Jakarta
(Setengah) Baru
Nirwono
Joga ; Koordinator Gerakan
Indonesia Menghijau
|
TEMPO,
24 Juni 2014
Tidak
ada sesuatu yang baru dalam perayaan HUT Kota Jakarta ke-487, 22 Juni 2014.
Di balik ingar-bingar penyelenggaraan pesta diskon belanja besar-besaran,
festival rakyat, dan karnaval, Jakarta masih saja belum mampu keluar dari
permasalahan laten.
Dalam
mengantisipasi banjir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih bersemangat
mengurus rencana pembangunan tanggul raksasa dan 17 pulau buatan daripada
membenahi perbaikan saluran air, normalisasi kali, revitalisasi waduk dan
situ, serta mengatasi kendala pembebasan lahan dan kepastian relokasi warga
ke rumah susun.
Pembenahan
lalu lintas juga belum menunjukkan penguraian titik-titik kemacetan. Masalah
korupsi membuat rencana pengadaan bus baru untuk peremajaan bus Transjakarta
dan bus sedang yang sudah tidak laik jalan menjadi tertunda. Sementara itu,
pelayanan bus Transjakarta masih di bawah standar pelayanan minimal.
Pembangunan
mass rapid transit (MRT) berkemungkinan besar molor dari jadwal semula,
akibat kurangnya koordinasi antara pelaksana, Pemprov DKI, dan pemerintah
pusat. Di lain pihak, rencana monorel terancam gagal, sudah muncul gagasan
pengembangan light rapid transit (LRT). Perbaikan jalur pejalan kaki dan
penyediaan jalur sepeda yang aman dan nyaman justru tidak termasuk dalam
prioritas pengembangan transportasi berkelanjutan.
Perbaikan
penataan kawasan melalui program kampung deret cukup mendapat apresiasi dari
masyarakat. Untuk jangka panjang, dalam peremajaan kawasan, Pemprov DKI dapat
mengembangkan kawasan terpadu ramah lingkungan.
Pertumbuhan
dan pembangunan kota adalah keniscayaan. Meskipun demikian, tuntutan
ketersediaan tempat tinggal, bangunan pendukung, serta prasarana jalan atau
jalur angkutan umum dapat diarahkan dan dikendalikan. Hal ini diperlukan agar
pembangunan Kota Jakarta tidak melebihi daya dukung lingkungan, sehingga kota
tetap berkelanjutan.
Pembangunan
Kota Jakarta sudah saatnya menerapkan pembatasan, bahkan pelarangan,
pembangunan fisik horizontal yang boros lahan. Pemerintah kota dapat
mengembangkan kawasan terpadu yang tersebar merata dan terintegrasi dengan
jaringan transportasi massal (bus dan kereta api). Setiap kawasan terpadu
minimal terdiri atas satu menara komersial (sekolah, perkantoran, pusat
perbelanjaan, dan hotel) dan hunian vertikal (2-3 menara apartemen, 3-6
menara rusunawa).
Warga
dibatasi memiliki kendaraan pribadi, misalnya, satu unit satu mobil satu
ruang parkir, yang hanya dipakai untuk keluar kota. Untuk kegiatan
sehari-hari, warga berjalan kaki atau bersepeda dalam kawasan, atau
menggunakan bus atau kereta api keluar kawasan. Warga lebih sehat, udara
lebih segar, dan iklim mikro lebih sejuk di bawah pepohonan dan taman kota.
Penegasan
perundang-undangan bahwa suatu kota/kawasan perkotaan minimal memliki 30
persen ruang terbuka hijau (RTH) bukan sesuatu yang mengada-ada, apalagi
dianggap menghambat pembangunan kota. Dalam pembangunan kota yang
berkelanjutan, sudah ditetapkan di mana daerah yang boleh dibangun (ruang
terbangun) dan yang tidak boleh (RTH), yang berfungsi sebagai daerah resapan
dan tangkapan air alami.
Kebutuhan
air baku dan energi listrik untuk perkotaan diperkirakan semakin meningkat
sejalan dengan laju urbanisasi dan bertambahnya penduduk di perkotaan. Air
dipergunakan untuk irigasi pertanian, industri, dan air bersih warga. Untuk mengantisipasi
peningkatan kebutuhan itu, perlu disiapkan pengembangan pengelolaan air yang
ramah lingkungan, serta pemanfaatan, penerapan, dan pengembangan energi
terbarukan.
Untuk
membangun ketahanan pangan lokal, perlu dikembangkan pertanian kota yang ramah
lingkungan menerapkan pertanian yang hemat air, tidak boros lahan (pertanian
vertikal), pupuk organik, pembasmi alami dan ramah lingkungan, serta jumlah
produksinya berlipat. Kegiatan industri wajib didukung tempat pengolahan air
ramah lingkungan. Budaya hemat air oleh warga dapat dilakukan dengan kegiatan
mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang, dan isi ulang.
Konsep
pembangunan Kota Jakarta harus diubah secara mendasar, revolusioner, dan
visioner. Keyakinan akan kemajuan kota perlu dijadikan pemikiran utama ketika
menata kota. Kota harus mampu meningkatkan kualitas hidup manusia
penghuninya.
Kota
didukung perencanaan dan perancangan kota yang berwawasan lingkungan,
berkomitmen menyediakan RTH minimal sebesar 30 persen, dengan pengolahan sampah
ramah lingkungan (kurangi, pakai lagi, daur ulang), pengelolaan air
berkelanjutan (ekodrainase, zero run
off), penyediaan transportasi berkelanjutan, pemanfaatan dan pengembangan
energi terbarukan, penerapan bangunan hijau, serta memberdayakan komunitas
hijau.
Kota
juga memiliki kemampuan melakukan antisipasi, mitigasi, dan beradaptasi
terhadap perubahan iklim, serta berkembang dengan menggabungkan kemajuan
teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dengan potensi dan kearifan lokal.
Kolaborasi antara warga, pemerintah, dunia usaha, dunia luar negeri, dan
investor merupakan kunci keberhasilan pembangunan kota yang layak huni dan
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar