Rabu, 25 Juni 2014

Mungkin Begitulah Politik

Mungkin Begitulah Politik

Emanuel Dapa Loka  ;   Penulis buku
“Orang-orang Hebat dari Mata Kaki ke Mata Hati”
SINAR HARAPAN, 24 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Atmosfer negeri tengah panas. Tengoklah sejenak persaingan seputar kampanye calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Baik dari bilik koalisi maupun dari luaran, orang asyik menyerang dan menjelek-jelekkan lawan politiknya.

Seakan-akan jika tidak menunjuk kelemahan atau keburukan lawan, kebaikan atau keunggulannya tidak tampak. Padahal emas, pada dirinya tetaplah emas, tanpa perlu menunjuk material yang dipakai untuk membuat perhiasan lain.

Mungkin begitulah politik. Di sana berbiak aksi tipu-menipu, sikut-menyikut, atau leceh-melecehkan. Dengan demikian, “orang politik” tidak perlu tersinggung jika jagat mereka disebut kotor oleh masyarakat awam sebab itulah yang mereka pertontonkan secara telanjang ke ruang publik. Tidak tampak upaya atau bukti yang meyakinkan politik itu suci dan bermartabat.

Dari kelakuan yang sama, masyarakat lalu bergumam, jika hendak belajar kesetiaan, janganlah datang ke dunia politik. Di sana tempatnya ilmu tipu muslihat yang pergerakannya berdasarkan hitungan detik.

Jika kepentingan sang pelaku politik tidak terpenuhi di sebuah tempat atau dalam deal-deal dengan pihak tertentu, secepat kilat wajahnya berubah dari A menjadi B, dari merah menjadi putih, atau hitam menjadi jingga.

Sejurus kemudian, kampanye hitam atau black campaign dilancarkan, masih mending kampanye negatif atau negative campaign. Dalam kampanye hitam, pelaku menciptakan “kreasi baru” untuk membangun opini publik bahwa lawannya adalah pelaku kejahatan atau berpotensi sangat jahat sehingga jika dipilih akan menghancurkan. Dalam hal ini, sesuatu yang dituduhkan sama sekali adalah hasil karangan belaka.

Lain halnya dengan negative campaign. Di sini sesuatu yang disebut memang ada di lawan. Hanya bedanya, berita kemudian ditonjol-tonjolkan atau dikasih bumbu pengawet sehingga bisa lama bertahan, menggerogoti lawan di mata publik.

Terhadap penilaian ini, “orang politik” atau pengamat biasanya mengatakan, “Politik itu suci, pelakunyalah yang busuk”. Tapi, bukankah sesuatu yang baik itu akan bisa dilihat kepada subjek-subjek yang memeluk atau menganutnya? Dari muka para politikuslah orang bisa melihat wajah sebenarnya dari politik. Bersikah, sucikah, atau kotorkah dengan penuh tipu muslihat?

Apakah dengan menunjuk-nunjuk kesalahan atau malah menempelkan kesalahan fatal kepada lawan sang pelaku tampak bersih dan gagah di hadapan publik? Ini jelas gerakan tipu tak bermartabat.

Kelakuan semacam ini tidak bisa dibiarkan sebab mengacak-acak hati nurani dan memberantakkan modal sosial saling percaya dalam masyarakat. Ini adalah kejahatan luar biasa karena menyemburkan racun berdosis tinggi yang merusak otak dan pikiran publik. Bahkan agar sukses mengecoh, ayat-ayat suci diikutsertakan.

Kalau mau fair, untuk memperlihatkan keunggulan diri, tidak perlu merendahkan, melecehkan, atau menunjuk-nunjuk kesalahan lawan, apalagi mengarang-ngarangnya. Mestinya, ibarat hendak mencermati mana uang palsu dan uang asli, kita cukup mencermati ciri-ciri uang asli dengan teliti. Dengan begitu, kita menjadi tahu mana uang palsu.

Dalam konteks hari ini, kalau mau, para politikus yang terlibat kontestasi hanya perlu menunjukkan keunggulannya, hal-hal yang telah mereka lakukan. Dengan sendirinya akan terlihatlah keburukan atau kelemahan lawan. Kalau begitu, yang terjadi adalah “perang kebaikan” atau uji kebajikan.

Saya menduga, karena sang “penyerang” sulit menemukan kebaikan atau keunggulan di kubu atau dirinya, atau malah belum pernah melakukan apa-apa, ia menyusun hal-hal negatif atau hitam bagi lawannya.

Jika mencintai negeri ini berikut demokrasinya yang sedang tumbuh, kita harus menghentikan black campaign yang jahat nan jahanam tersebut. Hanya dengan begitu, ke depan kita bisa melihat bangsa ini mengaum bak “Macan Asia” dan menjadi “Indonesia Hebat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar