Media,
Perekat atau Pemecah
Ning
Sukma Mediasih ; Pewarta Masyarakat,
Aktif pada Kajian
Sosial dan Publikasi Strategis
|
HALUAN,
26 Juni 2014
Runtuhnya
rezim otoritarianistik (Orde Baru) dan beralih ke Reformasi memberikan
perubahan besar dalam iklim demokrasi Indonesia. Keberadaan pers sebagai pilar
ke empat demokrasi berperan penting dalam mempengaruhi dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara kita.
Ruang
publik yang dulunya tersekat oleh hegemoni kekuasaan, kini aktualitasnya
semakin terbuka lebar. Hal itu yang menggugah tingginya frekuensi ruang
diskursif publik dengan berbagai artikulasinya yang hampir menjangkau semua
khalayak umum tanpa ada kontrol yang membatasinya.
McDevitt
(1996: 270) mengatakan, “Media cukup
efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).”
Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media
memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini
masyarakat.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan
Talcott Parsons menekankan pentingnya media sebagai alat kontrol sosial.
Gambaran
tentang realitas yang dibentuk oleh isi media menjadi dasar respon dan sikap
masyarakat terhadap berbagai objek sosial. Dengan demikian, apabila media
salah dalam menyampaikan informasi, akan memunculkan gambaran yang salah pula
terhadap objek sosial. Untuk itu, media dituntut menyampaikan informasi secara
akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan
etis dan moral massa.
Menurut
McQuail dalam bukunya Mass
Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat
peran media, yaitu :
Pertama,
media sebagai window on event and
experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak
melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana
belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua,
media dianggap sebagai a mirror of
event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin
berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa
adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan
kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lainnya, karena memang
menurut mereka faktanya demikian. Media hanya sebagai refleksi fakta,
terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai
cermin realitas tersebut diputuskan
oleh para profesional media. Dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk
mengetahui apa yang mereka inginkan.
Ketiga,
memandang media sebagai filter, atau gatekeeper
yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media
senantiasa memilih issue, informasi
atau bentuk content yang lain
berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan
mendapat perhatian .
Keempat,
media acapkali pula dipandang sebagai guide,
penunjuk jalan atau interpreter yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas
berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
Kelima,
melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan
ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik.
Keenam,
media sebagai interlocutor yang
tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner
komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.
Sebagai
contoh peran media dalam mempengaruhi pandangan masyarakat. Presiden SBY
memenangi Pilpres 2009 karena banyak melibatkan peran media. Para penasihat
SBY tahu persis bahwa mesin pencitraan 2009 harus bekerja dengan memanfaatkan
media. SBY banyak tampil di layar TV, terdengar di radio, terpampang di
suratkabar, majalah, dsb. Sebab, pencitraan di media memberi kontribusi nyata
pada hasil Pilpres 2009.
Kemudian,
kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi, kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri
di berbagai jenis media menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua
dilakukan karena adanya kesadaran bahwa media berperan penting untuk
menjaring calon mahasiswa. Menariknya adalah tentang bagaimana media mampu
mempengaruhi cara pandang atau reaksi masyarakat setelah menerima berita/informasi.
Setidaknya
ada dua alasan mengapa media kerap menjadi ajang perebutan. Pertama, media
memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi, serta merupakan objek persaingan
untuk memperebutkan kontrol dan akses. Kedua, media dipandang sebagai alat
kekuasaan yang efektif karena mampu dimanfaatkan untuk mempengaruhi opini
publik. Maka dari itu, tidak sedikit media yang menyuarakan pemberitaan
kelompok yang dominan di dalam masyarakat dengan menonjolkan basis penafsiran
sepihak.
Menjelang
momentum pilpres 2014, disadari atau tidak, kondisi objektif pemberitaan
media di Indonesia saat ini sarat dengan kepentingan politik. Sehingga dalam
pemberitaannya pers (media) sangat bergantung kepada pemesannya. Oleh karena
itu, tidak salah jika muncul sebuah anggapan bahwa dewasa ini berbicara
mengenai fungsi media hampir mustahil dipisahkan relasinya dari kehidupan
politik.
Ekesistensi
dan posisi media yang seharusnya berada pada posisi netral dan berkerja
berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas kerap mengalami distorsi.
Lazimnya, pemberitaan yang disuguhkan oleh media dapat memberikan gambaran
realitas yang sebenarnya sehingga publik dapat mengerti dan memahami apa yang
sesungguhnya terjadi. Namun, dalam praktiknya fungsi dan peran media (pers)
telah terjebak dalam kubangan pragmatisme di mana pers kerap menjadi alat
kekuasaan.
Adanya
kekuatan media sebagai alat pembentuk opini publik yang merupakan sebuah kekuatan politik,
disebabkan karena media itu bukan saja sebagai pembentuk dan penyalur
pernyataan umum, melainkan juga sebagai lembaga sosial yang dapat menimbulkan
pengaruh yang luas yang kemudian dapat membentuk citra dan opini publik berdasarkan
interest masing-masing.
Di era
sistem pers yang menganut paham liberal saat ini, media merupakan sarana yang
paling ampuh dalam menyebarkan ideologi dan budaya melalui hegemoni
kelompok-kelompok tertentu terhadap kelompok-kelompok lain yang menjadi
target hegemoninya. Mereka menyebarkan ideologi dan budaya tertentu melalui
media dengan menggusur gagasan kelompok lain. Fungsi media yang seharusnya
menjadi pewarta kebenaran, netralitasnya mengalami bias karena pemberitaanya
jauh dari nilai-nilai objektivitas. Seperti yang kita sadari bersama bahwa
menjelang Pilpres 2014 media semakin menjamur, baik dalam bentuk tabloid
ataupun media-media online. Para tim sukses memanfaatkan peran media sebagai
strategi meningkatkan perolehan suara kandidatnya dan terus berupaya mencari
titik lemah kandidat lain. Ironinya sikap ini sering kali menabrak kode etik
dan profesonalisme jurnalistik. Sehingga isi pemberitaan cenderung mengarah
pada kampanye negatif atau kampanye hitam yang isinya berbasis fitnah. Dengan
kata lain, media telah dimanfaatkan oleh kelompok elit politik tertentu
sebagai alat untuk mengabadikan kekuasaannya.
Fenomena
di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa media (pers) bisa saja dalam
pemberitaannya memiliki kecenderungan memihak. Mengingat pemberitaan media
tidak berangkat dari ruang hampa, masyarakat yang notabenya sebagai konsumen
berita harus mampu menempatkan diri secara proporsional dan bersikap kritis
terhadap setiap pemberitaan yang disuguhkan. Sehingga masyarakat terhindar
dari distorsi pemberitaan media yang manipulatif. Untuk itu, di tengah
intensitas politik yang kian meninggi dalam kontestasi politik menjelang
Pilpres 2014, posisi media harus berdiri di tengah-tengah kepentingan semua
golongan. Prinsip-prinsip etis jurnalistik harus menjadi parameter media
dalam menjalankan fungsi dan perannya sehingga media tidak pandang menjadi
aparat kekuasaan dan juga aparat kapital.
Media
seharusnya menjadi alat pendidik publik agar tercipta ruang kesadaran publik
untuk saling menghargai dan menghormati sesama. Pengaruh utama pergulatan dan
pergumulan aktivitas jurnalisme menjadi narator perdamaian di tengah pertentangan
antar kekuatan, sebagai wujud tanggung jawab sosial media kepada publik.
Media seharusnya berperan menjaga kondusifitas masyarakat atas memanasnya
suhu politik. Mengarahkan masyarakat untuk berfikir positif dalam memandang
kekuatan dan kelemahan setiap kandidat capres dan cawapres, sehingga akan
tercipta iklim demokrasi dengan nilai-nilai profesionalisme bukan emosionalisme.
Dengan
demikian, pada 9 Juli 2014 nanti, masyarakat meyakini kandidatnya adalah yang
terbaik tanpa membawa bekas fitnah terhadap kandidat lain. Sehingga
kondusifitas menjelang dan pasca pilpres 2014 tetap terjaga dengan baik,
tanpa masalah yang berarti, karena diyakini bahwa masyarakat sesungguhnya
menginginkan lahirnya pemimpin dengan proses terhormat, dengan cara terhormat
agar dapat memimpin dengan terhormat yang kemudian bangsa ini akan dihormati
oleh bangsa-bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar