Politik
dan Literasi
Setyaningsih ;
Penulis, Tinggal di Solo, Bergiat di Bilik Literasi Solo
|
JAWA
POS, 25 Juni 2014
POLITIK
bukan sekadar kata-kata berisik atau suatu keberadaan yang meledak-ledak.
Politik juga membutuhkan lirih yang terkadang harus ditemui dalam
lembar-lembar agenda berliterasi. Membaca dan menulis menjadi jalan
membagikan keraguan serta gugatan. Hidup dengan tanda tanya menjadi bekal
melakukan penjelajahan menuju kebenaran. Politik yang terkadang brutal dan
menghadapkan nasib di tahanan bisa teredam oleh pembiasaan olah pikir dan
rasa.
Laku
berpolitik dan berliterasi pernah dijalani Soekarno, meski dalam derita
tahanan. Saat itu Soekarno mengalami masa pembuangan di Flores. Dalam buku
Soekarno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) garapan Cindy Adams,
Soekarno mengatakan, ’’Di samping kekosongan kerdja, kesepian dan ketiadaan
kawan aku djuga menderita suasana tertekan jang hebat sekali. Flores adalah
puntjak penganiajaan pada hari-hari pertama itu.’’
Soekarno
menghendaki terang dengan mulai menulis cerita sandiwara sebagai pengisi
kekosongan. Dua belas drama selesai mulai 1934 hingga 1938. Soekarno membuat
perkumpulan Sandiwara Kelimutu. Hanya ada satu naskah dan dibacakan Soekarno
secara sukarela pada setiap peran dan pemain. Naskah itu terucap
berulang-ulang. Literasi menjadi penghibur kolektif.
Pada
1935, Sjahrir pun masih berliterasi di pembuangannya di Tanah Merah, Boven
Digoel. Burhanuddin, kawan Sjahrir, merekam ingatan dalam tulisan yang
dihimpun dalam buku Mengenang Sjahrir (2010). Ketika tidak berkumpul dengan
kawan-kawan, Sjahrir mengisi waktu dengan membaca dan menulis. Hatta menjadi
penyedia buku dan bacaan. Pewarta Deli serta Suara Umum yang dikirim dari
Medan dan Surabaya menjadi jalan mengetahui berita di tanah air dan luar
negeri. Tanah Merah menjadi tanah melimpah kata-kata. Tulisan mampu
menghidupkan waktu.
Sebulan
sekali Sjahrir melanjutkan kebiasaan menulis surat ke negeri Belanda.
Kebiasaan itu dilakukannya sejak memimpin PNI di Bandung dan selama menjadi
tahanan di Cipinang. Surat-surat tersebut akhirnya menjadi buku Indonesische
Overpeinzinger atas inisiatif adiknya, Sjahsam, dan kawan-kawan di negeri
Belanda. Burhanuddin mengenang, ’’Semasa di Digoel, Sjahrir juga suka
membacakan beberapa bagian surat-suratnya yang bersangkutan dengan politik
dan umum pada saya, mungkin ia ingin agar saya gunakan sebagai penambah
pengetahuan.’’
Etos
Masa-masa
berliterasi yang heroik juga dialami Tan Malaka. Dia bergerak bersama kata
dalam penyamaran, pelarian, pengejaran, dan kemiskinan. Krisis ruang sering
dialami Tan, tapi dia tidak mau gagal membawa kata di dalam tubuh. Kita bisa
membaca kesaksian Tan dalam buku Dari Pendjara ke Pendjara (jilid II). Buku
itu menjadi dokumentasi peristiwa Tan bertualang, berpolitik, dan
berliterasi. Harapan dan keinginan membaca serta menulis itu tetap dilakoni
dalam kondisi serba berbahaya.
Ada masa
ketika Tan menyewa tempat singgah di Rawajati, Kalibata, Jakarta. Dia
menjalani hidup murah. Tidak kurang dari tiga kali dalam seminggu, Tan pergi
ke perpustakaan (Museum Nasional) di Jakarta untuk membaca buku-buku dan
surat kabar. Setelah melihat keadaan kota, dia akan kembali ke tempat sewaan.
Tan adalah risalah pertaruhan nasib tiada akhir. Tan mengatakan, ’’Demikianlah saja pertukarkan menulis dan
membatja, bekerdja dan berdjalan, bertjakap2 dan merenungkan pertjakapan itu
lebih dari pada setahun lamanja ditengah2 masjarakat jang bergelora…’’
Dalam
pembukaan buku Madilog, Tan berkata, ’’Ringkasnya
walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai
dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia, atau dalam tebat di
muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah
artinya itu saya kehilangan ’isinya’ buku-buku yang berarti.’’ Tan adalah
tubuh yang mengingat. Tan memang tidak bisa memiliki ruang dalam bentuk fisik
untuk menyimpan bukunya, tapi dia memiliki ruang di dalam tubuh untuk
berliterasi.
Dalam
debat capres dan jagat perpolitikan Indonesia, kita sulit menemukan gelagat
berliterasi di tubuh para politikus. Kita hanya menemukan para politikus,
pimpinan partai, dan dewan penasihat partai duduk takzim menjadi tim sorak
dan tepuk tangan bagi dua calon presiden dan dua calon wakil presiden.
Program kerja calon presiden pun masih menyangkut cara memberi makan perut
jutaan orang, belum memberi makan pengetahuan melimpah jutaan pikiran dan
batin.
Persiapan
sebelum debat calon presiden mengesankan persiapan tiba-tiba: mengundang para
ahli, mendatangkan orang penting, bahkan melakukan simulasi debat. Itu
mengesankan kesulitan mendapat asupan wacana dari buku-buku atau menjadikan
literasi sebagai bekal berpolitik. Wah, apakah calon presiden terlalu sibuk sampai
harus melupakan buku atau belum memiliki laku berbuku bahkan sebelum mereka
bermimpi menjadi penguasa?
Kita
patut merasa bahwa politisi Indonesia saat ini tidak ingin mendapat
kehormatan literasi sejajar dengan Soekarno, Sjahrir, atau Tan Malaka. Mereka
belum ingin berjalan bersama literasi yang telah dilakoni para pendahulu.
Mereka belum sanggup meneruskan tradisi berliterasi sebagai penentu etos
berpikir, mengolah rasa, memahami konflik, atau memaknai prasangka demi
membawa Indonesia menuju jalan terang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar