Sabtu, 28 Juni 2014

Maritim dan Sistem Logistik

Maritim dan Sistem Logistik

Sutianingsih  ;   Dosen STIE Atma Bhakti Surakarta
KORAN JAKARTA, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kompleksitas geostrategi nasional karena ribuan pulau dan tiga wilayah alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang terbuka secara internasional membutuhkan doktrin baru guna mewujudkan keandalan operasi maritim. Ini baik untuk operasi sipil terkait akivitas ekonomi maupun pertahanan keamanan.

Debat capres-cawapres tahap ke-3 mencuatkan konsep strategis, Doktrin Poros Maritim Dunia terutama oleh Joko Widodo. Doktrin tersebut semangatnya setara dengan Deklarasi Djuanda yang dicetuskan 1957. Implementasi doktrin ini tidak hanya terkait dengan aktivitas militer seperti kemampuan operasi pencegatan maritim (Maritime Interdiction Operations), tetapi juga memperlancar kinerja sistem logistik nasional yang merupakan bagian dari konektivitas lokal, regional, dan global.

Untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia, pemerintahan baru hasil Pilpres 2014 lebih dulu harus membenahi infrastruktur laut yang mengedepankan aspek intelijensia dan teknologi. Selain itu, bidang intelijensia pertahanan maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan survaillance tangguh.
                               
 Poros maritim bisa meneguhkan sistem logistik nasional dengan konsep atau metode “tol laut” dengan adanya kapal besar yang setiap hari berkeliling di pelabuhan-pelabuhan laut dalam atau deep sea port. Metode ini terkoneksi secara efisien dengan jalan kereta api double track. Dengan metode tersebut diharapkan terjadi penurunan biaya logistik minimal 5 persen per tahun, sehingga biaya logistik hampir sama dengan Thailand pada 2017.

Sebagai catatan, pada 2013, biaya logistik setara 27 persen produk domestik bruto (PDB), jauh lebih tinggi dari Thailand 15,2 persen, Malaysia (13), dan Singapura (8,5). Selain itu, pada 2012 Bank Dunia mengumumkan Logostic Performance Index (LPI), peringkat Indonesia tergolong rendah dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Peringkat Indonesia naik dari posisi 75 menjadi 59. Namun masih tergolong rendah dibanding Malaysia (29).

Esensi doktrin Poros Maritim Dunia yang akan dipelopori pemerintah Indonesia sangat relevan dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada 2013 di Bali yang menekankan aspek community of connectivity (keterhubungan komunitas) agar barang-barang, manusia, investasi, dan inisiatif antar-anggota APEC berjalan tanpa hambatan. Ini juga untuk memuluskan tujuan utama forum APEC, liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 (negara maju) dan 2020 (berkembang).

Celakanya, liberalisasi datang lebih cepat dan tak terbendung membanjiri negara berkembang sehingga kedodoran. Barang dan jasa lebih banyak mengalir dan membanjiri perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas Indonesia. Daya saing produk Indonesia sempoyongan karena tidak berkualitas dan kinerja logistik nasional parah.

Kinerja logistik nasional sejak 2012, menurut survei World Economic Forum, menurun terus. Hal itu menunjukkan ada yang salah dengan implementasi cetak biru pengembangan sistem logistik nasional, di antaranya mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur Perpres No 26 Tahun 2012.



Benahi Pelabuhan

 Penurunan kinerja logistik nasional dipengaruhi keterbatasan infrastruktur pelabuhan, pergudangan, dan jalan rusak yang berdampak pembengkakan biaya operasional pengiriman barang. Selain itu, juga dipengaruhi kurang optimalnya implementasi regulasi logistik nasional. Jika Perpres sistem Logistik Nasional dijalankan secara konsisten, pengiriman barang dapat lebih murah dan tepat waktu. Selain itu, langkah pemerintah juga terlihat lambat dalam membenahi pelabuhan yang telah eksis dan terkendalanya pembangunan pelabuhan baru.

Pembenahan pelabuhan masih tersendat-sendat, terutama penerapan inaportnet, sistem layanan terpadu atau tunggal yang mengintegrasikan administrasi perkapalan di seluruh instansi terkait di pelabuhan. Inaportnet memungkinkan segala macam prosedur ekspor-impor bisa lebih cepat. Penerapan inaportnet sebenarnya diawali dengan penerapan Indonesia National Single Window (INSW) yang kelak dikaitkan dengan ASEAN Single Window (ASW).

INSW yang diatur dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2008 bertujuan menyederhanakan dan mempercepat izin kepabeanan serta pengeluaran barang dalam sistem informasi terintegrasi antar-eselon. Tapi, hingga kini, implementasinya masih belum maksimal.

 Pelabuhan merupakan faktor penting untuk mendongkrak kinerja logistik nasional, namun kondisinya masih memprihatinkan. Hal itu terlihat dengan pelabuhan terbesar di Tanah Air, Tanjung Priok, yang semakin kewalahan karena kekurangan kapasitas dan fasilitas sehingga tidak mampu bersaing dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Tidak mengherankan bila sistem pelayanan dan perizinan ekspor impor juga belum lancar. Indikasinya, antara lain pengurusan barang masih lama, lead time for container import rata-rata 6 hari. Padahal, di Singapura hanya sehari.

Saat ini, Tanjung Priok tidak memadai lagi yang terdiri dari wilayah perairan (di dalam pelabuhan/breakwater) 424 ha dan daratan 604 ha. Priok memiliki terminal penumpang, barang konvensional (bulk dan general cargo) dan tiga terminal peti kemas. Dermaga kontainer mestinya harus bisa menampung kapal long vessels (300 meter) dengan mudah.

Untuk itu, dibutuhkan kedalaman lebih dari 14 meter lows water surface (mLWS). Kemudian, instalasi crane juga harus bisa angkut minimal 100 kontainer per jam per vessel. Saat ini, kedalaman kolam pelabuhan Priok terus mendangkal. Kini tinggal 11 sampai 12 meter mLWS. Kapal yang bisa sandar berkapasitas di bawah 60.000 dead weight ton (dwt). Jika kondisi pelabuhan induk terbesar di saja penuh masalah, ratusan pelabuhan lainnya tentu juga sarat problem.

Kinerja logistik nasional masih memprihatinkan karena infrastruktur parah, belum ada data realtime. Terkait positioning produk nasional, ada baiknya dikaji peta yang menggambarkan aliran produk sejak tahun 2008 seperti dikemukakan Peter Dickens dalam bukunya Global Shift: Mapping The Changing Contours of the World Economy (2011).

Buku tersebut menekankan sangat penting merancang ulang mata rantai jaringan produksi global Indonesia. Fokus pada pasar dan kematangan produk. Hal itu juga sangat relevan di tengah banyaknya perusahaan yang kini menghadapi ketimpangan biaya bahan baku impor dan hasil penjualan (ekspor) atau domestik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar