Bahasa,
Politik, Fobia
Musyafak ;
Staf Balai Litbang Agama Semarang
|
TEMPO,
24 Juni 2014
Dialek,
intonasi, dan gaya berbahasa merupakan representasi politik seseorang.
Tuturan seorang politikus merupakan representasi pandangan atau tindakan
politiknya secara umum. Dalam arena politik berbangsa-bernegara, komunikasi
politik hari ini rentan ditautkan dengan masa lalu, berikut timbunan stigma
buruk yang memboncenginya. Mafhum jika sebagian besar orang Indonesia saat
ini merasakan fobia ketika mendengar pidato atau cara bicara Prabowo
Subianto.
Dialek
calon presiden dari partai Gerindra itu seolah daur ulang dari gaya tutur
Soeharto. Sebagian orang takut mendengar pidato atau ucapan yang sarat dengan
gubahan akhiran "-ken" ketimbang "-kan". Hingga debat
putaran ketiga capres yang telah berlangsung belum lama ini, publik bisa menyimak
Prabowo mengucap "memberesken", "memberiken",
"memerluken", "menyiapken", dan lain-lain. Dialek itu
menyeret memori kolektif publik kepada masa Orde Baru yang sudah ditandai
nisan. Tak sedikit orang yang berpandangan atau memiliki sentimen negatif
terhadap Orde Baru merasa takut jika calon pemimpinnya justru seolah mengajak
kembali ke "zaman angker" itu.
Meski
belum tentu juga Prabowo hendak membawa Indonesia balik kanan dari agenda
Reformasi untuk kembali ke model kepemimpinan otoritarian Orde Baru, gaya
bertuturnya justru menjadi isyarat bagi publik untuk membaca kehendak
politiknya, yang seolah mengajak mundur ke masa lalu. Sebab, bahasa
menyingkapkan ingatan dan fobia tersendiri bagi publik.
Mochtar
Pabottinggi, dalam esainya yang berjudul Bahasa, Politik, dan Otosentrisitas
(dalam Latif dan Ibrahim, 1996), mendedahkan hubungan antara bahasa dan
politik yang begitu erat. Menurut dia, pilihan menggunakan bahasa atau
kata-kata tertentu tak lain adalah berpolitik dalam maknanya yang paling
dalam dan luas. Pilihan menggunakan dialek dan menekankan pengertian tertentu
atas kata juga bagian dari berpolitik.
Sementara
itu, calon presiden lain, Joko Widodo (Jokowi), relatif bersih dari fobia
kebahasaan semacam itu. Komunikasi politik Jokowi tak terhubung dengan
kode-kode bahasa Orde Baru yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap tak
lagi relevan. Ketika mendengar intonasi, dialek, atau gaya bicara Jokowi,
publik tidak memiliki preferensi apa pun untuk mengaitkannya dengan rezim
Soeharto itu. Soal kebahasaan, Jokowi relatif lebih sedikit menjadi sasaran
sentimen negatif dari publik.
Dalam
konteks komunikasi politik yang tampak hingga debat putaran ketiga capres,
bisa dikatakan Prabowo tampak lebih unggul dalam hal mengartikulasikan
gagasan. Kemantapan intonasi dan nada bicara Prabowo menjadi nilai plus
tersendiri dibanding cara bicara Jokowi yang kerap tersendat atau terpotong.
Sayangnya, gaya tutur Prabowo justru dibebani oleh dialek
"Soehartois" yang menerbitkan sentimen kurang simpatik, bahkan
antipatik.
Dialek
yang mengujarkan akhiran "-kan" dengan "-ken" merupakan
representasi elitisasi bahasa. Selama puluhan tahun, Soeharto telah
meneguhkan identitas dirinya dengan elitisasi bahasa yang diciptakannya untuk
berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri. Hari ini, Prabowo dengan
ujaran-ujaran dan bahasa yang digunakannya, setidaknya tampak masih mewarisi
kultur elitisasi bahasa yang diciptakan oleh elite Orde Baru itu. Tanggal 9
Juli memang tak lama lagi, tapi rasanya Prabowo tetap perlu berintrospeksi
dan mengoreksi gaya bertuturnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar