Mungkin
Begitulah Politik
Emanuel
Dapa Loka ; Penulis buku
“Orang-orang Hebat
dari Mata Kaki ke Mata Hati”
|
SINAR
HARAPAN, 24 Juni 2014
Atmosfer
negeri tengah panas. Tengoklah sejenak persaingan seputar kampanye calon
presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Baik dari bilik koalisi
maupun dari luaran, orang asyik menyerang dan menjelek-jelekkan lawan
politiknya.
Seakan-akan
jika tidak menunjuk kelemahan atau keburukan lawan, kebaikan atau
keunggulannya tidak tampak. Padahal emas, pada dirinya tetaplah emas, tanpa
perlu menunjuk material yang dipakai untuk membuat perhiasan lain.
Mungkin
begitulah politik. Di sana berbiak aksi tipu-menipu, sikut-menyikut, atau
leceh-melecehkan. Dengan demikian, “orang
politik” tidak perlu tersinggung jika jagat mereka disebut kotor oleh
masyarakat awam sebab itulah yang mereka pertontonkan secara telanjang ke
ruang publik. Tidak tampak upaya atau bukti yang meyakinkan politik itu suci
dan bermartabat.
Dari
kelakuan yang sama, masyarakat lalu bergumam, jika hendak belajar kesetiaan,
janganlah datang ke dunia politik. Di sana tempatnya ilmu tipu muslihat yang
pergerakannya berdasarkan hitungan detik.
Jika
kepentingan sang pelaku politik tidak terpenuhi di sebuah tempat atau dalam
deal-deal dengan pihak tertentu, secepat kilat wajahnya berubah dari A
menjadi B, dari merah menjadi putih, atau hitam menjadi jingga.
Sejurus
kemudian, kampanye hitam atau black
campaign dilancarkan, masih mending kampanye negatif atau negative campaign. Dalam kampanye
hitam, pelaku menciptakan “kreasi baru” untuk membangun opini publik bahwa
lawannya adalah pelaku kejahatan atau berpotensi sangat jahat sehingga jika
dipilih akan menghancurkan. Dalam hal ini, sesuatu yang dituduhkan sama
sekali adalah hasil karangan belaka.
Lain
halnya dengan negative campaign. Di
sini sesuatu yang disebut memang ada di lawan. Hanya bedanya, berita kemudian
ditonjol-tonjolkan atau dikasih bumbu pengawet sehingga bisa lama bertahan,
menggerogoti lawan di mata publik.
Terhadap
penilaian ini, “orang politik” atau
pengamat biasanya mengatakan, “Politik
itu suci, pelakunyalah yang busuk”. Tapi, bukankah sesuatu yang baik itu
akan bisa dilihat kepada subjek-subjek yang memeluk atau menganutnya? Dari
muka para politikuslah orang bisa melihat wajah sebenarnya dari politik.
Bersikah, sucikah, atau kotorkah dengan penuh tipu muslihat?
Apakah
dengan menunjuk-nunjuk kesalahan atau malah menempelkan kesalahan fatal
kepada lawan sang pelaku tampak bersih dan gagah di hadapan publik? Ini jelas
gerakan tipu tak bermartabat.
Kelakuan
semacam ini tidak bisa dibiarkan sebab mengacak-acak hati nurani dan
memberantakkan modal sosial saling percaya dalam masyarakat. Ini adalah
kejahatan luar biasa karena menyemburkan racun berdosis tinggi yang merusak
otak dan pikiran publik. Bahkan agar sukses mengecoh, ayat-ayat suci
diikutsertakan.
Kalau
mau fair, untuk memperlihatkan keunggulan diri, tidak perlu merendahkan,
melecehkan, atau menunjuk-nunjuk kesalahan lawan, apalagi
mengarang-ngarangnya. Mestinya, ibarat hendak mencermati mana uang palsu dan
uang asli, kita cukup mencermati ciri-ciri uang asli dengan teliti. Dengan
begitu, kita menjadi tahu mana uang palsu.
Dalam
konteks hari ini, kalau mau, para politikus yang terlibat kontestasi hanya
perlu menunjukkan keunggulannya, hal-hal yang telah mereka lakukan. Dengan
sendirinya akan terlihatlah keburukan atau kelemahan lawan. Kalau begitu,
yang terjadi adalah “perang kebaikan”
atau uji kebajikan.
Saya
menduga, karena sang “penyerang”
sulit menemukan kebaikan atau keunggulan di kubu atau dirinya, atau malah
belum pernah melakukan apa-apa, ia menyusun hal-hal negatif atau hitam bagi
lawannya.
Jika
mencintai negeri ini berikut demokrasinya yang sedang tumbuh, kita harus
menghentikan black campaign yang jahat nan jahanam tersebut. Hanya dengan
begitu, ke depan kita bisa melihat bangsa ini mengaum bak “Macan Asia” dan menjadi “Indonesia Hebat”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar