Ketika
Pendidikan Jadi Isu Pilpres
Sudaryanto
; Dosen FKIP
UAD;
Pengajar Tamu di
Guangxi University for Nationalities, Nanning, Tiongkok
|
HALUAN,
23 Juni 2014
Dua
pasangan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, menjadikan bidang
pendidikan sebagai isu dalam kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) kali
ini. Dua isu pendidikan yang mereka
janjikan apabila terpilih nanti, yaitu (1) isu mewajibkan sarjana untuk
mengabdi di daerah miskin dan tertinggal, dan (2) isu penghapusan sistem
pendidikan, salah satunya ialah pelaksanaan Ujian Nasional (UN).
Pertanyaannya kini, seberapa penting isu-isu tersebut bagi kita?
Pertama,
isu mewajibkan sarjana untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal. Isu
ini, hemat saya, sejalan dengan program Kemdikbud saat ini, yaitu Sarjana Mendidik
di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Hingga 2014 ini, program
SM-3T telah berjalan selama dua periode, dan dinilai cukup mendapat respons
yang baik dari para lulusan LPTK, kendati pun perlu diberikan sejumlah
catatan penting di dalamnya.
Pertama,
program SM-3T hanya mewajibkan para lulusan LPTK mengajar dalam setahun,
padahal kebutuhan guru di daerah-daerah yang tergolong “3T” (Terdepan, Terluar,
dan Tertinggal) sangat mendesak. Kedua, program SM-3T perlu disinergikan
dengan pemerintah daerah, terutama dalam mengatasi masalah ketidakmerataan
jumlah guru di daerah “3T”. Tak ada salahnya jika pemerintah daerah
mem-PNS-kan para peserta SM-3T untuk daerahnya masing-masing.
SM-3T vs Budaya Mutasi
Program
SM-3T, hemat saya, perlu dilanjutkan oleh pemerintahan mendatang. Pasalnya,
program tersebut menjadi “antitesis” dari budaya mutasi yang selama ini ada.
Saya mengenal beberapa teman yang kebetulan menjadi PNS di luar Pulau Jawa.
Usai lima tahun mengabdi di daerah, lantas mereka mengajukan mutasi untuk
kembali ke daerahnya. Fenomena ini, jujur saja, cukup membikin saya
geleng-geleng kepala.
“Aneh
bin heran”. Dikatakan “aneh”, karena pemerintah daerah ternyata mengizinkan
terjadinya mutasi ke Pulau Jawa, padahal kebutuhan guru di daerahnya tentu
akan minus. Dan dikatakan “heran”, karena teman-teman saya yang kebetulan
menjadi PNS tidak mempertimbangkan persoalan minus jumlah guru di daerah. Mereka
hanya berprinsip “saya datang, saya menang, saya pulang”. Sayangnya,
pemerintah pusat tidak menghiraukan persoalan itu.
Untuk
itu, ada beberapa saran yang disampaikan di sini. Pertama, pemerintah pusat
yang membuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2014 ini harus meninjau
ulang syarat penugasan di daerah (perlu bermaterai Rp 6.000). Apabila ada
seseorang yang diterima dan ditugaskan sebagai PNS di daerah luar Pulau Jawa,
dirinya harus mengabdi hingga masa pensiun tiba. Jika tidak, dirinya wajib
dikenai sanksi berupa pemecatan dan denda.
Tak
seperti saat ini, seorang PNS guru atau peneliti bahasa, setelah ia bekerja
lima tahun di daerah, tiba-tiba ia minta mutasi ke daerah asalnya. Lebih aneh
lagi, pemerintah pusat (kementerian) dan daerah mengabulkan permintaannya
itu. Bukan apa-apa, jika fenomena ini dibiarkan begitu saja, lantas kapan
bisa terwujud distribusi jumlah guru yang merata? Kemudian, kapan pula bisa
tercipta pendidikan di daerah yang berkualitas sama seperti di Pulau Jawa?
Kedua,
pemerintah pusat dan daerah dapat mempertimbangkan usulan mutasi apabila
pemohon (baca: PNS guru atau peneliti bahasa) memiliki kinerja dan prestasi
yang baik, selain juga masa pengabdian yang “memadai”. Lima tahun bekerja di
daerah, saya kira, belum pantas disebut masa pengabdian yang memadai. Paling
tidak, masa pengabdian selama 20-30 tahun barulah layak mengajukan usulan
mutasi ke daerah, atau mendekati usia pensiun.
Pengalaman
sahabat saya, Pak Sutrisno, layak dituangkan di sini. Dia bekerja sebagai
guru PNS di SMPN 1 Tepus, Gunungkidul, sejak 1988. Rumahnya terletak di
daerah Kaliurang, Sleman. Jarak dari rumah ke sekolah sangat jauh; naik dan
turun gunung dijalaninya setiap hari. Baru 2012, usulan mutasinya disetujui,
mengingat usianya yang memasuki usia kepala lima. Dia pun memiliki prestasi
yang gemilang, antara lain, Guru Berprestasi Nasional 2011.
Menghapus UN?
Di
lembar kolom ini (Haluan, 25/1/2014)
saya pernah mengemukakan, 2014 merupakan era berakhirnya kebijakan UN.
Buktinya, tahun ini UN tingkat SD/MI ditiadakan atau dihapus. Tapi, UN
tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA tetap dilaksanakan. Hemat saya, di tangan
pemerintah mendatang, entah akan dipimpin oleh Prabowo atau Jokowi, UN
tingkat SMP/MTs dan SMA/SMK/MA perlu dihapus atau ditinjau ulang
keberadaannya karena beberapa hal.
Pertama,
UN mengacaukan orientasi dan gaya mengajar guru di kelas. Guru yang
semestinya mengajar dengan penuh inovasi dan kreativitas di kelas, akhirnya
pada kelas penghujung (baca: kelas IX SMP/MTs dan XII SMA/SMK/MA) hanya
berperan sebagai pembuat dan penjawab soal-soal UN. Akibatnya pula, gaya
mengajar guru tidak lagi kreatif, tapi “kereatif” alias miskin kreativitas.
Coba Anda bandingkan antara guru kelas X dan kelas XII, pasti ada perbedaan
besar.
Kedua, UN
mengajarkan budaya instan kepada para siswa, khususnya dalam hal belajar dan
beribadah. Sebelum pelaksanaan UN, para siswa begitu sering belajar, membaca
buku, bertanya kepada guru, dan pergi ke perpustakaan. Pun mereka pergi ke
masjid untuk salat Dhuha, berdoa, dll. Usai UN, usai pula semangat belajar
dan beribadah mereka. Ada atau tiada ujian, semestinya para siswa tetap
belajar, membaca buku, bertanya kepada guru, salat Dhuha, dst.
Ketiga,
melalui UN, pemerintah telah merampas hak evaluasi yang dimiliki oleh para
guru. Pemerintah membuat soal UN Bahasa Indonesia yang berjumlah 50 butir,
dengan 20 tipe (A, B, C, dst). Siswa harus menjawab kesemua soal itu,
terlepas dari ia mampu atau tidak dalam hal kompetensi bahasa dan sastra
Indonesia. Sementara itu, seorang guru Bahasa Indonesia justru lebih memahami
siswanya yang betul-betul mampu atau tidak sama sekali.
Untuk
itu, sekali lagi, tak ada salahnya jika kebijakan UN di tingkat SMP/MTs dan
SMA/SMK/MA dihapus atau ditinjau ulang oleh pemerintah mendatang. Apabila
ujian tetap ada, maka pemerintah perlu meminta masukan dari seluruh pihak.
Mulai dari ahli evaluasi pendidikan, psikologi pendidikan, guru, orangtua,
sampai tokoh masyarakat. Yang terpenting ialah, ujian itu memiliki kredibilitas
dan tetap sejalan dengan visi-misi pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar