Sabtu, 28 Juni 2014

Media, Perekat atau Pemecah

Media, Perekat atau Pemecah

Ning Sukma Mediasih  ;   Pewarta Masyarakat,
Aktif pada Kajian Sosial dan Publikasi Strategis
HALUAN, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Runtuhnya rezim otoritarianistik (Orde Baru) dan beralih ke Reformasi memberikan perubahan besar dalam iklim demokrasi Indonesia. Keberadaan pers sebagai pilar ke empat demokrasi berperan penting dalam mempengaruhi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Ruang publik yang dulunya tersekat oleh hegemoni kekuasaan, kini aktualitasnya semakin terbuka lebar. Hal itu yang menggugah tingginya frekuensi ruang diskursif publik dengan berbagai artikulasinya yang hampir menjangkau semua khalayak umum tanpa ada kontrol yang membatasinya.

McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media sebagai alat kontrol sosial.

Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media menjadi dasar respon dan sikap masyarakat terhadap berbagai objek sosial. Dengan demikian, apabila media salah dalam menyampaikan informasi, akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial. Untuk itu, media dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral massa.

Menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media, yaitu :

Pertama, media sebagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.

Kedua, media dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lainnya, karena memang menurut mereka faktanya demikian. Media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin  realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media. Dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.

Ketiga, memandang media sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian .

Keempat, media acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.

Kelima, melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik.

Keenam, media sebagai interlocutor yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.

Sebagai contoh peran media dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Presiden SBY memenangi Pilpres 2009 karena banyak melibatkan peran media. Para penasihat SBY tahu persis bahwa mesin pencitraan 2009 harus bekerja dengan memanfaatkan media. SBY banyak tampil di layar TV, terdengar di radio, terpampang di suratkabar, majalah, dsb. Sebab, pencitraan di media memberi kontribusi nyata pada hasil Pilpres 2009.

Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi,  kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di berbagai jenis media menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua dilakukan karena adanya kesadaran bahwa media berperan penting untuk menjaring calon mahasiswa. Menariknya adalah tentang bagaimana media mampu mempengaruhi cara pandang atau reaksi masyarakat  setelah menerima berita/informasi.

Setidaknya ada dua alasan mengapa media kerap menjadi ajang perebutan. Pertama, media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi, serta merupakan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Kedua, media dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena mampu dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini publik. Maka dari itu, tidak sedikit media yang menyuarakan pemberitaan kelompok yang dominan di dalam masyarakat dengan menonjolkan basis penafsiran sepihak.

Menjelang momentum pilpres 2014, disadari atau tidak, kondisi objektif pemberitaan media di Indonesia saat ini sarat dengan kepentingan politik. Sehingga dalam pemberitaannya pers (media) sangat bergantung kepada pemesannya. Oleh karena itu, tidak salah jika muncul sebuah anggapan bahwa dewasa ini berbicara mengenai fungsi media hampir mustahil dipisahkan relasinya dari kehidupan politik.

Ekesistensi dan posisi media yang seharusnya berada pada posisi netral dan berkerja berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas kerap mengalami distorsi. Lazimnya, pemberitaan yang disuguhkan oleh media dapat memberikan gambaran realitas yang sebenarnya sehingga publik dapat mengerti dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dalam praktiknya fungsi dan peran media (pers) telah terjebak dalam kubangan pragmatisme di mana pers kerap menjadi alat kekuasaan.

Adanya kekuatan media sebagai alat pembentuk opini publik  yang merupakan sebuah kekuatan politik, disebabkan karena media itu bukan saja sebagai pembentuk dan penyalur pernyataan umum, melainkan juga sebagai lembaga sosial yang dapat menimbulkan pengaruh yang luas yang kemudian dapat membentuk citra dan opini publik berdasarkan interest masing-masing.

Di era sistem pers yang menganut paham liberal saat ini, media merupakan sarana yang paling ampuh dalam menyebarkan ideologi dan budaya melalui hegemoni kelompok-kelompok tertentu terhadap kelompok-kelompok lain yang menjadi target hegemoninya. Mereka menyebarkan ideologi dan budaya tertentu melalui media dengan menggusur gagasan kelompok lain. Fungsi media yang seharusnya menjadi pewarta kebenaran, netralitasnya mengalami bias karena pemberitaanya jauh dari nilai-nilai objektivitas. Seperti yang kita sadari bersama bahwa menjelang Pilpres 2014 media semakin menjamur, baik dalam bentuk tabloid ataupun media-media online. Para tim sukses memanfaatkan peran media sebagai strategi meningkatkan perolehan suara kandidatnya dan terus berupaya mencari titik lemah kandidat lain. Ironinya sikap ini sering kali menabrak kode etik dan profesonalisme jurnalistik. Sehingga isi pemberitaan cenderung mengarah pada kampanye negatif atau kampanye hitam yang isinya berbasis fitnah. Dengan kata lain, media telah dimanfaatkan oleh kelompok elit politik tertentu sebagai alat untuk mengabadikan kekuasaannya.

Fenomena di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa media (pers) bisa saja dalam pemberitaannya memiliki kecenderungan memihak. Mengingat pemberitaan media tidak berangkat dari ruang hampa, masyarakat yang notabenya sebagai konsumen berita harus mampu menempatkan diri secara proporsional dan bersikap kritis terhadap setiap pemberitaan yang disuguhkan. Sehingga masyarakat terhindar dari distorsi pemberitaan media yang manipulatif. Untuk itu, di tengah intensitas politik yang kian meninggi dalam kontestasi politik menjelang Pilpres 2014, posisi media harus berdiri di tengah-tengah kepentingan semua golongan. Prinsip-prinsip etis jurnalistik harus menjadi parameter media dalam menja­lankan fungsi dan perannya sehingga media tidak pandang menjadi aparat kekuasaan dan juga aparat kapital.

Media seharusnya menjadi alat pendidik publik agar tercipta ruang kesadaran publik untuk saling menghargai dan menghormati sesama. Pengaruh utama pergulatan dan pergumulan aktivitas jurnalisme menjadi narator perdamaian di tengah pertentangan antar kekuatan, sebagai wujud tanggung jawab sosial media kepada publik. Media seharusnya berperan menjaga kondusifitas masyarakat atas memanasnya suhu politik. Mengarahkan masyarakat untuk berfikir positif dalam memandang kekuatan dan kelemahan setiap kandidat capres dan cawapres, sehingga akan tercipta iklim demokrasi dengan nilai-nilai profesionalisme bukan emosionalisme.

Dengan demikian, pada 9 Juli 2014 nanti, masyarakat meyakini kandidatnya adalah yang terbaik tanpa membawa bekas fitnah terhadap kandidat lain. Sehingga kondusifitas menjelang dan pasca pilpres 2014 tetap terjaga dengan baik, tanpa masalah yang berarti, karena diyakini bahwa masyarakat sesungguhnya menginginkan lahirnya pemimpin dengan proses terhormat, dengan cara terhormat agar dapat memimpin dengan terhormat yang kemudian bangsa ini akan dihormati oleh bangsa-bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar