Rupiah
dan Pertumbuhan
Anton
Hendranata ; Ekonom/Ekonometrisi
PT Bank Danamon Indonesia Tbk
|
KOMPAS,
26 Juni 2014
TIDAK
bisa dimungkiri rupiah menjadi salah satu variabel sentral dalam perekonomian
Indonesia. Rupiah yang tak stabil tentu akan mengganggu kinerja perekonomian
secara keseluruhan.
Karena
itu, Bank Indonesia (BI) selalu berusaha keras agar rupiah bergerak stabil
sehingga kalkulasi perekonomian lebih mudah dilakukan oleh semua insan
ekonomi. Rupiah yang berfluktuasi sangat mengganggu kegiatan produksi (output) dan penentuan harga barang dan
jasa yang berujung pada inflasi yang sulit diekspektasi ke depan. Harus
diakui ketika rezim mata uang mengambang (free
floating) diterapkan sejak kuartal III-1997, pergerakan rupiah kian sulit
dikendalikan BI.
Jika
dibandingkan mata uang negara tetangga, dalam lima tahun terakhir (2008-2013)
kinerja rupiah terhadap dollar AS adalah yang terburuk dengan rata-rata
depresiasi 2,6 persen. Mata uang Malaysia terdepresiasi 1,0 persen. Filipina,
Thailand, dan Singapura malah jauh lebih baik dengan apresiasi masing-masing
1,3 persen, 1,9 persen, dan 3,0 persen.
Dari
sisi fluktuasi atau volatilitasnya menggunakan statistik koefisien variasi.
Fluktuasi rupiah termasuk yang tertinggi, yaitu 9,2 persen, jauh di atas
Filipina dan Thailand yang 5,3 persen. Fluktuasi mata uang Malaysia dan
Singapura juga lebih rendah daripada Indonesia, yakni 7,7 persen dan 6,8
persen.
Situasi
ini menyebabkan rupiah sering jadi momok setiap tahun. Prediksi rupiah selalu
menjadi pekerjaan yang sangat sulit meski sudah menggunakan metode estimasi
ekonometrika canggih sekalipun. Unsur ketidakpastian terlalu kuat mendominasi
tren nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah sulit bergerak ke nilai
fundamentalnya. Rupiah sering tak berdaya dengan situasi dan sentimen pasar.
Kadang-kadang menguat terlalu tinggi dibandingkan mata uang regional.
Sebaliknya jika terjadi koreksi, rupiah bisa terjun bebas dibandingkan mata
uang negara lain.
Apa
dampak kondisi rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi? Sekilas, dampak
negatifnya tak terlihat, rata-rata pertumbuhan ekonomi 2008-2013 tercatat 5,9
persen. Angka yang masih bisa dibanggakan karena lebih baik daripada negara
tetangga. Namun, jika disimak lebih dalam, kita seharusnya prihatin dan
waspada. Kinerja buruk rupiah berimbas negatif sangat besar terhadap
pertumbuhan ekonomi. Jika dikonversi ke dollar AS, sebenarnya rata-rata
pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3,9 persen periode 2008-2013. Artinya,
tergerus 2 persen atau terdiskon 34 persen. Artinya, selama ini kita
mengalami pertumbuhan di bawah potensial output yang seharusnya bisa dicapai.
Tak konvergen
Seharusnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7-8 persen per tahun dengan
syarat rupiah merupakan mata uang yang solid dan robust terhadap
ketidakpastian situasi global. Ketika rupiah stabil, kita bisa berharap tren
inflasi akan turun signifikan, tentunya didukung infrastruktur transportasi
yang kian baik. Era suku bunga rendah yang diidamkan pelaku usaha bukan hanya
mimpi belaka ataupun isapan jempol di masa depan. Selanjutnya, investasi akan
semakin kuat, begitu juga dengan konsumsi sehingga permintaan domestik makin
kuat lagi.
Apa yang
salah kalau begitu? Rupiah secara konsisten tak pernah konvergen menuju
keseimbangan yang wajar sehingga perekonomian pun jadi tak sehat dan rentan
dari gejolak. Buruknya kinerja rupiah dengan fluktuasi yang sangat tinggi
bukan sebab sesaat, melainkan segudang masalah yang tak diselesaikan secara
kontinu dan tuntas. Begitu banyak masalah struktural ekonomi yang tak
diselesaikan. Ada kecenderungan kita terjebak dengan obat jangka pendek.
Setelah sembuh, lupa kembali ke alur perbaikan jangka menengah dan panjang.
Ada
banyak pekerjaan rumah agar rupiah bergerak stabil dan ini jadi tantangan
bagi pemerintah baru. Kita memiliki banyak konsep bagus, tetapi sulit atau
tak punya keberanian untuk mengimplementasikan.
Pertama,
berkaitan dengan subsidi BBM. Subsidi BBM mengakibatkan konsumsi BBM terus
meningkat setiap tahun seiring pertumbuhan ekonomi. Neraca perdagangan minyak
selalu negatif dan cenderung meningkat. Pada 2008, defisit neraca perdagangan
minyak 14,3 miliar dollar AS. Hanya dalam kurun lima tahun, defisit
membengkak hampir dua kali lipat menjadi 27,7 miliar dollar AS pada 2013.
Jika tak diatasi, bisa dibayangkan neraca perdagangan akan selalu dalam
tekanan dan menimbulkan masalah defisit rasio neraca transaksi berjalan,
terutama ketika ekspor nonmigas lemah seperti saat ini.
Pemerintah
menghadapi pilihan sulit, yaitu mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga
BBM bersubsidi. Memang terasa pahit dalam jangka pendek, tetapi jangka
panjang kita tak lagi tersandera subsidi BBM.
Kedua,
penguatan industri manufaktur yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang
cepat. Selama ini industri manufaktur kita tak mampu menyediakan bahan baku
dan penolong dan barang konsumsi untuk keperluan domestik. Alhasil, impor
bahan baku dan penolong akan tetap tinggi ketika perekonomian menggeliat.
Situasi kian berat ketika produksi industri manufaktur lebih bersifat
orientasi domestik, bukan ekspor.
Ketiga,
ketergantungan tinggi terhadap ekspor komoditas primer, seperti batubara,
kelapa sawit, dan karet, harus dikurangi. Ketika perekonomian global
(terutama Tiongkok) melambat dan harga komoditas rendah, tak bisa
terhindarkan nilai ekspor komoditas primer kita akan anjlok sehingga
memberikan tekanan pada neraca perdagangan.
Keempat,
arus modal asing. Ketika peringkat utang Indonesia menjadi investment grade
pada 2011, arus modal asing masuk begitu deras, terutama investasi
portofolio, yaitu saham dan obligasi. Seharusnya ini bukan bencana, melainkan
berkat dan bisa memperkuat posisi rupiah. Namun, ini salah satu sumber
masalah karena kepemilikan asing begitu dominan di saham, yakni sekitar 64
persen per Mei 2014, dan di obligasi 36 persen per Juni 2014. Ketika modal
asing keluar mendadak, rupiah terpuruk. Karena itu, perlu penguatan dan
perluasan investor domestik agar dapat mengambil alih dominasi kepemilikan
asing sehingga pasar saham dan obligasi Indonesia tak mudah digoyang kekuatan
asing.
Semoga
pemerintah yang baru akan lebih cerdik serta punya komitmen kuat untuk
membenahi masalah struktural perekonomian domestik secara serius dan
konsisten. Bukan janji muluk yang miskin implementasi. Perbaikan
infrastruktur tak bisa ditunda lagi. Iklim investasi yang baik, regulasi yang
jelas, dan kepastian hukum menjadi tugas berat buat presiden baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar