Maritim
dan Sistem Logistik
Sutianingsih ;
Dosen STIE Atma Bhakti Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 26 Juni 2014
Kompleksitas
geostrategi nasional karena ribuan pulau dan tiga wilayah alur laut kepulauan
Indonesia (ALKI) yang terbuka secara internasional membutuhkan doktrin baru
guna mewujudkan keandalan operasi maritim. Ini baik untuk operasi sipil
terkait akivitas ekonomi maupun pertahanan keamanan.
Debat
capres-cawapres tahap ke-3 mencuatkan konsep strategis, Doktrin Poros Maritim
Dunia terutama oleh Joko Widodo. Doktrin tersebut semangatnya setara dengan
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan 1957. Implementasi doktrin ini tidak hanya
terkait dengan aktivitas militer seperti kemampuan operasi pencegatan maritim
(Maritime Interdiction Operations),
tetapi juga memperlancar kinerja sistem logistik nasional yang merupakan
bagian dari konektivitas lokal, regional, dan global.
Untuk
mewujudkan Poros Maritim Dunia,
pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 lebih dulu harus membenahi infrastruktur
laut yang mengedepankan aspek intelijensia dan teknologi. Selain itu, bidang
intelijensia pertahanan maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan survaillance tangguh.
Poros maritim bisa meneguhkan sistem
logistik nasional dengan konsep atau metode “tol laut” dengan adanya kapal
besar yang setiap hari berkeliling di pelabuhan-pelabuhan laut dalam atau deep sea port. Metode ini terkoneksi
secara efisien dengan jalan kereta api double
track. Dengan metode tersebut diharapkan terjadi penurunan biaya logistik
minimal 5 persen per tahun, sehingga biaya logistik hampir sama dengan
Thailand pada 2017.
Sebagai
catatan, pada 2013, biaya logistik setara 27 persen produk domestik bruto
(PDB), jauh lebih tinggi dari Thailand 15,2 persen, Malaysia (13), dan
Singapura (8,5). Selain itu, pada 2012 Bank Dunia mengumumkan Logostic
Performance Index (LPI), peringkat Indonesia tergolong rendah dibanding
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Peringkat Indonesia naik dari
posisi 75 menjadi 59. Namun masih tergolong rendah dibanding Malaysia (29).
Esensi
doktrin Poros Maritim Dunia yang akan dipelopori pemerintah Indonesia sangat
relevan dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 2013 di Bali yang
menekankan aspek community of
connectivity (keterhubungan komunitas) agar barang-barang, manusia,
investasi, dan inisiatif antar-anggota APEC berjalan tanpa hambatan. Ini juga
untuk memuluskan tujuan utama forum APEC, liberalisasi perdagangan dan
investasi pada 2010 (negara maju) dan 2020 (berkembang).
Celakanya,
liberalisasi datang lebih cepat dan tak terbendung membanjiri negara
berkembang sehingga kedodoran. Barang dan jasa lebih banyak mengalir dan
membanjiri perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas
Indonesia. Daya saing produk Indonesia sempoyongan karena tidak berkualitas
dan kinerja logistik nasional parah.
Kinerja
logistik nasional sejak 2012, menurut survei World Economic Forum, menurun terus. Hal itu menunjukkan ada yang
salah dengan implementasi cetak biru pengembangan sistem logistik nasional,
di antaranya mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam
memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur Perpres No 26 Tahun
2012.
Benahi Pelabuhan
Penurunan kinerja logistik nasional
dipengaruhi keterbatasan infrastruktur pelabuhan, pergudangan, dan jalan
rusak yang berdampak pembengkakan biaya operasional pengiriman barang. Selain
itu, juga dipengaruhi kurang optimalnya implementasi regulasi logistik
nasional. Jika Perpres sistem Logistik Nasional dijalankan secara konsisten,
pengiriman barang dapat lebih murah dan tepat waktu. Selain itu, langkah
pemerintah juga terlihat lambat dalam membenahi pelabuhan yang telah eksis
dan terkendalanya pembangunan pelabuhan baru.
Pembenahan
pelabuhan masih tersendat-sendat, terutama penerapan inaportnet, sistem
layanan terpadu atau tunggal yang mengintegrasikan administrasi perkapalan di
seluruh instansi terkait di pelabuhan. Inaportnet memungkinkan segala macam prosedur
ekspor-impor bisa lebih cepat. Penerapan inaportnet sebenarnya diawali dengan
penerapan Indonesia National Single
Window (INSW) yang kelak dikaitkan dengan ASEAN Single Window (ASW).
INSW
yang diatur dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2008 bertujuan menyederhanakan dan
mempercepat izin kepabeanan serta pengeluaran barang dalam sistem informasi
terintegrasi antar-eselon. Tapi, hingga kini, implementasinya masih belum
maksimal.
Pelabuhan merupakan faktor penting untuk
mendongkrak kinerja logistik nasional, namun kondisinya masih memprihatinkan.
Hal itu terlihat dengan pelabuhan terbesar di Tanah Air, Tanjung Priok, yang
semakin kewalahan karena kekurangan kapasitas dan fasilitas sehingga tidak
mampu bersaing dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Tidak
mengherankan bila sistem pelayanan dan perizinan ekspor impor juga belum
lancar. Indikasinya, antara lain pengurusan barang masih lama, lead time for
container import rata-rata 6 hari. Padahal, di Singapura hanya sehari.
Saat
ini, Tanjung Priok tidak memadai lagi yang terdiri dari wilayah perairan (di
dalam pelabuhan/breakwater) 424 ha dan daratan 604 ha. Priok memiliki
terminal penumpang, barang konvensional (bulk
dan general cargo) dan tiga
terminal peti kemas. Dermaga kontainer mestinya harus bisa menampung kapal
long vessels (300 meter) dengan mudah.
Untuk
itu, dibutuhkan kedalaman lebih dari 14 meter lows water surface (mLWS).
Kemudian, instalasi crane juga harus bisa angkut minimal 100 kontainer per
jam per vessel. Saat ini, kedalaman kolam pelabuhan Priok terus mendangkal.
Kini tinggal 11 sampai 12 meter mLWS. Kapal yang bisa sandar berkapasitas di
bawah 60.000 dead weight ton (dwt).
Jika kondisi pelabuhan induk terbesar di saja penuh masalah, ratusan
pelabuhan lainnya tentu juga sarat problem.
Kinerja
logistik nasional masih memprihatinkan karena infrastruktur parah, belum ada
data realtime. Terkait positioning produk nasional, ada baiknya dikaji peta
yang menggambarkan aliran produk sejak tahun 2008 seperti dikemukakan Peter
Dickens dalam bukunya Global Shift:
Mapping The Changing Contours of the World Economy (2011).
Buku
tersebut menekankan sangat penting merancang ulang mata rantai jaringan
produksi global Indonesia. Fokus pada pasar dan kematangan produk. Hal itu
juga sangat relevan di tengah banyaknya perusahaan yang kini menghadapi
ketimpangan biaya bahan baku impor dan hasil penjualan (ekspor) atau domestik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar