Regulasi
Meneror Produk
Zamhuri ;
Peneliti pada Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo)
Universitas Muria
Kudus (UMK)
|
SUARA
MERDEKA, 24 Juni 2014
MULAI hari ini, kemasan (packaging) rokok (keretek) tampil
lebih ”lugas” dan ”menyeramkan”. Soalnya, pemerintah efektif memberlakukan
Pasal 14,15, dan 17 PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pasal 61 regulasi yang sama mengamanatkan bahwa
ketentuan dari tiga pasal itu diberlakukan paling lambat 18 bulan sejak
pengundangan tanggal 24 Desember 1012.
Lampiran Permenkes Nomor 28
Tahun 2013 tentang Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan
Produk Tembakau, merinci aturan lima gambar. Gambar itu terpapar lebih
menyeramkan dan ”meneror” secara psikologis konsumen dan calon konsumen
rokok. Gambar tersebut memperlihatkan kanker mulut, orang merokok dengan asap
membentuk tengkorak, orang merokok dengan anak di dekatnya, kanker
tenggorokan, dan paru-paru yang menghitam karena kanker. Berkait peringatan
kesehatan dalam bentuk gambar, lima perusahaan rokok besar di AS, terdiri
atas empat perusahaan tembakau besar, yaitu RJ Reynolds, Lorillard, Commonwealth, dan Liggett, serta satu
perusahaan kecil, yaitu Santa Fe
Natural Tobacco Company telah menggugat aturan pencantuman peringatan
kesehatan bergambar yang tercantum pada Family
Smoking Prevention and Tobacco Control Act.
Tergugat adalah Food and Drug Administration (FDA),
Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan negara itu. Menurut gugatan
tersebut, pemerintah dapat meminta perusahaan rokok menyertakan informasi
yang murni faktual dan tidak kontroversial tentang rokok, tetapi FDA dianggap
bertindak melampaui batas dengan mengharuskan perusahaan rokok mengiklankan
sesuatu yang bertentangan dengan produk yang mereka jual secara sah. Melalui
putusan Nomor 11-5332 tanggal 24 Agustus 2012, pada level Pengadilan Banding
untuk District of Columbia Circuit, gugatan lima perusahaan tersebut
dimenangkan.
Di negara lain, bila regulasi
pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar pada bungkus produk
hasil tembakau telah dimentahkan oleh hasil keputusan lembaga peradilan,
berarti regulasi tersebut tidak valid dan kredibel. Tapi pemerintah Indonesia
justru memaksakan memberlakukan pada produk hukum sejenis. Padahal implikasi
dari regulasi tersebut sangat besar bagi keberlangsungan industri hasil
tembakau nasional.
Implikasi itu dari hulu di
sektor pertanian tembakau dan cengkih sampai di hilir di tangan konsumen.
Produk keretek asli Indonesia mulai dari budi daya pertanian, produksi, dan
konsumsi, semua dilakukan di Indonesia, bahkan melibatkan stakeholder jutaan warga anak bangsa.
Seberapa efektifkah peringatan
tersebut bisa menekan konsumsi rokok. Menarik mencermati studi Philip Morris Internasional yang mengungkap
bahwa plain packaging tidak
mengurangi minat orang untuk merokok. Chris Argent, jubir Philip Morris kepada Sydney Morning Herald mengatakan data
yang jelas bahwa konsumsi tembakau secara keseluruhan dan prevalensi merokok
belum turun karena kebijakan plain
packaging. (http://www.abc.net.au/news/2014-01-22/philip-morris-wrong-plain-packaging/5137682)
Secara etis, teror peringatan (warning) kesehatan dalam kemasan
produk rokok legal sebetulnya patut dipertanyakan. Pertama; peringatan itu
merupakan regulasi yang sangat diskriminatif karena hanya produk hasil
tembakau yang mendapatkan pengaturan sedemikian rinci dibanding produk-produk
legal lainnya. Banyak produk makanan dan minuman yang memiliki kandungan
berisiko bagi kesehatan tidak mencantumkan peringatan kesehatan serinci itu.
Menyangkut Kebebasan
Kedua; pencitraan risiko
mengonsumsi produk tembakau secara berlebihan bisa mengganggu hak kebebasan
individu, mengingat produk tersebut juga mengandung manfaat dan segi positif.
Mestinya konsumen diberi kebebasan memperoleh informasi secara seimbang.
Apabila informasi tersebut tidak memiliki pilihan, konsumen dipaksa untuk
tidak mengonsumsi. Termasuk hak pelaku usaha dalam memperoleh kebebasan
berusaha menjadi dikebiri.
Ketiga; terdapat indikasi
pemaksaan opini melalui regulasi bahwa produk hasil tembakau, berbahaya. Dalam konsep negara demokrasi,
produk regulasi mestinya mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Jika
informasi dan opini bahaya produk hasil tembakau ini merupakan materi iklan,
semestinya juga diperlakukan sama sebagai produk iklan. Yang terjadi, justru
iklan bahaya rokok menggunakan space produk rokok (keretek). Kerancuan
regulasi itu kontraproduktif, bukannya memunculkan simpati melainkan justru
berbuah antipati.
Jika pemerintah, melalui
Kemenkes, ingin melindungi masyarakat dari dampak buruk produk hasil
tembakau, mestinya memberi kesempatan yang sama adanya informasi mengenai
manfaat dan dampak positif dari produk hasil tembakau. Hal itu sebagaimana
hasil riset yang pernah dilakukan oleh sejumlah akademisi Indonesia.
Pasal 14, 15, dan 17 PP Nomor
109 Tahun 2012 yang berlaku mulai hari ini menyiratkan kehendak mengaburkan produk hasil tembakau
asli Indonesia, yaitu keretek. Pasalnya, manfaat dan dampak positif keretek
sebagaimana secara faktual dirasakan oleh bangsa Indonesia dan telah berumur
ratusan tahun bakal tereduksi oleh informasi dan iklan bahaya melalui bungkus
(kemasan) rokok.
Hal ini sekaligus bisa
mengaburkan nilai jual keretek, dan bisa jadi lama-kelamaan produk keretek
yang jadi produk favorit masyarakat bakal tergusur oleh produk lain yang
telah memenangi persaingan pada
tingkat regulasi. Pemberlakukan peraturan pemerintah itu merupakan alarm (lonceng) untuk mematikan
keretek dan kemenangan produk hasil tembakau nonkeretek yang berhasil memengaruhi
produk regulasi sehingga menguntungkan persaingan usahanya di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar