Jumat, 27 Juni 2014

Rupiah dan Pertumbuhan

Rupiah dan Pertumbuhan

Anton Hendranata  ;   Ekonom/Ekonometrisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk
KOMPAS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TIDAK bisa dimungkiri rupiah menjadi salah satu variabel sentral dalam perekonomian Indonesia. Rupiah yang tak stabil tentu akan mengganggu kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Karena itu, Bank Indonesia (BI) selalu berusaha keras agar rupiah bergerak stabil sehingga kalkulasi perekonomian lebih mudah dilakukan oleh semua insan ekonomi. Rupiah yang berfluktuasi sangat mengganggu kegiatan produksi (output) dan penentuan harga barang dan jasa yang berujung pada inflasi yang sulit diekspektasi ke depan. Harus diakui ketika rezim mata uang mengambang (free floating) diterapkan sejak kuartal III-1997, pergerakan rupiah kian sulit dikendalikan BI.

Jika dibandingkan mata uang negara tetangga, dalam lima tahun terakhir (2008-2013) kinerja rupiah terhadap dollar AS adalah yang terburuk dengan rata-rata depresiasi 2,6 persen. Mata uang Malaysia terdepresiasi 1,0 persen. Filipina, Thailand, dan Singapura malah jauh lebih baik dengan apresiasi masing-masing 1,3 persen, 1,9 persen, dan 3,0 persen.

Dari sisi fluktuasi atau volatilitasnya menggunakan statistik koefisien variasi. Fluktuasi rupiah termasuk yang tertinggi, yaitu 9,2 persen, jauh di atas Filipina dan Thailand yang 5,3 persen. Fluktuasi mata uang Malaysia dan Singapura juga lebih rendah daripada Indonesia, yakni 7,7 persen dan 6,8 persen.

Situasi ini menyebabkan rupiah sering jadi momok setiap tahun. Prediksi rupiah selalu menjadi pekerjaan yang sangat sulit meski sudah menggunakan metode estimasi ekonometrika canggih sekalipun. Unsur ketidakpastian terlalu kuat mendominasi tren nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah sulit bergerak ke nilai fundamentalnya. Rupiah sering tak berdaya dengan situasi dan sentimen pasar. Kadang-kadang menguat terlalu tinggi dibandingkan mata uang regional. Sebaliknya jika terjadi koreksi, rupiah bisa terjun bebas dibandingkan mata uang negara lain.

Apa dampak kondisi rupiah terhadap pertumbuhan ekonomi? Sekilas, dampak negatifnya tak terlihat, rata-rata pertumbuhan ekonomi 2008-2013 tercatat 5,9 persen. Angka yang masih bisa dibanggakan karena lebih baik daripada negara tetangga. Namun, jika disimak lebih dalam, kita seharusnya prihatin dan waspada. Kinerja buruk rupiah berimbas negatif sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika dikonversi ke dollar AS, sebenarnya rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3,9 persen periode 2008-2013. Artinya, tergerus 2 persen atau terdiskon 34 persen. Artinya, selama ini kita mengalami pertumbuhan di bawah potensial output yang seharusnya bisa dicapai.

Tak konvergen

Seharusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7-8 persen per tahun dengan syarat rupiah merupakan mata uang yang solid dan robust terhadap ketidakpastian situasi global. Ketika rupiah stabil, kita bisa berharap tren inflasi akan turun signifikan, tentunya didukung infrastruktur transportasi yang kian baik. Era suku bunga rendah yang diidamkan pelaku usaha bukan hanya mimpi belaka ataupun isapan jempol di masa depan. Selanjutnya, investasi akan semakin kuat, begitu juga dengan konsumsi sehingga permintaan domestik makin kuat lagi.

Apa yang salah kalau begitu? Rupiah secara konsisten tak pernah konvergen menuju keseimbangan yang wajar sehingga perekonomian pun jadi tak sehat dan rentan dari gejolak. Buruknya kinerja rupiah dengan fluktuasi yang sangat tinggi bukan sebab sesaat, melainkan segudang masalah yang tak diselesaikan secara kontinu dan tuntas. Begitu banyak masalah struktural ekonomi yang tak diselesaikan. Ada kecenderungan kita terjebak dengan obat jangka pendek. Setelah sembuh, lupa kembali ke alur perbaikan jangka menengah dan panjang.

Ada banyak pekerjaan rumah agar rupiah bergerak stabil dan ini jadi tantangan bagi pemerintah baru. Kita memiliki banyak konsep bagus, tetapi sulit atau tak punya keberanian untuk mengimplementasikan.

Pertama, berkaitan dengan subsidi BBM. Subsidi BBM mengakibatkan konsumsi BBM terus meningkat setiap tahun seiring pertumbuhan ekonomi. Neraca perdagangan minyak selalu negatif dan cenderung meningkat. Pada 2008, defisit neraca perdagangan minyak 14,3 miliar dollar AS. Hanya dalam kurun lima tahun, defisit membengkak hampir dua kali lipat menjadi 27,7 miliar dollar AS pada 2013. Jika tak diatasi, bisa dibayangkan neraca perdagangan akan selalu dalam tekanan dan menimbulkan masalah defisit rasio neraca transaksi berjalan, terutama ketika ekspor nonmigas lemah seperti saat ini.

Pemerintah menghadapi pilihan sulit, yaitu mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Memang terasa pahit dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang kita tak lagi tersandera subsidi BBM.

Kedua, penguatan industri manufaktur yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang cepat. Selama ini industri manufaktur kita tak mampu menyediakan bahan baku dan penolong dan barang konsumsi untuk keperluan domestik. Alhasil, impor bahan baku dan penolong akan tetap tinggi ketika perekonomian menggeliat. Situasi kian berat ketika produksi industri manufaktur lebih bersifat orientasi domestik, bukan ekspor.

Ketiga, ketergantungan tinggi terhadap ekspor komoditas primer, seperti batubara, kelapa sawit, dan karet, harus dikurangi. Ketika perekonomian global (terutama Tiongkok) melambat dan harga komoditas rendah, tak bisa terhindarkan nilai ekspor komoditas primer kita akan anjlok sehingga memberikan tekanan pada neraca perdagangan.

Keempat, arus modal asing. Ketika peringkat utang Indonesia menjadi investment grade pada 2011, arus modal asing masuk begitu deras, terutama investasi portofolio, yaitu saham dan obligasi. Seharusnya ini bukan bencana, melainkan berkat dan bisa memperkuat posisi rupiah. Namun, ini salah satu sumber masalah karena kepemilikan asing begitu dominan di saham, yakni sekitar 64 persen per Mei 2014, dan di obligasi 36 persen per Juni 2014. Ketika modal asing keluar mendadak, rupiah terpuruk. Karena itu, perlu penguatan dan perluasan investor domestik agar dapat mengambil alih dominasi kepemilikan asing sehingga pasar saham dan obligasi Indonesia tak mudah digoyang kekuatan asing.

Semoga pemerintah yang baru akan lebih cerdik serta punya komitmen kuat untuk membenahi masalah struktural perekonomian domestik secara serius dan konsisten. Bukan janji muluk yang miskin implementasi. Perbaikan infrastruktur tak bisa ditunda lagi. Iklim investasi yang baik, regulasi yang jelas, dan kepastian hukum menjadi tugas berat buat presiden baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar