada devisa negara. Jika sengketa berujung perang
antarnegara, pendapatan negara ASEAN termasuk Indonesia dari ladang gas bumi
akan terganggu. Selain itu. peningkatan eskalasi juga akan menambah beban
biaya kapal akibat perubahan rute navigasi dalam pelayaran menuju Asia Timur.
Ketiga,
perang psikologis akibat perlombaan persenjataan dan kekuatan militer. Dalam
merespons sengketa ini, setiap negara ASEAN dituntut memperkuat postur
pertahanan dan keamanan sehingga kepentingan nasionalnya dapat terjamin. Saat
ini Vietnam terus meningkatkan pertahanannya dengan membeli senjata dari
Israel, Republik Ceko dan Kanada serta enam kapal selam kelas Kilo dari
Rusia. Sementara Angkatan Laut Filipina mendapatkan bantuan dua fregat eks
cutter US Coast Guard kelas Hamilton dari Amerika Serikat, dua helikopter
anti kapal selam, tiga kapal cepat patroli pantai dan delapan kendaraan serbu
amfibi hingga 2017. Modernisasi kekuatan pertahanan menjadi titik perhatian
strategis masing-masing negara dalam
upaya mengamankan kepentingannya masing-masing di perairan tersebut.
Ketahanan
regional ASEAN adalah kunci strategis dalam menyelesaikan persoalan pelik
yang terjadi di Laut China Selatan. Kondisi ini selayaknya dimanfaatkan ASEAN
untuk mendesak China menghentikan manuver militernya sehingga tidak
menimbulkan gejolak terhadap negara di sekitarnya. Selain itu, negara ASEAN
dapat terus mendorong dan menekankan bahwa dialog yang intensif harus terus
dijalankan sehingga arogansi negara besar seperti China dan Amerika Serikat
dapat diturunkan. Sebab arogansi yang dijiwai semangat saling curiga dan
persaingan tidak sehat hanya menimbulkan benih konfrontasi yang mengancam
stabilitas kawasan dan mengganggu perdamaian dunia.
Adapun
perbedaan pandangan mengenai kedaulatan yang berdampak kepada keamanan
maritim sepantasnya diselesaikan secara damai dan menghindarkan eskalasi
sengketa menjadi konflik. Untuk itu, setiap negara pengklaim maupun negara
ASEAN lainnya jangan terus menebarkan provokasi yang berujung kepada
ketegangan yang mendalam. Jika masalah maritim tak dapat diselesaikan, setiap
negara harus mengupayakan upaya bilateral untuk mencapai titik temu. Jika
gagal maka berhak mengajukan sengketanya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai solusi akhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar