Mewujudkan
Indonesia Terang
Faisal
Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
PADA
2001, konsumsi listrik per kapita Indonesia masih di atas India dan Vietnam.
Sepuluh tahun kemudian, kedua negara itu sudah menyusul Indonesia. Selama
periode 2001-2011, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia hanya naik 1,6
kali atau 63,5 persen, sedangkan di India naik 1,7 kali atau 74,5 persen dan
di Vietnam naik 3,2 kali lipat atau 220 persen.
Dengan
konsumsi listrik per kapita 680 kWh per tahun, pasti kita kekurangan tenaga
penggerak perekonomian. Bandingkan dengan Thailand yang konsumsi listrik per
kapitanya 3,4 kali lipat Indonesia, Tiongkok 4,8 kali lipat, dan Malaysia 6,2
kali lipat.
Konsumsi
listrik yang rendah bukan karena masyarakat dan dunia usaha tidak butuh atau
tak mampu membeli, melainkan karena pasokannya tersendat. Cakupan rumah
tangga berlistrik (electrification
ratio) yang terus naik dan mencapai 80 persen bukan ukuran kecukupan
listrik. Sekalipun sudah 100 persen, bisa saja kondisi kelistrikan kian parah
karena peningkatan permintaan dari semua kelompok pelanggan lebih cepat
daripada tambahan kapasitas pembangkit.
Buktinya,
pemakaian listrik beban puncak mendekati titik kritis. Di Jawa-Bali,
misalnya, beban puncak listrik tertinggi pekan lalu mencapai 84 persen
kapasitas. Kalau ada pemeliharaan pembangkit secara berkala, situasinya sudah
amat kritis. Ditambah lagi kalau terjadi kerusakan, niscaya bakal kerap
terjadi pemadaman bergilir.
Kondisi
di luar Jawa-Bali sudah lama kritis. Tahun 2009, seluruh sistem kelistrikan
luar Jawa-Bali defisit. Hanya dua dari 24 sistem berstatus normal, yaitu
sistem Batam dan Bontang. Delapan status masuk kategori defisit, yang berarti
beban puncak melebihi daya mampu atau cadangan operasi, dan 14 lainnya dalam
status siaga (beban puncak lebih besar daripada cadangan operasi).
Selama
lima tahun terakhir, kondisi kelistrikan nasional justru kian memburuk.
Hampir semua proyek pembangkit tersendat, bahkan beberapa belum memulai
pembangunan fisik, seperti pembangkit Asahan dan Batang. Hampir semua proyek
pembangkit listrik geotermal tersendat. Demikian pula proyek pembangunan
transmisi.
Permohonan
izin pembangkit Asahan diajukan 2004, tetapi baru keluar izin gubernur pada
2012. Sampai kini izin lokasi belum dikeluarkan Kementerian Kehutanan.
Membangun transmisi di kawasan hutan diperlakukan sama dengan eksploitasi di
kawasan hutan, sama-sama butuh 504 hari. Lebih pelik lagi untuk pembangkit
geotermal.
Tak
kalah ironis adalah pembangkit Tambak Lorok. Pembangkit sudah selesai dan
pasokan gas siap, tetapi tidak dioperasikan karena pembangunan pipa gas dari
ladang Kepodang ke pembangkit tak kunjung dimulai. Berdasarkan audit BPK,
potensi kerugian negara lebih dari Rp 2 triliun per tahun. Semoga proyek pipa
bisa terwujud setelah beralih dari Kelompok Bakrie ke Perusahaan Gas Negara.
Jelas
kiranya, tambahan pasokan listrik tersendat karena proyek kelistrikan sarat
digelayuti kelompok kepentingan dan para pemburu rente. Titik terlemah adalah
koordinasi karena ternyata kelistrikan berurusan dengan banyak instansi. Di
tingkat pusat, penghambat utama adalah Kementerian ESDM dan Kementerian
Kehutanan.
Tanpa
membereskan karut-marut kelistrikan yang sudah berlangsung cukup lama, jangan
dulu bermimpi perekonomian tumbuh dua digit. Pertumbuhan ekonomi 7 persen
saja sudah membuat penyediaan listrik tergopoh-gopoh karena produksi listrik
harus naik setidaknya 8,5 persen. Untuk memenuhinya, perlu tambahan pembangkit
5.000 megawatt setiap tahun dengan kebutuhan dana sekitar 12 miliar dollar
AS. PLN hanya mampu menghimpun 5 miliar dollar AS. Itu pun sebagian besar
dari utang.
Jika
utang PLN bertambah, apalagi kalau rupiah terus melemah, ongkos memproduksi
listrik naik. Akibatnya, tekanan kenaikan harga listrik tak henti-henti atau
subsidi terus membesar. Jika swasta diberi porsi lebih besar, tentu PLN harus
membeli lebih mahal. Bertambah pula tekanan kenaikan harga.
Langkah
yang lebih realistis adalah dengan memaksimalkan peran PLN. Kalau selama enam
tahun terakhir pemerintah mampu mengalokasikan dana subsidi listrik lebih
dari Rp 500 triliun, mengapa pemerintah tidak mengalokasikan setidaknya
separuh saja untuk mempercepat PLN membangun pembangkit baru. Dengan begitu,
beban bunga tidak naik, tak ada risiko kenaikan nilai tukar, dan menekan
ongkos pengadaan listrik.
Tentu
saja percepatan pembangunan pembangkit listrik geotermal sangat mendesak.
Jangan sia-siakan cadangan panas bumi kita yang sekitar 60 persen cadangan
panas bumi dunia. Apa pun rintangan yang sangat di luar akal sehat sepatutnya
segera dienyahkan.
Kita
berharap banyak pemerintahan baru segera menyingkirkan para pemburu rente.
Presiden baru harus cepat memutuskan jika terjadi perbedaan pandangan di
antara para pembantunya. Pemimpin yang tanpa beban dan tidak dikelilingi para
pemburu rente tentu bisa mewujudkan Indonesia terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar