Industri
Strategis Pertahanan
Syarifudin
Tippe ; Ketua Umum Komunitas Ilmu
Pertahanan Indonesia,
Rektor Universitas
Pertahanan Periode 2009-2012
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juni 2014
DALAM debat capres tentang
politik internasional dan ketahanan nasional, Minggu (22/6), kedua calon
presiden (capres) sepakat telah terjadi pergeseran geopolitik dan geostrategi
yang memerlukan reformulasi industri pertahanan di Indonesia. Industri pertahanan
merupakan salah satu sektor industri strategis yang mempunyai ciri utama,
yaitu keberadaan teknologi tinggi serta inovasi yang melekat dalam setiap
tahapan proses produksinya. Penyelenggaraan industri pertahanan memerlukan
sinergi dan integritas segenap pemangku kepentingan dalam industri
pertahanan.
Pada proses pengadaan alat utama
sistem persenjataan (alutsista) TNI, misalnya, diperlukan sinergi dan
integritas terkait anggaran yang dialokasikan, kendala waktu pemenuhan,
fasilitas pinjaman dalam negeri, penggunaan sumber dana pinjaman luar negeri,
dan seterusnya. Hal itu menyebabkan pengadaan alutsista memerlukan waktu yang
lama, padahal teknologi berkembang cepat, dan waktu penyerapan anggaran
terbatas. Pada tahapan ini penyelenggaraan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) melalui
sistem pengadaan alutsita banyak menghadapi problematik dengan beberapa
tahapan kepentingan yang pada akhirnya memperlambat proses eksekusi dan
berujung pada tidak optimalnya operasional. Salah satu solusi dalam menjawab
problematik anggaran tersebut ialah dengan penerapan skema offset pertahanan.
Offset pertahanan
Studi terbaru yang diterbitkan
dua perusahaan konsultan, Frost & Sullivan (2013), memperkirakan bahwa
nilai dari kewajiban offset militer
yang diminta 20 negara akan mencapai sekitar US$424.570.000.000 antara 2012
dan 2021, dengan negara-negara di wilayah Asia Pasifik seperti Indonesia,
Korea Selatan, dan Taiwan menunjukkan pertumbuhan yang tertinggi.
Mekanisme offset pertahanan dalam pengadaan persenjataan pertahanan dapat
dilakukan dengan tiga jenis offset,
yaitu pembelian lisensi, co-production,
dan co-development. Menurut Mathew,
Maharani, dan Fitriani, dalam RSIS
Publication No 114/2011 yang berjudul Indonesia's
New Offset Policy: Time for Broader Defence Industrial Strategy,
kebijakan offset pertahanan menjadi
sarana strategis bagi mekanisme alih atau proses indigenisasi teknologi (transfer of technology) yang lebih
cepat. Menurut Taylor (2003), offset
merupakan kontrak yang mengharuskan penjual untuk mentransfer manfaat ekonomi
tambahan kepada pembeli sebagai syarat untuk penjualan barang dan jasa.
Selain itu, variasi bentuk offset
dapat berbentuk subkontrak, transfer teknologi, counter trade, investasi asing, bantuan pemasaran, pelatihan, co-production, dan licensed production
(Taylor 2003 dan Mathew 2006).
Taylor menganggap bahwa jika offset
dirancang secara tepat dalam pengaturan pengadaan yang ditandai dengan
persaingan tidak sempurna, minimnya transfer informasi, dan kontrak yang
tidak lengkap, hal tersebut benar-benar akan dapat meningkatkan
kesejahteraan.
Bagaimana Indonesia?
Offset
pertahanan bukan merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Kebijakan offset pertahanan dapat mengatasi
keterbatasan pada anggaran, kemampuan penguasaan teknologi, dan tidak
produktifnya off the shelf akuisisi
alutsista untuk mencapai tahap kemandirian industri pertahanan nasional untuk
memenuhi capaian MEF. Offset
pertahanan sebagai bagian paket imbal dagang (counter trade) yang diperoleh melalui kesepakatan offset dapat menjadi sarana untuk
menumbuhkan berbagai manfaat yang menguntungkan di sektor ekonomi,
perdagangan (ekspor) dan investasi.
Di Indonesia, mekanisme offset pertahanan untuk pengadaan
peralatan pertahanan telah berlangsung sejak awal 1960-an, meski secara
serius baru dilakukan ketika IPTN, PT PAL, dan PT Pindad menjalin kerja sama
dengan negara produsen persenjataan dan industri strategis pada pertengahan
1970, dengan berbagai variasi persenjataan dan industri strategis. Namun,
dalam praktiknya, offset pertahanan di Indonesia belum memiliki rantai nilai
yang dapat memenuhi kebutuhan persenjataan pertahanan secara integral. Hal
ini disebabkan berbagai kendala yang melingkupi ketiadaan regulasi kesiapan
SDM, transfer teknologi, kemampuan anggaran, dukungan iklim bisnis, dan
kendala sumber daya lainnya.
Mekanisme offset akan mampu mengatasi keterbatasan anggaran dan akan
mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan rupiah terhadap dolar yang
selama ini dilakukan melalui mekanisme fasilitas kredit ekspor (KE).
Komoditisasi uang sebagai dampak kebutuhan pembayaran dalam jual beli
internasional pun sebagian akan tereliminasi. Hal itu disebabkan para pihak
yang terlibat dalam transaksi dapat mengevaluasi secara langsung kuantitas
barang penawaran dengan permintaan.
Praktik offset pada masa lalu lebih didasarkan pada kebijakan dan
kepentingan tertentu serta dilaksanakan tanpa adanya regulasi yang mengatur
dan tidak terintegrasi dengan kebijakan lain yang terkait. Akibatnya, praktik
offset pertahanan tidak
terkoordinasi dan sulit diukur kontribusinya serta mengakibatkan
ketidakjelasan tujuan dari praktik offset
pertahanan terhadap penguasaan teknologi yang mendukung kemandirian industri
alat pertahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar