Kamis, 26 Juni 2014

Industri Strategis Pertahanan

Industri Strategis Pertahanan

Syarifudin Tippe  ;  Ketua Umum Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia,
Rektor Universitas Pertahanan Periode 2009-2012
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DALAM debat capres tentang politik internasional dan ketahanan nasional, Minggu (22/6), kedua calon presiden (capres) sepakat telah terjadi pergeseran geopolitik dan geostrategi yang memerlukan reformulasi industri pertahanan di Indonesia. Industri pertahanan merupakan salah satu sektor industri strategis yang mempunyai ciri utama, yaitu keberadaan teknologi tinggi serta inovasi yang melekat dalam setiap tahapan proses produksinya. Penyelenggaraan industri pertahanan memerlukan sinergi dan integritas segenap pemangku kepentingan dalam industri pertahanan.

Pada proses pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI, misalnya, diperlukan sinergi dan integritas terkait anggaran yang dialokasikan, kendala waktu pemenuhan, fasilitas pinjaman dalam negeri, penggunaan sumber dana pinjaman luar negeri, dan seterusnya. Hal itu menyebabkan pengadaan alutsista memerlukan waktu yang lama, padahal teknologi berkembang cepat, dan waktu penyerapan anggaran terbatas. Pada tahapan ini penyelenggaraan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) melalui sistem pengadaan alutsita banyak menghadapi problematik dengan beberapa tahapan kepentingan yang pada akhirnya memperlambat proses eksekusi dan berujung pada tidak optimalnya operasional. Salah satu solusi dalam menjawab problematik anggaran tersebut ialah dengan penerapan skema offset pertahanan.

Offset pertahanan

Studi terbaru yang diterbitkan dua perusahaan konsultan, Frost & Sullivan (2013), memperkirakan bahwa nilai dari kewajiban offset militer yang diminta 20 negara akan mencapai sekitar US$424.570.000.000 antara 2012 dan 2021, dengan negara-negara di wilayah Asia Pasifik seperti Indonesia, Korea Selatan, dan Taiwan menunjukkan pertumbuhan yang tertinggi.

Mekanisme offset pertahanan dalam pengadaan persenjataan pertahanan dapat dilakukan dengan tiga jenis offset, yaitu pembelian lisensi, co-production, dan co-development. Menurut Mathew, Maharani, dan Fitriani, dalam RSIS Publication No 114/2011 yang berjudul Indonesia's New Offset Policy: Time for Broader Defence Industrial Strategy, kebijakan offset pertahanan menjadi sarana strategis bagi mekanisme alih atau proses indigenisasi teknologi (transfer of technology) yang lebih cepat. Menurut Taylor (2003), offset merupakan kontrak yang mengharuskan penjual untuk mentransfer manfaat ekonomi tambahan kepada pembeli sebagai syarat untuk penjualan barang dan jasa. Selain itu, variasi bentuk offset dapat berbentuk subkontrak, transfer teknologi, counter trade, investasi asing, bantuan pemasaran, pelatihan, co-production, dan licensed production (Taylor 2003 dan Mathew 2006). Taylor menganggap bahwa jika offset dirancang secara tepat dalam pengaturan pengadaan yang ditandai dengan persaingan tidak sempurna, minimnya transfer informasi, dan kontrak yang tidak lengkap, hal tersebut benar-benar akan dapat meningkatkan kesejahteraan.

Bagaimana Indonesia?

Offset pertahanan bukan merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Kebijakan offset pertahanan dapat mengatasi keterbatasan pada anggaran, kemampuan penguasaan teknologi, dan tidak produktifnya off the shelf akuisisi alutsista untuk mencapai tahap kemandirian industri pertahanan nasional untuk memenuhi capaian MEF. Offset pertahanan sebagai bagian paket imbal dagang (counter trade) yang diperoleh melalui kesepakatan offset dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan berbagai manfaat yang menguntungkan di sektor ekonomi, perdagangan (ekspor) dan investasi.

Di Indonesia, mekanisme offset pertahanan untuk pengadaan peralatan pertahanan telah berlangsung sejak awal 1960-an, meski secara serius baru dilakukan ketika IPTN, PT PAL, dan PT Pindad menjalin kerja sama dengan negara produsen persenjataan dan industri strategis pada pertengahan 1970, dengan berbagai variasi persenjataan dan industri strategis. Namun, dalam praktiknya, offset pertahanan di Indonesia belum memiliki rantai nilai yang dapat memenuhi kebutuhan persenjataan pertahanan secara integral. Hal ini disebabkan berbagai kendala yang melingkupi ketiadaan regulasi kesiapan SDM, transfer teknologi, kemampuan anggaran, dukungan iklim bisnis, dan kendala sumber daya lainnya.

Mekanisme offset akan mampu mengatasi keterbatasan anggaran dan akan mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan rupiah terhadap dolar yang selama ini dilakukan melalui mekanisme fasilitas kredit ekspor (KE). Komoditisasi uang sebagai dampak kebutuhan pembayaran dalam jual beli internasional pun sebagian akan tereliminasi. Hal itu disebabkan para pihak yang terlibat dalam transaksi dapat mengevaluasi secara langsung kuantitas barang penawaran dengan permintaan.

Praktik offset pada masa lalu lebih didasarkan pada kebijakan dan kepentingan tertentu serta dilaksanakan tanpa adanya regulasi yang mengatur dan tidak terintegrasi dengan kebijakan lain yang terkait. Akibatnya, praktik offset pertahanan tidak terkoordinasi dan sulit diukur kontribusinya serta mengakibatkan ketidakjelasan tujuan dari praktik offset pertahanan terhadap penguasaan teknologi yang mendukung kemandirian industri alat pertahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar